Selasa, 21/07/2009 09:14 WIB
Terorisme, Bom dan Daya Tahan Bangunan
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Masih jelas dalam ingatan kita terjadinya serentetan pengeboman yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sering diidentifikasikan oleh aparat keamanan sebagai teroris. Menurut Wikipedia, terrorism adalah the apex of violence atau puncak aksi kekerasan. Terorisme memang terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa dirinya paling benar dan tidak puas atas sesuatu yang diyakininya.
Pemboman yang dilakukan oleh sekelompok teroris terhadap bangunan komersial di Jakarta diawali dengan ledakan di Bursa Efek Indonesia (saat itu bernama Bursa Efek Jakarta) pada tanggal 14 September 2000. Lalu diikuti oleh bom di Hotel JW Marriot Mega Kuningan pada tahun 5 Agustus 2003, kemudian bom di Kedutaan Besar Australia di Kuningan pada tanggal 9 September 2004 serta yang terakhir kembali di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Mega Kuningan pada tanggal 17 Juli 2009. Akibatnya puluhan korban tewas dan ratusan lainnya cedera seumur hidup. Korban bom berasal dari berbagai bangsa di dunia karena terorisme memang tidak mengenal kebangsaan.
Tingginya korban dan seringnya bangunan komersial menjadi sasaran peledakan oleh teroris patut diduga karena, lemahnya intelijen Negara, kurang presisinya pemeriksaan keamanan terhadap orang-orang yang keluar masuk bangunan komersial, kurang baiknya kualitas struktur bangunan yang ada, serta terlalu dekat dan terbukanya entrance atau jalan masuk bangunan komersial tersebut dari jalan raya atau akses publik.
Membahas sisi lemahnya intelijen Negara dan aparat keamanan terkait dengan maraknya aksi pengeboman tentunya sulit karena hal ini bukan domain pemilik bangunan maupun publik. Sebaiknya kita bahas sisi lain dari penanggulangan atau antisipasi aksi pengeboman terkait dengan regulasi yang ada, misalnya masalah kualitas bangunan dan dekatnya jarak lobby gedung dengan entrance atau jalan keluar masuk pengunjung dan penghuni yang saat ini banyak terdapat pada bangunan komersial di Jakarta.
Cukupkah Regulasi untuk Mengantisipasi Serangan Teroris?
Berdasarkan pengamatan penulis dalam sepuluh tahun belakangan ini, termasuk rentetan pengeboman di wilayah DKI Jakarta, umumnya terjadi pada bangunan komersial yang terletak nyaris menempel pada bahu jalan. Dimana jarak ke area lobby bangunan sangat pendek. Jarak ini memudahkan teroris untuk melakukan bom bunuh diri. Coba lihat Hotel JW Marriot, meskipun entrance sudah diubah paska ledakan bom tahun 2003, tetap saja masih relatif dekat dengan area lobby. Begitu pula Gedung BEI yang sebelum peledakan bom tahun 2000, lobbynya sangat dekat dengan entrance, juga Kedutaan Besar Australia.
Terkait dengan aturan tentang persyaratan pendirian bangunan komersial, ditemukan dua (2) aturan yang selama ini diakui sebagai acuan oleh para pengembang dalam membangun gedung atau bangunan komersial, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Yang pertama adalah UU No. 28 tahun 2003 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Daerah (Perda) No. 7 tahun 1991 tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Coba kita lihat satu per satu isi kedua peraturan tersebut. Pasal 17 ayat (1), UU No. 28 tahun 2003 hanya mengatur keamanan gedung dari kebakaran dan sambaran petir. Berikut bunyi Pasal 17 ayat (1) : "Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir".
Begitu pula dengan Perda No. 7 tahun 1991 tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Perda itu hanya mengatur masalah Garis Sepadan Bangunan, Izin Mendirikan Bangunan, spesifikasi bangunan dll. Masalah keselamatan hanya masalah kebakaran yang diatur dalam Perda ini, yaitu pada Pasal 40 ayat (3): "Setiap bangunan yang didirikan pada daerah peruntukan campuran, harus aman dari bahaya pencemaran lingkungan dan bahaya kebakaran". Begitu pula Pasal 41 ayat (1): "Tata letak bangunan dalam suatu bagian lingkungan harus dirancang dengan memperhatikan keserasian lingkungan dan memudahkan upaya penanggulangan bahaya kebakaran".
Jadi jelas terlihat bahwa dari sudut regulasi memang belum ada peraturan yang mengatur para pemilik bangunan komersial agar dalam membangun gedungnya harus memenuhi standar keamanan, tidak saja dari kebakaran, sambaran petir dan bencana alam seperti gempa bumi tetapi juga dari serangan bom bunuh diri seperti yang sering terjadi di wilayah DKI Jakarta dan kota-kota lain di dunia yang biasa menjadi sasaran teroris.
Memang aturan bahwa bangunan harus bisa tahan terhadap serangan bom atau tindakan terorisme lainnya tidak lazim diterapkan di dunia. Namun mengingat Indonesia, khususnya DKI Jakarta rawan tindakan pengeboman oleh teroris, tidak ada salahnya pemerintah membuat peraturan perundang-undangan tentang persyaratan pembangunan gedung komersial yang tahan atau paling tidak dapat mengurangi dampak buruk serangan bom bagi manusia. Bayangkan jika bom bunuh diri kemarin di JW Maririot, pelakunya meledakan sambil memeluk dinding kolom yang ada, bisa dipastikan bangunan hotel JW Marriot dan Ritz Carlton akan runtuh, karena strukturnya hancur. Pasti akan sangat mengerikan dampaknya. Untung tidak dia lakukan.
Persyaratan yang harus dimasukkan dalam peraturan tentang keselamatan bangunan selain struktur bangunan juga jarak antara entrance dengan lobby harus cukup jauh dan aman. Sehingga serangan teroris yang menggunakan bahan peledak dengan cara dilempar atau bom mobil dapat lebih mudah dicegah sebelum masuk area lobby. Mengapa lobby? Karena lobby adalah sebuah area publik, seperti pada hotel, yang banyak disinggahi tamu yang akan keluar atau masuk hotel. Jadi kalau lobby yang diserang, sudah pasti akan banyak korban yang tewas atau terluka berat.
Tindakan Pemerintah
Pemerintah harus segera membuat UU baru tentang Keamanan Bangunan Komersial atau merevisi UU No. 28 tahun 2003 tentang Bangunan Gedung dengan memasukkan Pasal khusus tentang persyaratan keselamatan dan keamanan Bangunan Komersial, tidak saja terhadap sambaran petir dan kebakaran tetapi juga terhadap serangan bom. Jika harus membuat baru, segera buat Rancangan UU nya atau revisi UU No. 28 tahun 2003 dan masukkan ke Prolegnas DPR-RI untuk segera dibahas awal tahun depan. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta juga harus segera merevisi Pergub No. 7 tahun 1991.
Sambil menunggu peraturan yang baru muncul, ada baiknya pemilik gedung komersial segera memindahkan entrancenya yang berada sangat dekat dengan lobby ke sisi lain. Contoh yang baik telah dilakukan oleh Hotel Mulia dan Hotel Melia di Jakarta, dengan mengubah entrance jauh dari lobby. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi gerak pengebom dari luar hotel ke lobby kecuali memang sudah berada di dalam, seperti pada kasus JW Marriot kemarin.
Nyawa memang ada di tangan Tuhan YME tetapi manusia dengan akalnya harus bisa berusaha untuk mengurangi dampak buruk ledakan bom di gedung komersial. Mohon Menteri Pekerjaan Umum dan Gubernur DKI Jakarta dapat segera membuat atau merevisi peraturan yang ada dan kemudian melaksanakannya dengan tegas. Bagi gedung komersial yang sudah terlanjur lobbynya berada sangat dekat dengan entrance, harus dicarikan jalan keluar agar dampak mematikan dari bom dapat diminimalisir, tanpa harus menutup bangunan tersebut. Semoga.
*Agus Pambagio: Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
(iy/iy)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar