Opini
Antasari, Antara Fitnah dan Suap
Jum'at, 7 Agustus 2009 - 10:03 wib TEXT SIZE : Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Akhirnya gugatan untuk para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin aktual dengan penyataan terbaru Antasari Azhar (AA).
Dalam pernyataan tertulis setebal empat halaman, AA menceritakan beberapa hal berkaitan adanya dugaan suap terhadap dua komisioner yang tersisa di KPK. Lewat testimoni tertulis itu, AA menaruh arang ke muka para komisioner. Mereka disebut telah menerima suap sejumlah tertentu dari seorang pengusaha yang sedang terlibat perkara korupsi. AA mencantumkan dalam testimoninya bahwa itu berdasar pengakuan orang tersebut yang dia temui di suatu tempat.
Fitnah atau Suap?
Namun, tampaknya, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisis. Pertama, kemungkinan adanya suap atau kemungkinan fitnah tentu masih pada posisi fifty-fifty. Namun, rasanya, ada beberapa fakta yang menarik yang memperlihatkan kemungkinan ketiadaan suap yang dapat berujung pada kemungkinan fitnah. Misalnya saja, pertanyaan penting perihal adanya suap. Jika memang suap telah dibayarkan dan aklamasi para komisioner menerima seperti yang dituliskan oleh AA dalam testimoninya, mengapa perkara korupsi yang diduga melibatkan pengusaha yang membayar tetap saja berjalan seperti biasanya? Rasanya, jika memang ada bayaran suap, kemungkinan besar perlakuan istimewa akan dilakukan pada perkara si pembayar. Namun, mengapa perkaranya terus saja lanjut melalui jalan tol yang bebas hambatan? Jika dua komisioner dianggap telah menerima, walau tidak bisa dikatakan tidak mungkin, sangat besar kemungkinan perkara ini sudah mandek dan berhenti. Hal lainnya, pertanyaan perihal kapasitas apa AA kemudian menemui sang pembayar?
Pertanyaan yang sama, apa tujuan si pembayar memanggil AA? Jika itu dimaksudkan sebagai laporan kepada AA bahwa para komisioner lain sudah berperilaku buruk dengan menerima uang suap, pertanyaan pentingnya adalah mengapa AA seakan-akan membiarkan? Bahkan, seakan-akan ketika terdesak saat ini, baru kemudian AA memublikasikannya melalui testimoni.
Bisa saja ada kemungkinan untuk menjawab ini, AA juga ikut menikmati sejumlah uang sehingga tidak melaporkan apa-apa. Pertemuan AA dengan si pembayar juga berarti pembayaran terhadap AA. Namun, artinya, melalui testimoni, AA hanya mempermalukan dirinya sendiri dengan seakanakan telah berkata dia telah dibayar dan ada pengakuan dari orang yang membayar ini bahwa para komisioner yang lain juga telah dibayar.
Tentu, mustahil rasanya bahwa AA kemudian membuka sendiri amunisi yang akan mengarah pada dirinya. Namun, jika tetap pada kemungkinan laporan kepada AA, pertanyaan mengapa AA tidak menindaklanjutinya kembali menjadi pertanyaan terbesarnya. Hal lainnya, jika AA berani melanggar Pasal 36 jo Pasal 65 UU KPK, yang melarang para komisioner untuk bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang terkait korupsi dengan ancaman pidana 5 tahun, tentu itu dengan alasan yang sangat penting. Apa alasan tersebut, tentunya hanya AA yang mengetahuinya.
Namun, paling tidak ini merupakan pelanggaran yang paling nyata telah dilakukan oleh AA. Rasanya, ancaman 5 tahun juga pantas disematkan pada tindakan ini. Selain itu, membaca serangan ini tentunya agak sulit dilepaskan dari konteks serangan terhadap KPK yang eskalatif beberapa bulan terakhir. Belakangan ini ada banyak dan beragam. Mulai dari melemahkan KPK, menghalangi pengadilan tindak pidana korupsi hingga melemahkan aturan mengenai tindak pidana korupsi.
Daftar bahkan belum selesai. Serangan terhadap KPK melalui ancaman BPKP hingga isu "cicak vs buaya" menghiasi dan melengkapi berbagai ancaman tersebut. Jika membacanya secara hubungan kaitmengait, jangan-jangan memang ada benang merah dari catatan panjang ini? Butuh segera diverifikasi agar dugaan publik mampu segera terjawab kadar benar atau salahnya.
Langkah KPK
Gangguan ini tentu tidak boleh dijadikan alasan bagi KPK untuk kecut dan mundur. Kepentingan pemberantasan korupsi malah semakin harus dipercepat. KPK tidak boleh berlama-lama kebakaran jenggot. Langkah klarifikasi memang dibutuhkan, tetapi tidak boleh dan jangan sampai menyita semua perhatian KPK sehingga seakan-akan melupakan agenda utamanya dalam pemberantasan korupsi.
Ada banyak kasus dan dugaan korupsi yang berseliweran di kitaran upaya membunuh atau melemahkan KPK ini. KPK mestinya membagi stamina dan perhatian yang besar pada perkara-perkara ini. Pihak-pihak tertentu yang berhasrat menghajar KPK jangan-jangan memang ikut mengambil tempat dan porsi pada upacara pembunuhan KPK. Selain tidak menurunkan tensi pemberantasan korupsi, KPK rasanya perlu mengambil langkah atas pelanggaran Pasal 36 jo Pasal 65 UU KPK oleh AA.
KPK harus segera memproses pelaporan atas kesalahan itu dan selayaknya, kepolisian mengedepankan proses yang ini untuk diperiksa dan diverifikasi. Karena, ini merupakan salah satu kunci yang terpenting untuk mendedahkan posisi sebenarnya dari pertemuan AA dengan si pembayar. Jika ini clear, kemungkinan besar akan banyak pertanyaan dan gugatan di atas yang akan terjawab dengan mudah.
Profesionalitas Kepolisian
Tidak kalah pentingnya, kewajiban kepolisian untuk berlaku profesional. Keprofesionalan ini bisa dihadirkan dengan beberapa cara. Misalnya, memproses perkara ini secara baik dan objektif. Tidak layak rasanya model testimoni atas bukti (testimoni de auditu) dijadikan landasan bukti untuk menetapkan tersangka. Karenanya, keprofesionalan untuk menggali benar-benar kejadian dan fakta-fakta di seputar kejadian ini menjadi penting. Harus dilupakan kejadian cicak vs buaya supaya tidak ada kemungkinan terdistorsinya kepentingan penyidikan pada wilayah ini. Kepolisian jangan terburu-buru untuk menetapkan suatu tersangka. Apalagi berhadapan dengan KPK. Memang, harus kita akui bahwa dalam konsep negara hukum, tentu tidak satu pun pihak yang boleh mendapatkan perlakukan istimewa. Setidaknya doktrin equality before the law telah mengingatkan hal tersebut. Karenanya, siapa pun yang bersalah, dengan kadar kesalahan apa pun, seharusnya mendapatkan tindakan hukum. Namun polisi harus ingat bahwa KPK adalah lembaga yang diatur secara detail pemberhentiannya, jika anggotanya menjadi tersangka akan berhenti sementara dan jika menjadi terdakwa berhenti permanen.
Karenanya menjadi penting untuk berhati-hati. Seenaknya menetapkan tersangka sangat mungkin berimplikasi pada mandeknya kerja KPK akibat ketiadaan komisioner. Semua pihak itu harus sesegera mungkin menyelesaikan kisruh testimoni AA. Inilah yang dapat menempatkan AA pada konteks tepat, apa fitnah atau memang ada suap? Wallahu a'lam.(*) Zainal Arifin Mochtar Dosen dan Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta (//mbs)
Antasari, Antara Fitnah dan Suap
Jum'at, 7 Agustus 2009 - 10:03 wib TEXT SIZE : Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Akhirnya gugatan untuk para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin aktual dengan penyataan terbaru Antasari Azhar (AA).
Dalam pernyataan tertulis setebal empat halaman, AA menceritakan beberapa hal berkaitan adanya dugaan suap terhadap dua komisioner yang tersisa di KPK. Lewat testimoni tertulis itu, AA menaruh arang ke muka para komisioner. Mereka disebut telah menerima suap sejumlah tertentu dari seorang pengusaha yang sedang terlibat perkara korupsi. AA mencantumkan dalam testimoninya bahwa itu berdasar pengakuan orang tersebut yang dia temui di suatu tempat.
Fitnah atau Suap?
Namun, tampaknya, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisis. Pertama, kemungkinan adanya suap atau kemungkinan fitnah tentu masih pada posisi fifty-fifty. Namun, rasanya, ada beberapa fakta yang menarik yang memperlihatkan kemungkinan ketiadaan suap yang dapat berujung pada kemungkinan fitnah. Misalnya saja, pertanyaan penting perihal adanya suap. Jika memang suap telah dibayarkan dan aklamasi para komisioner menerima seperti yang dituliskan oleh AA dalam testimoninya, mengapa perkara korupsi yang diduga melibatkan pengusaha yang membayar tetap saja berjalan seperti biasanya? Rasanya, jika memang ada bayaran suap, kemungkinan besar perlakuan istimewa akan dilakukan pada perkara si pembayar. Namun, mengapa perkaranya terus saja lanjut melalui jalan tol yang bebas hambatan? Jika dua komisioner dianggap telah menerima, walau tidak bisa dikatakan tidak mungkin, sangat besar kemungkinan perkara ini sudah mandek dan berhenti. Hal lainnya, pertanyaan perihal kapasitas apa AA kemudian menemui sang pembayar?
Pertanyaan yang sama, apa tujuan si pembayar memanggil AA? Jika itu dimaksudkan sebagai laporan kepada AA bahwa para komisioner lain sudah berperilaku buruk dengan menerima uang suap, pertanyaan pentingnya adalah mengapa AA seakan-akan membiarkan? Bahkan, seakan-akan ketika terdesak saat ini, baru kemudian AA memublikasikannya melalui testimoni.
Bisa saja ada kemungkinan untuk menjawab ini, AA juga ikut menikmati sejumlah uang sehingga tidak melaporkan apa-apa. Pertemuan AA dengan si pembayar juga berarti pembayaran terhadap AA. Namun, artinya, melalui testimoni, AA hanya mempermalukan dirinya sendiri dengan seakanakan telah berkata dia telah dibayar dan ada pengakuan dari orang yang membayar ini bahwa para komisioner yang lain juga telah dibayar.
Tentu, mustahil rasanya bahwa AA kemudian membuka sendiri amunisi yang akan mengarah pada dirinya. Namun, jika tetap pada kemungkinan laporan kepada AA, pertanyaan mengapa AA tidak menindaklanjutinya kembali menjadi pertanyaan terbesarnya. Hal lainnya, jika AA berani melanggar Pasal 36 jo Pasal 65 UU KPK, yang melarang para komisioner untuk bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang terkait korupsi dengan ancaman pidana 5 tahun, tentu itu dengan alasan yang sangat penting. Apa alasan tersebut, tentunya hanya AA yang mengetahuinya.
Namun, paling tidak ini merupakan pelanggaran yang paling nyata telah dilakukan oleh AA. Rasanya, ancaman 5 tahun juga pantas disematkan pada tindakan ini. Selain itu, membaca serangan ini tentunya agak sulit dilepaskan dari konteks serangan terhadap KPK yang eskalatif beberapa bulan terakhir. Belakangan ini ada banyak dan beragam. Mulai dari melemahkan KPK, menghalangi pengadilan tindak pidana korupsi hingga melemahkan aturan mengenai tindak pidana korupsi.
Daftar bahkan belum selesai. Serangan terhadap KPK melalui ancaman BPKP hingga isu "cicak vs buaya" menghiasi dan melengkapi berbagai ancaman tersebut. Jika membacanya secara hubungan kaitmengait, jangan-jangan memang ada benang merah dari catatan panjang ini? Butuh segera diverifikasi agar dugaan publik mampu segera terjawab kadar benar atau salahnya.
Langkah KPK
Gangguan ini tentu tidak boleh dijadikan alasan bagi KPK untuk kecut dan mundur. Kepentingan pemberantasan korupsi malah semakin harus dipercepat. KPK tidak boleh berlama-lama kebakaran jenggot. Langkah klarifikasi memang dibutuhkan, tetapi tidak boleh dan jangan sampai menyita semua perhatian KPK sehingga seakan-akan melupakan agenda utamanya dalam pemberantasan korupsi.
Ada banyak kasus dan dugaan korupsi yang berseliweran di kitaran upaya membunuh atau melemahkan KPK ini. KPK mestinya membagi stamina dan perhatian yang besar pada perkara-perkara ini. Pihak-pihak tertentu yang berhasrat menghajar KPK jangan-jangan memang ikut mengambil tempat dan porsi pada upacara pembunuhan KPK. Selain tidak menurunkan tensi pemberantasan korupsi, KPK rasanya perlu mengambil langkah atas pelanggaran Pasal 36 jo Pasal 65 UU KPK oleh AA.
KPK harus segera memproses pelaporan atas kesalahan itu dan selayaknya, kepolisian mengedepankan proses yang ini untuk diperiksa dan diverifikasi. Karena, ini merupakan salah satu kunci yang terpenting untuk mendedahkan posisi sebenarnya dari pertemuan AA dengan si pembayar. Jika ini clear, kemungkinan besar akan banyak pertanyaan dan gugatan di atas yang akan terjawab dengan mudah.
Profesionalitas Kepolisian
Tidak kalah pentingnya, kewajiban kepolisian untuk berlaku profesional. Keprofesionalan ini bisa dihadirkan dengan beberapa cara. Misalnya, memproses perkara ini secara baik dan objektif. Tidak layak rasanya model testimoni atas bukti (testimoni de auditu) dijadikan landasan bukti untuk menetapkan tersangka. Karenanya, keprofesionalan untuk menggali benar-benar kejadian dan fakta-fakta di seputar kejadian ini menjadi penting. Harus dilupakan kejadian cicak vs buaya supaya tidak ada kemungkinan terdistorsinya kepentingan penyidikan pada wilayah ini. Kepolisian jangan terburu-buru untuk menetapkan suatu tersangka. Apalagi berhadapan dengan KPK. Memang, harus kita akui bahwa dalam konsep negara hukum, tentu tidak satu pun pihak yang boleh mendapatkan perlakukan istimewa. Setidaknya doktrin equality before the law telah mengingatkan hal tersebut. Karenanya, siapa pun yang bersalah, dengan kadar kesalahan apa pun, seharusnya mendapatkan tindakan hukum. Namun polisi harus ingat bahwa KPK adalah lembaga yang diatur secara detail pemberhentiannya, jika anggotanya menjadi tersangka akan berhenti sementara dan jika menjadi terdakwa berhenti permanen.
Karenanya menjadi penting untuk berhati-hati. Seenaknya menetapkan tersangka sangat mungkin berimplikasi pada mandeknya kerja KPK akibat ketiadaan komisioner. Semua pihak itu harus sesegera mungkin menyelesaikan kisruh testimoni AA. Inilah yang dapat menempatkan AA pada konteks tepat, apa fitnah atau memang ada suap? Wallahu a'lam.(*) Zainal Arifin Mochtar Dosen dan Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta (//mbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar