Politik
05/07/2009 - 22:09
Politik 'Sihir' di Pilpres 2009
R Ferdian Andi R
Susilo Bambang Yudhoyono(inilah.com/ Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta — Pemilu Presiden 2009 tidak hanya ramai dengan black campaign, namun juga black magic. Kini proses demokratisasi yang baru berusia 11 tahun telah dimasuki khazanah politik sihir. Inikah demokrasi yang diperjuangkan sejak era reformasi 1998?
Adalah Capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memberi kejutan menjelang pelaksanaan pencontrengan pilpres 8 Juli. Di hadapan jamaah zikir, SBY menceritakan banyaknya serangan ilmu sihir yang mengarah kepada dia dan keluarganya di musim pilpres ini. Meski SBY tidak menceritakan secara detil sihir yang menyerangnya.
Demokrasi yang berwujud pada semaraknya pendapat dan gagasan yang dituangkan dengan pendirian partai politik hingga pemilihan pemimpin secara langsung, kini sepertiya masuk khazanah baru dalam demokrasi, yaitu ilmu sihir. Setidaknya SBY menjadi penyumbang istilah sihir masuk khazanah demokrasi.
Jika sebelumnya, black campaign atau negative campaign merupakan hal lazim dalam proses demokratisasi, kini ilmu sihir mulai mewarnai proses demokrasi di Indonesia.
Mencuatnya sihir yang menyerang SBY dan keluarganya di musim pilpres ini mendapat cermatan serius budayawan Radhar Panca Dahana. Menurut dia, pernyataan SBY yang masuk pada ruang publik jelas akan mempengaruhi rakyat. "Pernyataan seperti itu akan berpengaruh, bisa menjadi acuan dan ukuran bagi rakyat. Itu akan menjadi legitimasi sesuatu yang irasional," katanya, Minggu (5/7).
Kondisi irasional yang diungkap SBY seperti ilmu sihir jelas paradoksal dengan tatanan demokrasi yang mengedepankan akal sehat dan rasionalitas. Padahal gagasan rasional seperti sistem pasar bebas, kesehatan, dan pendidikan, menjadi sesuatu yang dapat diperjuangkan melalui demokrasi.
"Pernyataan SBY menimbulkan disorientasi," cetus Radar.
Namun pendapat berbeda muncul dari Gurubesar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bambamg Pranowo. Menurut Bambang, pernyataan SBY menunjukkan realitas bangsa Indonesia yang relijius. "Karena agama menyangkut hal gaib, ada yang white dan black," ujarnya, di Jakarta, Minggu (5/7).
Menurut dia, terminologi seperti sihir dan santet, masih cukup mudah dijumpai dalam proses pemilihan pucuk pimpinan di tingkat desa, bupati, termasuk presiden.
Bambang menilai, pernyataan SBY justru mewakili cerminan dari kualitas sosial. "Sama sekali tak mempengaruhi proses demokratisasi. Karena demokrasi intinya partisipasi publik,” paparnya.
Terkait rasionalitas dalam demokrasi, Bambang menilai konteks pernyataan SBY terkait dengan relijiusitas yang jelas-jelas melampaui rasionalitas. "Jelas tidak rasional, karena agama melampaui rasionalitas," katanya.
Pernyataan SBY terkait dengan sihir menimbulkan reaksi keras dari lawan-lawan politiknya. Tudingan SBY sedang mencari simpati publik hinggga SBY berpikiran tak rasional pun muncul menanggapi pernyataan itu.
Hakikatnya relasi nilai demokrasi yang konkret dengan perilaku pemimpin, seringkali tak menemukan titik temu. Seperti tradisi ziarah kubur untuk para leluhur, kini tereduksi dalam kontestasi politik. Karena tak jarang, ziarah kubur dimaknai meminta restu hingga menarik simpati pengikut tokoh yang telah meninggal.
Contohnya, mulai Mega, Boediono hingga Prabowo jelang pilpres ini berziarah kubur ke makam Bung Karno hingga makam Walisongo. Dulu di era Presiden Abdurrahman Wahid, ziarah kubur juga menjadi agenda penting presiden, terlebih dalam menghadapi gonjang-ganjing politik.
Lalu, di mana letak demokrasi kita bila disandingkan dengan perilaku 'irasional' para pelaku politik? [L1]
05/07/2009 - 22:09
Politik 'Sihir' di Pilpres 2009
R Ferdian Andi R
Susilo Bambang Yudhoyono(inilah.com/ Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta — Pemilu Presiden 2009 tidak hanya ramai dengan black campaign, namun juga black magic. Kini proses demokratisasi yang baru berusia 11 tahun telah dimasuki khazanah politik sihir. Inikah demokrasi yang diperjuangkan sejak era reformasi 1998?
Adalah Capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memberi kejutan menjelang pelaksanaan pencontrengan pilpres 8 Juli. Di hadapan jamaah zikir, SBY menceritakan banyaknya serangan ilmu sihir yang mengarah kepada dia dan keluarganya di musim pilpres ini. Meski SBY tidak menceritakan secara detil sihir yang menyerangnya.
Demokrasi yang berwujud pada semaraknya pendapat dan gagasan yang dituangkan dengan pendirian partai politik hingga pemilihan pemimpin secara langsung, kini sepertiya masuk khazanah baru dalam demokrasi, yaitu ilmu sihir. Setidaknya SBY menjadi penyumbang istilah sihir masuk khazanah demokrasi.
Jika sebelumnya, black campaign atau negative campaign merupakan hal lazim dalam proses demokratisasi, kini ilmu sihir mulai mewarnai proses demokrasi di Indonesia.
Mencuatnya sihir yang menyerang SBY dan keluarganya di musim pilpres ini mendapat cermatan serius budayawan Radhar Panca Dahana. Menurut dia, pernyataan SBY yang masuk pada ruang publik jelas akan mempengaruhi rakyat. "Pernyataan seperti itu akan berpengaruh, bisa menjadi acuan dan ukuran bagi rakyat. Itu akan menjadi legitimasi sesuatu yang irasional," katanya, Minggu (5/7).
Kondisi irasional yang diungkap SBY seperti ilmu sihir jelas paradoksal dengan tatanan demokrasi yang mengedepankan akal sehat dan rasionalitas. Padahal gagasan rasional seperti sistem pasar bebas, kesehatan, dan pendidikan, menjadi sesuatu yang dapat diperjuangkan melalui demokrasi.
"Pernyataan SBY menimbulkan disorientasi," cetus Radar.
Namun pendapat berbeda muncul dari Gurubesar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bambamg Pranowo. Menurut Bambang, pernyataan SBY menunjukkan realitas bangsa Indonesia yang relijius. "Karena agama menyangkut hal gaib, ada yang white dan black," ujarnya, di Jakarta, Minggu (5/7).
Menurut dia, terminologi seperti sihir dan santet, masih cukup mudah dijumpai dalam proses pemilihan pucuk pimpinan di tingkat desa, bupati, termasuk presiden.
Bambang menilai, pernyataan SBY justru mewakili cerminan dari kualitas sosial. "Sama sekali tak mempengaruhi proses demokratisasi. Karena demokrasi intinya partisipasi publik,” paparnya.
Terkait rasionalitas dalam demokrasi, Bambang menilai konteks pernyataan SBY terkait dengan relijiusitas yang jelas-jelas melampaui rasionalitas. "Jelas tidak rasional, karena agama melampaui rasionalitas," katanya.
Pernyataan SBY terkait dengan sihir menimbulkan reaksi keras dari lawan-lawan politiknya. Tudingan SBY sedang mencari simpati publik hinggga SBY berpikiran tak rasional pun muncul menanggapi pernyataan itu.
Hakikatnya relasi nilai demokrasi yang konkret dengan perilaku pemimpin, seringkali tak menemukan titik temu. Seperti tradisi ziarah kubur untuk para leluhur, kini tereduksi dalam kontestasi politik. Karena tak jarang, ziarah kubur dimaknai meminta restu hingga menarik simpati pengikut tokoh yang telah meninggal.
Contohnya, mulai Mega, Boediono hingga Prabowo jelang pilpres ini berziarah kubur ke makam Bung Karno hingga makam Walisongo. Dulu di era Presiden Abdurrahman Wahid, ziarah kubur juga menjadi agenda penting presiden, terlebih dalam menghadapi gonjang-ganjing politik.
Lalu, di mana letak demokrasi kita bila disandingkan dengan perilaku 'irasional' para pelaku politik? [L1]
Minggu, 05/07/2009 19:47 WIB JK:
Pemimpin Bukan Dilihat Asal Kelahirannya, Tapi dari Kemampuannya
Novi Christiastuti Adiputri - detikPemilu
Jakarta - Puluhan anggota Kelompok Toraja Raja menyampaikan dukungannya terhadap Jusuf Kalla (JK) di markasnya, Jl Ki Mangun Sarkoro, Jakarta Pusat. JK menegaskan bahwa pemimpin tidak dilihat dari asal kelahirannya dan bertekad akan memperkuat kembali spirit nasionalisme bangsa yang saat ini mulai luntur."Insya Allah apabila saya dan Pak Wiranto terpilih, kami akan mengubah paradigma kebangsaan yang lebih baik, bahwa siapa pun dapat memimpin bangsa ini dan setiap pemimpin daerah tidak tergantung dari kelahirannya," terang JK di depan puluhan anggota Masyarakat Tana Toraja, di Slipi 2, Jl Ki Mangun Sarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/7/2009).Dikatakan dia, saat ini setiap pemimpin daerah terbatas pada asal kelahirannya. Di mana yang memimpin Bone hanya orang Bone, Pacitan hanya orang Pacitan, dan yang memimpin Sumba hanya orang Sumba."Saya ingin merubah otonomi yang menjadi terbatas, di mana spirit nasionalisme menjadi spirit kedaerahan yang sangat kental. Kalau saya berhasil spirit nasionalisme akan kembali semakin kuat lagi," janjinya.Begitu hal tersebut berhasil dilakukan, lanjut JK, maka akan merubah paradigma orang tentang kehidupan ini. Dan paradigma-paradigma yang salah akan dapat diperbaiki.JK yakin dapat memajukan bangsa lebih cepat karena, menurut dia, bangsa ini kaya akan kekuatan-kekuatan manusianya. Dan yang terpenting dalam memimpin adalah kemampuan dan pengalaman."Sekali lagi bukan karena asal kelahiran, tapi siapa yang mampu dan tidak mampu diukur dari pengalamannya," tandas dia.( nvc / anw )
Jakarta - Puluhan anggota Kelompok Toraja Raja menyampaikan dukungannya terhadap Jusuf Kalla (JK) di markasnya, Jl Ki Mangun Sarkoro, Jakarta Pusat. JK menegaskan bahwa pemimpin tidak dilihat dari asal kelahirannya dan bertekad akan memperkuat kembali spirit nasionalisme bangsa yang saat ini mulai luntur."Insya Allah apabila saya dan Pak Wiranto terpilih, kami akan mengubah paradigma kebangsaan yang lebih baik, bahwa siapa pun dapat memimpin bangsa ini dan setiap pemimpin daerah tidak tergantung dari kelahirannya," terang JK di depan puluhan anggota Masyarakat Tana Toraja, di Slipi 2, Jl Ki Mangun Sarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/7/2009).Dikatakan dia, saat ini setiap pemimpin daerah terbatas pada asal kelahirannya. Di mana yang memimpin Bone hanya orang Bone, Pacitan hanya orang Pacitan, dan yang memimpin Sumba hanya orang Sumba."Saya ingin merubah otonomi yang menjadi terbatas, di mana spirit nasionalisme menjadi spirit kedaerahan yang sangat kental. Kalau saya berhasil spirit nasionalisme akan kembali semakin kuat lagi," janjinya.Begitu hal tersebut berhasil dilakukan, lanjut JK, maka akan merubah paradigma orang tentang kehidupan ini. Dan paradigma-paradigma yang salah akan dapat diperbaiki.JK yakin dapat memajukan bangsa lebih cepat karena, menurut dia, bangsa ini kaya akan kekuatan-kekuatan manusianya. Dan yang terpenting dalam memimpin adalah kemampuan dan pengalaman."Sekali lagi bukan karena asal kelahiran, tapi siapa yang mampu dan tidak mampu diukur dari pengalamannya," tandas dia.( nvc / anw )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar