Setelah Cikeas Menjadi Target
Selasa, 11 Agustus 2009 - 09:28 wib
Kabar mengejutkan muncul pascapenggerebekan "markas" gembong teroris Noordin M Top di Temanggung dan Bekasi belum lama ini. Densus 88 dan Mabes Polri menegaskan bahwa target selanjutnya dari teroris adalah Presiden SBY.
Hal itu diketahui setelah polisi menemukan bahan peledak seberat kurang lebih 500 kg di Bekasi. Bom sebesar itu rencananya akan "dikirim" ke Cikeas-kediaman pribadi Presiden-menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2009.
Dalam skenario awal, sebagaimana disampaikan Kapolri, Ibrohim (florist) yang kini masih buron dan Yayan dipersiapkan untuk membawa "paket" bom ke Cikeas dengan mobil bak terbuka bercat merah. Dapat dibayangkan jika polisi gagal mengungkap pergerakan teroris di dua daerah tersebut.
Sebuah tragedi besar akan terulang dan keselamatan Presiden dalam ancaman serius. Penemuan tersebut sekaligus mematahkan tuduhan sejumlah elite terkait pernyataan SBY pascabom Mega Kuningan, 17 Juli lalu. Pada waktu itu SBY menyatakan bahwa teroris-selain mengancam kepentingan negara-negara Barat di Indonesia-juga tengah menyiapkan "serangan" ke Presiden.
Bahkan foto SBY sempat dijadikan sasaran dalam latihan menembak di sebuah tempat, yang waktunya disinyalir setelah pemilu legislatif lalu. Menyikapi ancaman ini, SBY memberikan instruksi agar aparat bekerja profesional untuk mengungkap dalang di balik aksi teror. Terkait atau tidak dengan pilpres, polisi harus mengungkapnya secara tuntas agar tercipta kepastian hukum, keadilan, dan rasa aman di masyarakat.
Pola Baru
Ironisnya, sejumlah elite politik pada saat bersamaan terkesan reaktif dan menganggap pernyataan SBY terlalu spekulatif. Ada yang mengatakan ancaman terhadap Presiden terlalu dibesar-besarkan. Ada pula yang menuduh SBY terlalu emosional. Intinya sebagian pihak meragukan ancaman teroris terhadap Presiden.
Mereka juga mempersoalkan foto-foto teroris yang sedang berlatih menembak dengan foto SBY. Bagi kalangan ini, foto-foto tersebut sudah kedaluwarsa dan out of context. Padahal Presiden sebagai kepala negara bermaksud memberikan peringatan agar aparat kepolisian bekerja lebih keras. Tidak hanya terpaku pada "pola lama" gerakan teroris, tetapi juga terus berupaya mengungkap kemungkinan pola-pola baru, termasuk motif dan target-target berikut yang tengah diincar.
Penemuan setengah kuintal bom di Bekasi ini pun menyadarkan kita semua bahwa sasaran teroris kini tak lagi (hanya) ditujukan pada kepentingan AS dan sekutunya, tetapi juga pada keselamatan Presiden Indonesia. Sementara ini isu yang berkembang mengatakan bahwa motif di balik bom Cikeas adalah aksi balas dendam dari kelompok Noordin setelah eksekusi trio bomber Bom Bali I, Imam Samudra, Muklas, dan Amrozi.
Kelompok ini marah karena SBY tak meluluskan grasi yang diajukan ketiganya. Padahal semua pihak tahu bahwa pengadilanlah yang memutuskan eksekusi terhadap Imam Samudra dkk. Apa pun itu, aparat keamanan harus bekerja keras agar ancaman-ancaman berikutnya dapat digagalkan. Pelajaran yang dapat kita ambil dari momen ini adalah, ke depannya, elite politik tak cepat bereaksi sebelum memiliki data.
Mengeluarkan pernyataan apa pun di tengah iklim pers yang terbuka seperti sekarang ini memang mudah. Namun seharusnya akses luas demokrasi ini tak dimanfaatkan secara serampangan untuk kepentingan tiap kelompok. Sebagai tindak lanjut dari fakta baru ini, polisi harus meminta keterangan dan memeriksa pihak-pihak lain di luar "teroris" konvensional yang selama ini dikejar.
Enam ancaman yang disampaikan SBY pada press conference pascabom Marriott dan Ritz Carlton dapat dijadikan indikasi awal oleh polisi untuk menelusuri pihak-pihak terkait. Ancaman-ancaman dimaksud antara lain, latihan menembak oleh teroris yang menjadikan foto SBY sebagai target, isu aksi kekerasan menolak hasil pemilu, pendudu kan paksa KPU, revolusi jika SBY menang, menjadikan Indonesia seperti Iran dan menggagalkan pelantikan SBY menjadi presiden kembali. Sekali lagi, terkait atau tidak keenam ancaman terhadap SBY ini dengan pilpres, polisi sebaiknya menelusuri dan mengungkapnya. Lebih baik mengecek dan memastikan semuanya dari pada kecolongan.
Pembunuhan Presiden
Apalagi menjelang penetapan hasil pilpres oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 12 Agustus nanti di mana disinyalir suhu politik akan memanas. Memang sejauh ini elite politik di pihak yang "kalah" dalam pilpres belum menunjukkan aksi berlebihan selain gugatan melalui koridor hukum.
Namun, harus diantisipasi pihak-pihak yang memancing di air keruh untuk kepentingan sepihak. Berbicara mengenai isu keselamatan pimpinan nasional, kita harus melihatnya sebagai ancaman serius yang tiap saat bisa terjadi. Memang tradisi pembunuhan politik (presiden) di Indonesia selama ini tidak populer.
Namun melihat makin luasnya spektrum konflik politik dan gerakan teroris, bukan tidak mungkin itu bisa terjadi. Siapa juga yang menyangka bom akan meledak di Bali pada 2002? Pasalnya, sebelumnya aksi-aksi pengebom bunuh diri tak banyak dikenal oleh gerakan perlawanan di Indonesia. Terorisme adalah gerakan baru yang berbeda, baik dalam pola perlawanan maupun motif politik di belakangnya.
Ia berbeda dengan separatisme di Aceh dan Papua dan gerakan-gerakan lain dalam sejarah kita. Ditambah dengan makin "menyatunya" dunia dengan teknologi internet, yang memungkinkan komunikasi intens antargerakan teroris di berbagai belahan dunia, maka ancaman pembunuhan presiden tak boleh dipandang sebelah mata.
Ini bukan cerita era 1960 sampai 1980-an.Teror dan pembunuhan presiden masih terjadi hingga saat ini. Di Guinea-Bissau, Maret 2009, sejumlah tentara menembak mati Presiden Joao Bernardo Vieira. Motifnya adalah persaingan menuju pemilihan presiden, di mana sebelumnya sejumlah bom juga "berbicara" saat masa kampanye.
Hal yang sama terjadi di Pakistan, saat mantan PM Benazir Bhutto terbunuh dalam kampanye di kota Rawalpindi. Dia baru selesai berpidato di hadapan para pendukungnya ketika sebuah tembakan dan bom bunuh diri meledak. Bhutto adalah pemimpin Partai Rakyat Pakistan (PPP). Dia dua kali menjabat sebagai perdana menteri, tapi selalu dijatuhkan.
Tak hanya di belantara Afrika dan Asia, pembunuhan politik terhadap pimpinan nasional juga terjadi di Eropa. Perdana Menteri Serbia Zoran Djindjic ditembak mati oleh penembak jitu di luar gedung pemerintah di Beograd pada 12 Maret 2003.
Dia dianggap terlalu tunduk terhadap kepentingan Barat dan masyarakat internasional, setelah menyerahkan mantan Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic, ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2001.Kelompok sayap kanan dan geng mafia dituduh di belakang aksi ini.
Yang mengejutkan adalah terbunuhnya Menteri Luar Negeri Swedia Anna Lindh pada September 2003. Jika Serbia baru saja dikoyak konflik horizontal sehingga keamanan nasional masih belum stabil, Swedia adalah potret yang jauh berbeda. Swedia termasuk satu dari sedikit negara di Eropa yang terus mengalami pertum-buhan ekonomi dan sistem politik yang stabil.Maka kematian Anna seolah sebuah paradoks.
Anna sebelum meninggal tengah digadang-gadang menjadi PM berikutnya karena sangat populer di dalam dan luar negeri. Dia dikenal anti-AS-Israel, khususnya dalam agresi militer ke Irak dan Afghanistan. Pelajaran yang dapat kita tarik dari sejumlah fakta di atas, ancaman terhadap keselamatan presiden bisa terjadi, kapan dan di mana saja.
Oleh karenanya, "tewasnya" Noordin M Top (masih menanti dibuktikan) di Temanggung dan jaringannya di Bekasi harus dilihat sebagai upaya memutus mata rantai teroris di negeri ini. Sementara itu, elite politik harus dapat memisahkan antara kepentingan politik kelompok dan kepentingan nasional.
Pada saat situasi kritis seperti sekarang, seharusnya mereka meminggirkan untuk sementara agenda masing-masing dan memberikan dukungan kepada pimpinan nasional untuk mengatasi keadaan. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Kini saatnya bangsa Indonesia bersatu, menolak segala bentuk teror dan kekerasan atas nama apa pun.(*)
Zaenal A Budiyono
Koordinator Nasional Kaum Muda Indonesia untuk Demokrasi (KMID)
(//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar