Mencari Angsa Hitam
Selasa, 21 Juli 2009 - 10:16 wib TEXT SIZE : Jumat, 17 Juli 2009, pukul sembilan pagi, kira-kira beberapa menit setelah menonton liputan bom Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott, saya kebetulan pas ngobrol dengan ibu saya (87 tahun) dan adik saya (57 tahun), di Cilandak Town Square atau yang lebih pop dengan sebutan Citos.
Sudah pasti, sebelum ngomongin yang lain-lain, kami langsung membahas siapa kira-kira aktor intelektual pengeboman itu? Kedua ibu-ibu (ibu dan adik saya) ternyata punya pikiran cerdas. Ini pasti gawe-nya salah satu calon yang kalah itu, kata mereka. Dia tidak puas sehingga mau gagalkan pilpres dengan membuat citra yang jelek tentang Indonesia lewat bom itu,yang dampaknya bisa merusak kondisi ekonomi, sosial, dan politik negeri kita. Saya pikir-pikir, wah, benar juga ya, barangkali.
Pertama, karena pengalaman pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa para calon (bupati, walikota, gubernur) cuma siap menang, tetapi tak siap kalah. Begitu kalah terus unjuk rasa, merusak kantor KPU, pokoknya jadi vandalis dan destruktif. Sangat boleh jadi, para capres dan cawapres juga bermental seperti itu. Apalagi cawapres Wiranto dan Prabowo konon pernah terlibat dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Kedua, karena adanya kasus di Timika, yaitu penembakan (jitu) oleh orang-orang tak dikenal terhadap karyawan-karyawan PT Freeport. Melihat selongsong peluru yang digunakan, jangan-jangan ini dilakukan oleh oknum atau desertir TNI atau mercenary (tentara bayaran) yang disewa khusus untuk mengacau di PT Freeport. Pastinya kedua peristiwa itu saling berhubungan, yaitu berasal dari satu skenario untuk menjatuhkan citra bangsa Indonesia di luar negeri.
Puncaknya adalah pernyataan Presiden SBY siang harinya, yang dilengkapi dengan foto-foto intelijen tentang latihan-latihan penembak jitu dan penembak pistol, dengan sasaran tembaknya adalah foto SBY sendiri. Wah, makin pastilah saya pada teori pilpres ala ibu-ibu itu (yang salah satunya sudah berstatus eyang buyut). ***
Namun setelah rekaman CCTV tentang pengebom bunuh diri di kedua hotel itu, berikut foto-foto kepala mereka disiarkan di televisi, semuanya jadi lain. Teori "pilpres" jadi tidak valid lagi. Sepengetahuan saya tidak ada tentara profesional, desertir, mercenary atau bahkan pembunuh bayaran sekalipun yang rela mati demi komandan atau bosnya. Boleh jadi mereka terlatih atau dilatih untuk membunuh, termasuk membunuh presiden sekalipun, tetapi mereka terlatih juga untuk menyelamatkan diri setelah melaksanakan tugasnya. Intinya mereka bersedia melaksanakan tugas membunuh orang (seperti pada kasus pembunuhan Nasaruddin), apalagi kalau bayarannya banyak, tetapi mereka tidak akan mau disuruh membunuh dirinya sendiri.
Orang yang ikhlas membunuh dirinya sendiri untuk membunuh orang lain hanyalah orang-orang yang punya ideologi yang luar biasa kuatnya dan ketaatan yang sangat kuat, bukan kepada sesama manusia, tetapi kepada sesuatu yang supra-human seperti dewa atau Tuhan (walaupun pastinya melalui manusia juga). Dalam Perang Dunia II, para penerbang Kamikaze, misalnya, rela menerjunkan pesawat terbangnya ke kapal-kapal perang Amerika untuk membunuh sebanyak mungkin musuh demi kejayaan kaisar Tenno Heika yang mereka percayai sebagai keturunan Dewa Matahari itu.
Di zaman sekarang, para pengebom bunuh diri adalah orang-orang yang yakin betul bahwa itulah caranya kalau mau langsung masuk surga dan disambut oleh para bidadari di sisi Allah SWT. Itulah cara terbaik untuk mati syahid sebagai syuhada. Mati di jalan jihad. Di Palestina, Irak, Pakistan, dan Afghanistan, banyak orang seperti ini. Khususnya yang dibina oleh organisasi Al-Qaeda asuhan Osama bin Laden.
Di Indonesia, jaringan Al-Qaeda memengaruhi sebagian kecil dari anggota Jamaah Islamiah (JI) dan merekalah yang selama ini melakukan pengeboman bunuh diri di Indonesia (Marriot I, Bali I dan II, Kedubes Australia, Poso, dsb). Namun sejak 2005 tidak ada lagi bom-boman di Indonesia.
Sebagai peneliti yang sejak 2006 memfokuskan diri pada penelitian tentang kepribadian teroris Indonesia, saya mempunyai banyak teman di kalangan polisi (termasuk Densus 88/Antiteror) maupun di kalangan anggota JI, baik yang pernah terlibat pengeboman (sebagian masih ada di dalam penjara/rumah tahanan, sebagian yang lain sudah bebas) maupun yang tidak. Dari teman-teman ini saya mengetahui bahwa polisi sudah mengetahui dan bisa mendeteksi dini 80-90% jaringan kelompok JI radikal dan sempalan-sempalannya. Itulah sebabnya polisi berhasil menggagalkan upaya pengeboman di Palembang, Plumpang, dan Cilacap. Jadi rasa-rasanya tipis kemungkinan bahwa merekalah pelakunya. Apalagi Abu Bakar Baasyir sudah menyatakan bahwa pelaku-pelaku bom Ritz-Marriott adalah musuh-musuh Islam. Jadi teori "JI" ini juga kecil kemungkinannya.***
Jadi tinggal teori ketiga atau teori "residu". Saya namakan "residu" (sisa) karena mencakup hanya 10-20% komunitas Islam radikal yang masih di luar jangkauan pemantauan polisi. Salah satu kemungkinan adalah NMT (Noordin M Top) yang saat ini masih bebas berkeliaran di luar. Boleh jadi peristiwa-peristiwa di Afghanistan dan Pakistan (lembah Swat) dan China Barat mendorongnya untuk membalas dendam (atas nama) Islam (atau dirinya sendiri) kepada Amerika Serikat.
Sasaran yang sama (Marriott II) dan modus operandi yang sama dengan pengeboman-pengeboman di masa lalu memperkuat dugaan ini. Sumber-sumber di lingkungan JI yang saya kenal tidak mengetahui rencana bom Ritz-Marriott ini, apalagi mengenal pelaku-pelakunya. Karena itu sangat mungkin mereka adalah orang-orang baru yang direkrut NMT sehingga masih di luar pemantauan polisi.
Kesimpulannya, walaupun persentasenya kecil, kemungkinan besar teori residu inilah yang benar. Pasalnya untuk melaksanakan pengeboman seperti yang terjadi di Ritz-Marriot dan bom-bom sebelumnya di Indonesia, hanya diperlukan beberapa gelintir orang. Tidak seperti menyebarkan ideologi, termasuk ideologi jihad, yang memerlukan sebanyak mungkin orang.***
Teori-teori di atas adalah rekaan saya sendiri setelah mendapat masukan dari teman-teman pakar, anggota JI, polisi, dan awam (termasuk ibu dan adik saya). Mungkin sekali banyak yang berteori seperti saya. Namun tentu saja teori ini bisa meleset karena pengungkapan suatu tindak kejahatan harus mengikuti prosedur penyidikan kepolisian yang ketat dan berbasis data yang akurat (dalam istilah kepolisian "alat bukti").
Bukan reka-rekaan di atas kertas, apalagi kalau tanpa kertas sama sekali, alias mengkhayal saja. Akan tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita harus sangat waspada terhadap kemungkinan yang paling kecil sekalipun. Bahkan yang tampaknya tidak mungkin bisa saja mungkin. Dalam ilmu pengetahuan gejala tidak mungkin jadi mungkin disebut gejala "angsa hitam" (selama berabad-abad umat manusia yakin bahwa semua angsa berwarna putih, sampai ditemukannya angsa hitam di Benua Australia).
Kelengahan terhadap gejala angsa hitam ini bisa fatal akibatnya. Beberapa saat sebelum bom meledak, satpam Dikdik menyapa seorang tamu yang membawa koper dan tas punggung. Dia pikir tak lazim tamu Hotel JW Marriott yang bukan hendak check in membawa-bawa koper dan tas punggung. Namun karena dia pikir tidak mau mengganggu kenyamanan tamu, dia tidak menanyai tamu itu lebih lanjut dan membiarkannya pergi.
Padahal dialah sang angsa hitam dan beberapa menit kemudian bom pun meledak. Sebaliknya, diketahuinya lokasi persembunyian Dr Azahari di Batu, Malang (sehingga akhirnya Dr Azahari tewas dalam penyerbuan oleh polisi), antara lain karena kewaspadaan anggota masyarakat yang jeli melihat ada orang-orang "aneh" di lingkungannya dan melapor ke polisi. Angsa hitam diketahui tempatnya dan segera dibekukan aktivitasnya oleh polisi karena kewaspadaan masyarakat.
Sekarang, kalau teori residu benar, bisakah kita menangkal angsa hitam yang namanya NMT? Bisa asalkan kita semua di seluruh NKRI, terutama di Pulau Jawa, selalu waspada terhadap gerak-gerik yang mencurigakan, termasuk melaksanakan wajib lapor 24 jam di setiap lingkungan RT/RW. Siapa tahu dialah angsa hitam yang kita cari-cari.(*) Sarlito Wirawan Sarwono Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian UI (//mbs)
Selasa, 21 Juli 2009 - 10:16 wib TEXT SIZE : Jumat, 17 Juli 2009, pukul sembilan pagi, kira-kira beberapa menit setelah menonton liputan bom Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott, saya kebetulan pas ngobrol dengan ibu saya (87 tahun) dan adik saya (57 tahun), di Cilandak Town Square atau yang lebih pop dengan sebutan Citos.
Sudah pasti, sebelum ngomongin yang lain-lain, kami langsung membahas siapa kira-kira aktor intelektual pengeboman itu? Kedua ibu-ibu (ibu dan adik saya) ternyata punya pikiran cerdas. Ini pasti gawe-nya salah satu calon yang kalah itu, kata mereka. Dia tidak puas sehingga mau gagalkan pilpres dengan membuat citra yang jelek tentang Indonesia lewat bom itu,yang dampaknya bisa merusak kondisi ekonomi, sosial, dan politik negeri kita. Saya pikir-pikir, wah, benar juga ya, barangkali.
Pertama, karena pengalaman pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa para calon (bupati, walikota, gubernur) cuma siap menang, tetapi tak siap kalah. Begitu kalah terus unjuk rasa, merusak kantor KPU, pokoknya jadi vandalis dan destruktif. Sangat boleh jadi, para capres dan cawapres juga bermental seperti itu. Apalagi cawapres Wiranto dan Prabowo konon pernah terlibat dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Kedua, karena adanya kasus di Timika, yaitu penembakan (jitu) oleh orang-orang tak dikenal terhadap karyawan-karyawan PT Freeport. Melihat selongsong peluru yang digunakan, jangan-jangan ini dilakukan oleh oknum atau desertir TNI atau mercenary (tentara bayaran) yang disewa khusus untuk mengacau di PT Freeport. Pastinya kedua peristiwa itu saling berhubungan, yaitu berasal dari satu skenario untuk menjatuhkan citra bangsa Indonesia di luar negeri.
Puncaknya adalah pernyataan Presiden SBY siang harinya, yang dilengkapi dengan foto-foto intelijen tentang latihan-latihan penembak jitu dan penembak pistol, dengan sasaran tembaknya adalah foto SBY sendiri. Wah, makin pastilah saya pada teori pilpres ala ibu-ibu itu (yang salah satunya sudah berstatus eyang buyut). ***
Namun setelah rekaman CCTV tentang pengebom bunuh diri di kedua hotel itu, berikut foto-foto kepala mereka disiarkan di televisi, semuanya jadi lain. Teori "pilpres" jadi tidak valid lagi. Sepengetahuan saya tidak ada tentara profesional, desertir, mercenary atau bahkan pembunuh bayaran sekalipun yang rela mati demi komandan atau bosnya. Boleh jadi mereka terlatih atau dilatih untuk membunuh, termasuk membunuh presiden sekalipun, tetapi mereka terlatih juga untuk menyelamatkan diri setelah melaksanakan tugasnya. Intinya mereka bersedia melaksanakan tugas membunuh orang (seperti pada kasus pembunuhan Nasaruddin), apalagi kalau bayarannya banyak, tetapi mereka tidak akan mau disuruh membunuh dirinya sendiri.
Orang yang ikhlas membunuh dirinya sendiri untuk membunuh orang lain hanyalah orang-orang yang punya ideologi yang luar biasa kuatnya dan ketaatan yang sangat kuat, bukan kepada sesama manusia, tetapi kepada sesuatu yang supra-human seperti dewa atau Tuhan (walaupun pastinya melalui manusia juga). Dalam Perang Dunia II, para penerbang Kamikaze, misalnya, rela menerjunkan pesawat terbangnya ke kapal-kapal perang Amerika untuk membunuh sebanyak mungkin musuh demi kejayaan kaisar Tenno Heika yang mereka percayai sebagai keturunan Dewa Matahari itu.
Di zaman sekarang, para pengebom bunuh diri adalah orang-orang yang yakin betul bahwa itulah caranya kalau mau langsung masuk surga dan disambut oleh para bidadari di sisi Allah SWT. Itulah cara terbaik untuk mati syahid sebagai syuhada. Mati di jalan jihad. Di Palestina, Irak, Pakistan, dan Afghanistan, banyak orang seperti ini. Khususnya yang dibina oleh organisasi Al-Qaeda asuhan Osama bin Laden.
Di Indonesia, jaringan Al-Qaeda memengaruhi sebagian kecil dari anggota Jamaah Islamiah (JI) dan merekalah yang selama ini melakukan pengeboman bunuh diri di Indonesia (Marriot I, Bali I dan II, Kedubes Australia, Poso, dsb). Namun sejak 2005 tidak ada lagi bom-boman di Indonesia.
Sebagai peneliti yang sejak 2006 memfokuskan diri pada penelitian tentang kepribadian teroris Indonesia, saya mempunyai banyak teman di kalangan polisi (termasuk Densus 88/Antiteror) maupun di kalangan anggota JI, baik yang pernah terlibat pengeboman (sebagian masih ada di dalam penjara/rumah tahanan, sebagian yang lain sudah bebas) maupun yang tidak. Dari teman-teman ini saya mengetahui bahwa polisi sudah mengetahui dan bisa mendeteksi dini 80-90% jaringan kelompok JI radikal dan sempalan-sempalannya. Itulah sebabnya polisi berhasil menggagalkan upaya pengeboman di Palembang, Plumpang, dan Cilacap. Jadi rasa-rasanya tipis kemungkinan bahwa merekalah pelakunya. Apalagi Abu Bakar Baasyir sudah menyatakan bahwa pelaku-pelaku bom Ritz-Marriott adalah musuh-musuh Islam. Jadi teori "JI" ini juga kecil kemungkinannya.***
Jadi tinggal teori ketiga atau teori "residu". Saya namakan "residu" (sisa) karena mencakup hanya 10-20% komunitas Islam radikal yang masih di luar jangkauan pemantauan polisi. Salah satu kemungkinan adalah NMT (Noordin M Top) yang saat ini masih bebas berkeliaran di luar. Boleh jadi peristiwa-peristiwa di Afghanistan dan Pakistan (lembah Swat) dan China Barat mendorongnya untuk membalas dendam (atas nama) Islam (atau dirinya sendiri) kepada Amerika Serikat.
Sasaran yang sama (Marriott II) dan modus operandi yang sama dengan pengeboman-pengeboman di masa lalu memperkuat dugaan ini. Sumber-sumber di lingkungan JI yang saya kenal tidak mengetahui rencana bom Ritz-Marriott ini, apalagi mengenal pelaku-pelakunya. Karena itu sangat mungkin mereka adalah orang-orang baru yang direkrut NMT sehingga masih di luar pemantauan polisi.
Kesimpulannya, walaupun persentasenya kecil, kemungkinan besar teori residu inilah yang benar. Pasalnya untuk melaksanakan pengeboman seperti yang terjadi di Ritz-Marriot dan bom-bom sebelumnya di Indonesia, hanya diperlukan beberapa gelintir orang. Tidak seperti menyebarkan ideologi, termasuk ideologi jihad, yang memerlukan sebanyak mungkin orang.***
Teori-teori di atas adalah rekaan saya sendiri setelah mendapat masukan dari teman-teman pakar, anggota JI, polisi, dan awam (termasuk ibu dan adik saya). Mungkin sekali banyak yang berteori seperti saya. Namun tentu saja teori ini bisa meleset karena pengungkapan suatu tindak kejahatan harus mengikuti prosedur penyidikan kepolisian yang ketat dan berbasis data yang akurat (dalam istilah kepolisian "alat bukti").
Bukan reka-rekaan di atas kertas, apalagi kalau tanpa kertas sama sekali, alias mengkhayal saja. Akan tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita harus sangat waspada terhadap kemungkinan yang paling kecil sekalipun. Bahkan yang tampaknya tidak mungkin bisa saja mungkin. Dalam ilmu pengetahuan gejala tidak mungkin jadi mungkin disebut gejala "angsa hitam" (selama berabad-abad umat manusia yakin bahwa semua angsa berwarna putih, sampai ditemukannya angsa hitam di Benua Australia).
Kelengahan terhadap gejala angsa hitam ini bisa fatal akibatnya. Beberapa saat sebelum bom meledak, satpam Dikdik menyapa seorang tamu yang membawa koper dan tas punggung. Dia pikir tak lazim tamu Hotel JW Marriott yang bukan hendak check in membawa-bawa koper dan tas punggung. Namun karena dia pikir tidak mau mengganggu kenyamanan tamu, dia tidak menanyai tamu itu lebih lanjut dan membiarkannya pergi.
Padahal dialah sang angsa hitam dan beberapa menit kemudian bom pun meledak. Sebaliknya, diketahuinya lokasi persembunyian Dr Azahari di Batu, Malang (sehingga akhirnya Dr Azahari tewas dalam penyerbuan oleh polisi), antara lain karena kewaspadaan anggota masyarakat yang jeli melihat ada orang-orang "aneh" di lingkungannya dan melapor ke polisi. Angsa hitam diketahui tempatnya dan segera dibekukan aktivitasnya oleh polisi karena kewaspadaan masyarakat.
Sekarang, kalau teori residu benar, bisakah kita menangkal angsa hitam yang namanya NMT? Bisa asalkan kita semua di seluruh NKRI, terutama di Pulau Jawa, selalu waspada terhadap gerak-gerik yang mencurigakan, termasuk melaksanakan wajib lapor 24 jam di setiap lingkungan RT/RW. Siapa tahu dialah angsa hitam yang kita cari-cari.(*) Sarlito Wirawan Sarwono Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian UI (//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar