Azas Rahasia Pemilu Tak Berlaku di Pedalaman Papua
Shohib Masykur - detikPemilu
Jayapura - Azas langung, umum, bebas, rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) selalu menjadi pedoman utama dalam menyelenggarakan pemilu. Namun di pedalaman Papua, azas rahasia rupanya tidak berlaku. Sebab di sana pemilih tidak bersedia merahasiakan pilihannya.Seperti diceritakan anggota KPU Provinsi Papua, Hasyim Sangaji, saat dijumpai dalam kunjungan KPU Pusat ke Kistrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, Papua, Senin (13/7/2009), para pemilih di pedalaman Papua tidak menggunakan kotak suara dan bilik sebagaimana lazimnya di TPS lain.Hal ini berlaku di tempat-tempat pedalaman seperti kabupaten Asmat, Puncak, dan Puncak Jaya. Saat menggunakan hak pilihnya, warga memilih memasukkan surat suara ke dalam sebuah noken (tas rajutan khas Papua) yang sudah disiapkan secara khusus untuk masing-masing calon.Misalnya noken A disiapkan untuk calon A dari partai A, noken B disiapkan untuk calon B dari partai A, dan seterusnya. Demikian pula untuk pemilu presiden. Tiga calon masing-masing mendapatkan jatah 1 noken. Pemilih yang memilih calon A akan memasukkan surat suaranya ke noken A, pemilih calon B memasukkannya ke calon B, dan demikian pulua pemilih calon C memasukkannya ke noken C.Dan proses pemberian suara itu tidak dilakukan secara tertutup di bilik. Warga bisa menyaksikan warga lainnya memberikan suaranya ke noken yang mana. “Mereka berpendapat, kita ini mau memilih pemimpin, kenapa musti pakai rahasia segala,” kata Sangaji menuturkan cara pandang para pemilih di pedalaman itu.Uniknya lagi, surat suara para pemilih itu tidak dicontreng. Semua surat suara utuh tanpa goresan maupun coretan. Panitia menghitung perolehan suara tiap calon berdasarkan surat suara yang masuk ke noken masing-masing.Ketika penghitungan di tingkat TPS, hal ini tentu saja tidak menimbulkan masalah karena baik warga, panitia, pengawas, maupun saksi sama-sama mengerti kebiasan tersebut. Namun hal ini menimbulkan persoalan ketika surat suara telah dibawa ke penyelenggara pemilu yang lebih tinggi.“Mereka yang tidak tahu akan mengira lho ini kok nggak ada contrengannya disurat suara,” kata Sangaji.Selain itu tiadanya contrengan tersebut juga rawan dimanfaatkan untuk kecurangan. Pihak-pihak tertentu bisa saja memanfaatkannya dengan caramencontreng surat suara kosong itu untuk calon tertentu, tentu saja setelahkongkalingkong dengan panitia dan bahkan mungkin pengawas.Karena itu solusinya adalah panitia mencontrengkan kertas suara kosong itu di TPS. Semua surat suara yang masuk ke noken calon A akan dicontrengkan di calon A oleh panitia. Demikian pula untuk calon B akan dicontrengkan ke calon B dan seterusnya.Kebiasaan pemilu yang tidak rahasia ini rupanya telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Sejak pemilu tahun 1971, kata Sangaji, pemilih di pedalaman papua telah menggunakan metode ini. “Mereka tidak mau mencoblos dari dulu,” kata dia.Karena sudah menjadi kebiasaan, rupanya tradisi itu telah menjadi kesepakatan tak tertulis yang dilegitimasi. Penyelenggara pemilu, baik panitia maupun pengawas, tidak mempersoalkannya.“Kalau kita nggak mengakomodir kita yang babak belur. Kalau nggak begitu mereka nggak mau milih. Orang-orang di sana itu lugu. Kalau sekali bilang nggak ya nggak. Daripada mereka pulang nggak memilih, lebih baik kita turuti,” kata Sangaji.( sho / anw )
Jayapura - Azas langung, umum, bebas, rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) selalu menjadi pedoman utama dalam menyelenggarakan pemilu. Namun di pedalaman Papua, azas rahasia rupanya tidak berlaku. Sebab di sana pemilih tidak bersedia merahasiakan pilihannya.Seperti diceritakan anggota KPU Provinsi Papua, Hasyim Sangaji, saat dijumpai dalam kunjungan KPU Pusat ke Kistrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, Papua, Senin (13/7/2009), para pemilih di pedalaman Papua tidak menggunakan kotak suara dan bilik sebagaimana lazimnya di TPS lain.Hal ini berlaku di tempat-tempat pedalaman seperti kabupaten Asmat, Puncak, dan Puncak Jaya. Saat menggunakan hak pilihnya, warga memilih memasukkan surat suara ke dalam sebuah noken (tas rajutan khas Papua) yang sudah disiapkan secara khusus untuk masing-masing calon.Misalnya noken A disiapkan untuk calon A dari partai A, noken B disiapkan untuk calon B dari partai A, dan seterusnya. Demikian pula untuk pemilu presiden. Tiga calon masing-masing mendapatkan jatah 1 noken. Pemilih yang memilih calon A akan memasukkan surat suaranya ke noken A, pemilih calon B memasukkannya ke calon B, dan demikian pulua pemilih calon C memasukkannya ke noken C.Dan proses pemberian suara itu tidak dilakukan secara tertutup di bilik. Warga bisa menyaksikan warga lainnya memberikan suaranya ke noken yang mana. “Mereka berpendapat, kita ini mau memilih pemimpin, kenapa musti pakai rahasia segala,” kata Sangaji menuturkan cara pandang para pemilih di pedalaman itu.Uniknya lagi, surat suara para pemilih itu tidak dicontreng. Semua surat suara utuh tanpa goresan maupun coretan. Panitia menghitung perolehan suara tiap calon berdasarkan surat suara yang masuk ke noken masing-masing.Ketika penghitungan di tingkat TPS, hal ini tentu saja tidak menimbulkan masalah karena baik warga, panitia, pengawas, maupun saksi sama-sama mengerti kebiasan tersebut. Namun hal ini menimbulkan persoalan ketika surat suara telah dibawa ke penyelenggara pemilu yang lebih tinggi.“Mereka yang tidak tahu akan mengira lho ini kok nggak ada contrengannya disurat suara,” kata Sangaji.Selain itu tiadanya contrengan tersebut juga rawan dimanfaatkan untuk kecurangan. Pihak-pihak tertentu bisa saja memanfaatkannya dengan caramencontreng surat suara kosong itu untuk calon tertentu, tentu saja setelahkongkalingkong dengan panitia dan bahkan mungkin pengawas.Karena itu solusinya adalah panitia mencontrengkan kertas suara kosong itu di TPS. Semua surat suara yang masuk ke noken calon A akan dicontrengkan di calon A oleh panitia. Demikian pula untuk calon B akan dicontrengkan ke calon B dan seterusnya.Kebiasaan pemilu yang tidak rahasia ini rupanya telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Sejak pemilu tahun 1971, kata Sangaji, pemilih di pedalaman papua telah menggunakan metode ini. “Mereka tidak mau mencoblos dari dulu,” kata dia.Karena sudah menjadi kebiasaan, rupanya tradisi itu telah menjadi kesepakatan tak tertulis yang dilegitimasi. Penyelenggara pemilu, baik panitia maupun pengawas, tidak mempersoalkannya.“Kalau kita nggak mengakomodir kita yang babak belur. Kalau nggak begitu mereka nggak mau milih. Orang-orang di sana itu lugu. Kalau sekali bilang nggak ya nggak. Daripada mereka pulang nggak memilih, lebih baik kita turuti,” kata Sangaji.( sho / anw )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar