Selasa, 21 Juli 2009

TNI VIA A VIS TCO. BOM MELEDAK DI JW. MARRIOTT & RITZ CARLTON

Opini
TNI vis a vis TCO
Senin, 20 Juli 2009 - 09:41 wib
Pasca-Reformasi 1998 hingga Jumat pagi (17/7/2009), ketika bom meledak berurutan di Hotel JW Marriott dan The Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, tercatat telah ada sebanyak 26 ledakan bom di Indonesia.
Masalah ini dapat dicirikan sebagai aksi terorisme yang tersebar di seluruh wilayah NKRI. Seluruh rakyat Indonesia berduka dan prihatin atas kejadian ini. Kecurigaan pun mengarah pada transnational crime organization (TCO). Bahkan, klub sepak bola Manchester United yang sedianya akan menginap di Hotel The Ritz Carlton, Mega Kuningan dan direncanakan akan bertanding dengan kesebelasan Indonesian All Star pada hari Senin (20/7/2009) mengurungkan niatnya untuk datang ke Indonesia.
Citra bahwa Indonesia adalah negara yang aman kembali tercoreng. Peristiwa ini sangat terkait dengan masalah kredibilitas bangsa di mata dunia internasional. Di samping itu, hal yang jauh lebih penting, bagaimanapun juga ledakan ini telah menunjukkan bahwa aparat keamanan Indonesia kecolongan. Ada dua indikasinya, pertama, sebuah bom meledak di hotel yang sama untuk kedua kalinya menyusul ledakan Bom pertama di JW Marriott yang terjadi pada tahun 2003. Kedua, kedua bom meledak dalam waktu hampir bersamaan di dua hotel berbeda tetapi berdekatan di mana keduanya terkenal dengan pengamanannya yang ekstraketat. Seperti ciri gerakan terorisme lain di belahan dunia pada umumnya, di Indonesia penyerangan dilakukan terhadap identitas negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) maupun Australia. Namun, bagi Indonesia sendiri, peristiwa ini meninggalkan pertanyaan besar terhadap persoalan pertahanan dan keamanan kita sebagai sebuah negara.
Pertahanan dan Keamanan Negara
Salah satu pencapaian target sesuai tuntutan Reformasi 1998 adalah keberhasilan kaum sipil untuk mendorong Panglima TNI Laksamana Widodo AS, dalam Rapim TNI pada tanggal 19-20 Mei 2000 di Cilacap, menyatakan secara tegas bahwa TNI telah melepaskan fungsi keamanan yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Polri.
Dengan demikian TNI kembali pada jati dirinya sebagai alat pertahanan negara. Ini merupakan bentuk komitmen TNI untuk menjalankan amanat konstitusi menjadi tentara profesional. Namun, jika ditinjau secara hukum terdapat inkonsistensi. Pada UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Pasal 1 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2 diatur tentang sistem pertahanan dalam menghadapi ancaman militer dan nonmiliter. Disebut inkonsistensi karena UU ini bermuara pada Tap MPR No VI dan VII Tahun 2000 di mana pemisahan peran dan tugas TNI dan Polri diartikan sebagai pemisahan antara masalah pertahanan dengan keamanan secara hitam putih.
Akibatnya, terjadi deviasi dan inkonsistensi kebijakan yang menyangkut masalah pertahanan keamanan negara. Alhasil, inkonsistensi kebijakan ini jelas berpengaruh ke semua undang-undang yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara yang telah disahkan oleh pemerintah. Pada tingkat operasional, kebijakan masalah pertahanan dan keamanan negara yang kemudian berada di grey area telah melahirkan berbagai persoalan pada tataran implementasinya.
Pertama, TNI diharuskan menjadi tentara profesional. Ini berarti bahwa TNI akan dibentuk menjadi militer kuat, tangguh, profesional, dan mampu menang perang yang bersifat outward looking. Militer difokuskan untuk menjalankan fungsi eksternal menjaga kedaulatan negara. Namun, di sisi lain, kebutuhan TNI untuk menjalankan komitmennya sebagai tentara profesional tidak pernah dapat dipenuhi negara. Padahal idealnya militer harus dibangun berdasarkan threats driven, buka budget driven seperti di Indonesia.
Sementara mengenai konsep outward looking ini sendiri menyimpan masalah. Militer yang bersifat outward looking adalah konsep militer di negara-negara maju, seperti AS, yang dibangun agar memiliki kapabilitas untuk berperang jauh di luar wilayah kedaulatannya (Cooper, 2004). Hal ini tentu berbeda dengan konsep militer untuk negara berkembang seperti Indonesia yang lebih menekankan misi damai dan diplomasi politik.
Kedua, dengan dibangunnya militer Indonesia model outward looking ala negara maju tetapi berdasarkan atas ketersediaan anggaran pertahanan yang minim dan bukan digerakkan oleh persepsi ancaman terhadap negara, posisi TNI kemudian menjadi tidak jelas berada di wilayah mana untuk "membela dan mempertahankan" negara. Kelemahan militer negara-negara di kawasan Asia Pasifik- kecuali Singapura dan Australia- adalah tidak menyadari bahwa beberapa ancaman negara yang berasal dari TCO mesti dimasukkan menjadi agenda militer.
Kebanyakan negara di kawasan ini, termasuk Indonesia, kemudian lalai menyiapkan militer yang juga memiliki fungsi pertahanan ke dalam batas-batas negara, yaitu militer yang harus dibangun secara inward looking. Militer tipe ini dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai tipologi ancaman yang dilahirkan oleh globalisasi, yaitu inter-state (antarnegara), intra-state (dalam negeri), dan transnasional.
Keamanan Indonesia
Masalah keamanan (security) di Indonesia pada faktanya hanya diserahkan semata-mata pada Polri sebagai pengawal ranah keamanan negara sehingga organisasi polisi di Indonesia dibuat langsung bertanggung jawab kepada presiden, sedangkan militer (TNI) berada di bawah Departemen Pertahanan.
Akibatnya, polisi telah diekspektasikan untuk menjadi organisasi sipil yang "mahaperkasa" yang dipaksakan untuk mampu menyelesaikan semua persoalan, termasuk persoalan TCO, mulai dari terorisme, penyelundupan senjata, human trafficking sampai masalah narkoba. Perlu kita ingat bahwa terorisme merupakan kejahatan transnasional yang terorganisasi, dengan skala yang relatif kecil tapi memiliki daerah sebaran konflik yang luas dan acak serta pelaksanaan yang tak terduga.
Melihat karakternya yang sangat fleksibel dan berpotensi terjadi di mana saja dan kapan saja, terlihatlah betapa penting sesungguhnya melibatkan militer dalam menghadapi terorisme. Luasnya jaringan terorisme juga harus diimbangi dengan luasnya jaringan aparat penegak keamanan dan melibatkan juga aparat pertahanan negara. Konsep networking security dan diplomasi yang harus dibangun secara internasional juga mau tidak mau harus melibatkan militer.
Karena di era globalisasi saat ini dan di masa depan, berbagai ancaman yang bersifat nonmiliter akan terus mengganggu stabilitas nasional dan kedaulatan negara dan jelas dibutuhkan kerja sama regional dan internasional untuk mengantisipasinya.
Masalah Bersama
Persoalan terorisme merupakan masalah kita semua. Masalah seluruh warga negara Indonesia. Semua pihak yang memiliki kapabilitas untuk mengantisipasi terjadinya terorisme di Indonesia harus diikut sertakan, termasuk TNI. Mengapa? Karena kemungkinan dari aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di JW Marriott dan The Ritz Carlton pada Jumat kelabu kemarin biasanya terdorong hanya oleh dua hal, yaitu keterkaitan dengan masalah ideologi, kebencian atau nasionalisme yang ekstrem.
Ke depan, menyikapi masalah TCO kita harus merenungkan kembali ucapan Frederick William I di tahun 1731 saat hendak menyerahkan tahta kepada putranya Frederick The Great; "Always keep good and strong army. You won't have better friend and you can't survive without it. Our neighbours want nothing more than to bring about our ruin......Always put your trust in a good army and in a hard cash. They are things which keep rules in peace and security."
Itu berarti pertahanan negara kita, khususnya TNI, tidak lagi bisa dibiarkan dibangun berdasarkan budget driven (berdasarkan anggaran yang tersedia), tetapi harus sudahkepada threats driven (berdasarkan ancaman yang ada). Hal ini jelas akan berimplikasi pada strategi, doktrin, anggaran, postur, dan alutsista yang harus kita persiapkan bagi TNI kita sebagai bagian dari grand design pertahanan negara yang segera harus kita rancang, susun, dan bangun bersama.(*) Connie Rahakundini B Dosen Politik Universitas Indonesia dan Peneliti Senior IODAS (//mbs)

Tidak ada komentar: