Opini
Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien
Rabu, 15 Juli 2009 - 09:51 wib
Kemenangan telak satu putaran pasangan SBY-Boediono (versi quick qount) pada Pilpres 8 Juli 2009 lalu mengejutkan banyak pihak. Terutama mereka yang percaya pilpres akan berlangsung dua babak seiring makin sengitnya persaingan antarcapres-cawapres di akhir masa kampanye.Kenaikan elektabilitas JK-Wiranto waktu itu juga "mengkhawatirkan" sejumlah pengamat di mana sebagian meyakini JK dengan gayanya yang khas dan jargon "lebih cepat lebih baik" akan menyulitkan langkah SBY.Sebagaimana hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasangan SBY-Boediono menyabet dukungan mayoritas dengan 60,8%, disusul Mega-Prabowo (26,6%), dan JK-Wiranto (12,6%). Jebloknya suara JK di pilpres ini tak hanya menyembulkan kejutan, melainkan juga keheranan di kalangan internal mereka.Pasalnya sepak terjang JK yang "lincah" seperti langkahnya yang langsung masuk ke jantung basis pesantren di sejumlah daerah diyakini akan memberikan efek berarti dalam perolehan suara. Pesantren selama ini dipercaya sebagai simbol politik dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.Terlebih lagi manuver JK yang tertangkap oleh publik yang terkesan sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam papan atas seperti KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum NU) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah). Semua tahu kedua ormas Islam ini memiliki massa terbesar di seluruh Indonesia.Jika digabung, massa NU dan Muhammadiyah mendekati 100 juta orang. Namun fakta berbicara lain. Di basis-basis NU dan Muhammadiyah, suara SBY-Boediono ternyata tak dapat disaingi oleh JK-Wiranto. Di kalangan pemilih NU, sebagaimana rilis LSI, SBY unggul jauh dengan 64%, sementara JK di posisi buncit dengan 10%. Tren yang sama berlaku pada pemilih dengan latar belakang Muhammadiyah di mana SBY meraih 58% dan JK hanya 18%.Modernisasi PolitikApa yang bisa dijelaskan dari fenomena ini? Pertama, patron client relation dalam teori politik, khususnya di negara-negara berkembang, yang selama ini dianggap masih berlaku, terbukti tak lagi relevan. Mendekatnya tokoh-tokoh teras NU dan Muhammadiyah ke kubu JK tak mampu "menarik" gerbong pemilih (umat) mereka ke capres nomor urut tiga itu.Dalam teori patron klien, orientasi politik massa akan ditentukan oleh tokoh-tokoh mereka. Massa cenderung akan mengikuti pilihan politik tokoh-tokoh tersebut, termasuk dalam pilpres. Namun fakta berbicara lain. Ada semacam silent protest yang ditunjukkan oleh umat NU dan Muhammadiyah sehingga pilihan mereka berbeda dengan elite-elite di kedua organisasi tersebut.Kedua, tidak berlakunya lagi politik aliran seperti yang selama ini kita percaya. Bukan hanya pada kasus NU-Muhammadiyah, melainkan juga pada simbol-simbol politik primordial lain. Pasangan SBY-Boediono yang "sangat Jawa", karena keduanya kebetulan lahir di Jawa, ternyata tak berpengaruh pada pilihan voters di luar Jawa.Berdasarkan rilis LSI, pemilih di luar Jawa yang memilih SBY tetap paling dominan, sekitar 61%, mengungguli "pasangan Nusantara" JK-Wiranto yang hanya mendapat dukungan 17%. Kecenderungan serupa juga berlaku pada pilihan voters berdasarkan latar belakang agama.Gempuran negative campaign yang menimpa SBY dan Boediono selama kampanye, yaitu istri Boediono dikatakan "bukan Islam", terbukti tak berdampak serius dalam memengaruhi pilihan penganut Islam. Sekitar 63% pemilih muslim mengaku memilih SBY dan hanya 13% yang mendukung JK.Padahal JK-Wiranto sejak awal kampanye sudah menonjolkan simbol-simbol Islam, di antaranya dengan mengekspos kedua istri mereka yang berjilbab. Ketiga, terjadinya modernisasi politik di Indonesia. Era keterbukaan yang dimulai sejak 1998 (Reformasi) telah berdampak positif pada pilihan yang rasional oleh voters.Tak adanya tekanan politik seperti era Orde Baru membuat masyarakat merasa "bebas" menentukan pilihannya. Bahkan pemerintah saat ini tak lebih sebagai administrator bagi rakyat, bukan penguasa yang menakutkan dan berjarak dengan warga negara.Hasilnya, dalam politik setiap orang berhak menentukan pilihan dan sikap politik masing-masing. Pada kasus NU-Muhammadiyah, perbedaan pilihan elite dan umat tidak berarti hilangnya pengaruh ulama di mata umat. Yang terjadi adalah, untuk urusan di luar keagamaan, termasuk politik, umat mampu memisahkan hubungan mereka dengan ulama yang menjadi anutan.Bahwa fatwa-fatwa ulama harus dihormati adalah benar, tetapi itu hanya efektif untuk hal-hal yang terkait dengan kehidupan keagamaan seperti penentuan awal puasa, Idul Fitri. Namun, dalam politik, umat merasa tak "berdosa" jika berbeda pilihan dengan elitenya karena memang politik tidak ada kaitannya (langsung) dengan agama.Politik adalah urusan hablum-minan-nas. Masih dari rilis LSI, alasan dominan pemilih dalam mencontreng capres-cawapres pilihannya adalah karena program yang konkret (38,6%) dan prorakyat (35,6%). Sementara pertimbangan agama dan ikatan-ikatan primordial lain hanya memengaruhi sekitar 1,3%.Sebuah perbandingan yang kontras. Di mata Samuel P Huntington, gejala di atas bukanlah kejutan. Menurutnya, modernisasi politik memang akan selalu diikuti oleh peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat di bidang politik.Pelajaran bagi EliteHanya saja kita patut prihatin apakah perubahan (modernisasi politik) di masyarakat diikuti pula dengan perubahan perilaku di kalangan elite. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan gejala sebaliknya. Pasalnya ada kecenderungan hambatan modernisasi politik disinyalir justru berada di level elite itu sendiri.Banyaknya partai yang ikut berkompetisi pada pemilu legislatif lalu menunjukkan bahwa tiap kelompok elite masih berpikir untuk dirinya dan kelompoknya tanpa melihat realitas dan kekuatan mereka. Terbukti, sebagian besar partai tersebut gagal mendapat dukungan rakyat sehingga harus membubarkan diri.Jika saja para elite sadar bahwa kehidupan berpolitik pada ujungnya adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, partai yang demikian banyak tampaknya tak dibutuhkan. Pasalnya sebagian besar ideologi yang menjadi simbol pluralitas negeri ini sudah terwakili di partai-partai besar dan menengah yang lolos electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT).Partai beraliran nasionalis, Islam, dan kerakyatan dengan segala variannya sudah terakomodasi oleh partai-partai di atas. Satu hal lagi yang membanggakan kita semua adalah kedewasaan berpolitik yang (lagi-lagi) ditunjukkan oleh rakyat-bukannya elite. Selama masa kampanye, tiap pendukung capres-cawapres yang ikut berkompetisi dalam pilpres menunjukkan dukungan mereka ke tiap kontestan secara dewasa.Tak ada kekerasan ataupun permusuhan di antara mereka. Tiap pendukung justru kerap berjalan bersama walaupun pilihan mereka berbeda. Rakyat memberi pelajaran kepada elite bahwa politik adalah kegiatan yang menyenangkan. Mereka bisa berekspresi tanpa dihantui ketakutan. Ikatan-ikatan persaudaraan dan kohesi sosial yang sudah terbangun kuat tak mampu dikoyak oleh "kerasnya" persaingan politik.Para elite harus melihat realitas ini sebagai preseden yang patut diikuti. Ke depan, elite-elite lain harus melakukan transformasi politik guna mengejar modernisasi politik yang terjadi di masyarakat bawah. Jangan sampai rakyat sudah jauh melangkah menuju modernisasi politik, sementara para elite terjebak dalam kubangan politik primitif akibat tak kuasa menahan nafsu kekuasaan.Akhirnya, Indonesia berhasil membuktikan bahwa antara Islam dan demokrasi dapat berjalan bersama dan saling menguatkan. Sebuah pencapaian yang luar biasa ketika sejumlah negara "Islam" atau berpenduduk muslim masih menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang asing.(*)Zaenal A BudiyonoAnalis Politik di Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial(//mbs)
Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien
Rabu, 15 Juli 2009 - 09:51 wib
Kemenangan telak satu putaran pasangan SBY-Boediono (versi quick qount) pada Pilpres 8 Juli 2009 lalu mengejutkan banyak pihak. Terutama mereka yang percaya pilpres akan berlangsung dua babak seiring makin sengitnya persaingan antarcapres-cawapres di akhir masa kampanye.Kenaikan elektabilitas JK-Wiranto waktu itu juga "mengkhawatirkan" sejumlah pengamat di mana sebagian meyakini JK dengan gayanya yang khas dan jargon "lebih cepat lebih baik" akan menyulitkan langkah SBY.Sebagaimana hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasangan SBY-Boediono menyabet dukungan mayoritas dengan 60,8%, disusul Mega-Prabowo (26,6%), dan JK-Wiranto (12,6%). Jebloknya suara JK di pilpres ini tak hanya menyembulkan kejutan, melainkan juga keheranan di kalangan internal mereka.Pasalnya sepak terjang JK yang "lincah" seperti langkahnya yang langsung masuk ke jantung basis pesantren di sejumlah daerah diyakini akan memberikan efek berarti dalam perolehan suara. Pesantren selama ini dipercaya sebagai simbol politik dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.Terlebih lagi manuver JK yang tertangkap oleh publik yang terkesan sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam papan atas seperti KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum NU) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah). Semua tahu kedua ormas Islam ini memiliki massa terbesar di seluruh Indonesia.Jika digabung, massa NU dan Muhammadiyah mendekati 100 juta orang. Namun fakta berbicara lain. Di basis-basis NU dan Muhammadiyah, suara SBY-Boediono ternyata tak dapat disaingi oleh JK-Wiranto. Di kalangan pemilih NU, sebagaimana rilis LSI, SBY unggul jauh dengan 64%, sementara JK di posisi buncit dengan 10%. Tren yang sama berlaku pada pemilih dengan latar belakang Muhammadiyah di mana SBY meraih 58% dan JK hanya 18%.Modernisasi PolitikApa yang bisa dijelaskan dari fenomena ini? Pertama, patron client relation dalam teori politik, khususnya di negara-negara berkembang, yang selama ini dianggap masih berlaku, terbukti tak lagi relevan. Mendekatnya tokoh-tokoh teras NU dan Muhammadiyah ke kubu JK tak mampu "menarik" gerbong pemilih (umat) mereka ke capres nomor urut tiga itu.Dalam teori patron klien, orientasi politik massa akan ditentukan oleh tokoh-tokoh mereka. Massa cenderung akan mengikuti pilihan politik tokoh-tokoh tersebut, termasuk dalam pilpres. Namun fakta berbicara lain. Ada semacam silent protest yang ditunjukkan oleh umat NU dan Muhammadiyah sehingga pilihan mereka berbeda dengan elite-elite di kedua organisasi tersebut.Kedua, tidak berlakunya lagi politik aliran seperti yang selama ini kita percaya. Bukan hanya pada kasus NU-Muhammadiyah, melainkan juga pada simbol-simbol politik primordial lain. Pasangan SBY-Boediono yang "sangat Jawa", karena keduanya kebetulan lahir di Jawa, ternyata tak berpengaruh pada pilihan voters di luar Jawa.Berdasarkan rilis LSI, pemilih di luar Jawa yang memilih SBY tetap paling dominan, sekitar 61%, mengungguli "pasangan Nusantara" JK-Wiranto yang hanya mendapat dukungan 17%. Kecenderungan serupa juga berlaku pada pilihan voters berdasarkan latar belakang agama.Gempuran negative campaign yang menimpa SBY dan Boediono selama kampanye, yaitu istri Boediono dikatakan "bukan Islam", terbukti tak berdampak serius dalam memengaruhi pilihan penganut Islam. Sekitar 63% pemilih muslim mengaku memilih SBY dan hanya 13% yang mendukung JK.Padahal JK-Wiranto sejak awal kampanye sudah menonjolkan simbol-simbol Islam, di antaranya dengan mengekspos kedua istri mereka yang berjilbab. Ketiga, terjadinya modernisasi politik di Indonesia. Era keterbukaan yang dimulai sejak 1998 (Reformasi) telah berdampak positif pada pilihan yang rasional oleh voters.Tak adanya tekanan politik seperti era Orde Baru membuat masyarakat merasa "bebas" menentukan pilihannya. Bahkan pemerintah saat ini tak lebih sebagai administrator bagi rakyat, bukan penguasa yang menakutkan dan berjarak dengan warga negara.Hasilnya, dalam politik setiap orang berhak menentukan pilihan dan sikap politik masing-masing. Pada kasus NU-Muhammadiyah, perbedaan pilihan elite dan umat tidak berarti hilangnya pengaruh ulama di mata umat. Yang terjadi adalah, untuk urusan di luar keagamaan, termasuk politik, umat mampu memisahkan hubungan mereka dengan ulama yang menjadi anutan.Bahwa fatwa-fatwa ulama harus dihormati adalah benar, tetapi itu hanya efektif untuk hal-hal yang terkait dengan kehidupan keagamaan seperti penentuan awal puasa, Idul Fitri. Namun, dalam politik, umat merasa tak "berdosa" jika berbeda pilihan dengan elitenya karena memang politik tidak ada kaitannya (langsung) dengan agama.Politik adalah urusan hablum-minan-nas. Masih dari rilis LSI, alasan dominan pemilih dalam mencontreng capres-cawapres pilihannya adalah karena program yang konkret (38,6%) dan prorakyat (35,6%). Sementara pertimbangan agama dan ikatan-ikatan primordial lain hanya memengaruhi sekitar 1,3%.Sebuah perbandingan yang kontras. Di mata Samuel P Huntington, gejala di atas bukanlah kejutan. Menurutnya, modernisasi politik memang akan selalu diikuti oleh peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat di bidang politik.Pelajaran bagi EliteHanya saja kita patut prihatin apakah perubahan (modernisasi politik) di masyarakat diikuti pula dengan perubahan perilaku di kalangan elite. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan gejala sebaliknya. Pasalnya ada kecenderungan hambatan modernisasi politik disinyalir justru berada di level elite itu sendiri.Banyaknya partai yang ikut berkompetisi pada pemilu legislatif lalu menunjukkan bahwa tiap kelompok elite masih berpikir untuk dirinya dan kelompoknya tanpa melihat realitas dan kekuatan mereka. Terbukti, sebagian besar partai tersebut gagal mendapat dukungan rakyat sehingga harus membubarkan diri.Jika saja para elite sadar bahwa kehidupan berpolitik pada ujungnya adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, partai yang demikian banyak tampaknya tak dibutuhkan. Pasalnya sebagian besar ideologi yang menjadi simbol pluralitas negeri ini sudah terwakili di partai-partai besar dan menengah yang lolos electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT).Partai beraliran nasionalis, Islam, dan kerakyatan dengan segala variannya sudah terakomodasi oleh partai-partai di atas. Satu hal lagi yang membanggakan kita semua adalah kedewasaan berpolitik yang (lagi-lagi) ditunjukkan oleh rakyat-bukannya elite. Selama masa kampanye, tiap pendukung capres-cawapres yang ikut berkompetisi dalam pilpres menunjukkan dukungan mereka ke tiap kontestan secara dewasa.Tak ada kekerasan ataupun permusuhan di antara mereka. Tiap pendukung justru kerap berjalan bersama walaupun pilihan mereka berbeda. Rakyat memberi pelajaran kepada elite bahwa politik adalah kegiatan yang menyenangkan. Mereka bisa berekspresi tanpa dihantui ketakutan. Ikatan-ikatan persaudaraan dan kohesi sosial yang sudah terbangun kuat tak mampu dikoyak oleh "kerasnya" persaingan politik.Para elite harus melihat realitas ini sebagai preseden yang patut diikuti. Ke depan, elite-elite lain harus melakukan transformasi politik guna mengejar modernisasi politik yang terjadi di masyarakat bawah. Jangan sampai rakyat sudah jauh melangkah menuju modernisasi politik, sementara para elite terjebak dalam kubangan politik primitif akibat tak kuasa menahan nafsu kekuasaan.Akhirnya, Indonesia berhasil membuktikan bahwa antara Islam dan demokrasi dapat berjalan bersama dan saling menguatkan. Sebuah pencapaian yang luar biasa ketika sejumlah negara "Islam" atau berpenduduk muslim masih menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang asing.(*)Zaenal A BudiyonoAnalis Politik di Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial(//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar