Penang, Kota Tua yang Lahir Lewat Peradaban Agama
Rachmadin Ismail - detikNews
Sejak abad ke 18, Pulau Penang sudah menjadi contoh nyata sebuah peradaban
antaretnis yang bersahaja. Kaum Tionghoa, muslim Melayu, Arab, etnis keturunan Eropa hingga warga keturunan India yang menganut agama Hindu, hidup berdampingan di pulau tersebut.
Tempat ibadah masing-masing berimpitan di sebuah kawasan padat penduduk. Mereka berinteraksi, berdagang dan melakukan ritual keagamaan tanpa 'gesekan' satu sama lain. Hingga kini, simbol peradaban masyarakat Penang tersebut masih digunakan untuk ibadah.
Tidak hanya itu, rumah dan toko milik penduduk yang berusia seabad lebih itu
juga masih ada. Bahkan sebagian tempat masih digunakan berbisnis tanpa merubah tampilan gedung. Atas hal ini, badan dunia Unesco menganugerahi gelar pada Penang sebagai World Heritage Site atau tempat bersejarah dunia.
"Kalau direnovasi boleh, sebatas mengecat atau memperbaiki dekorasi, tapi kalau dibongkar dan dibangun gedung baru sangat dilarang oleh pemerintah Malaysia," kata Dennis, salah seorang warga Penang, Sabtu (8/8/2009).
Tempat ibadah yang cukup mempengaruhi peradaban Penang adalah gereja St George. Nama tersebut diambil dari nama raja Inggris King George III, yang sedang berkuasa di Inggris kala itu. Adalah Sir Francis Light yang merupakan orang nomor satu di Penang dan membangun gereja pada sekitar abad ke 19.
Kini Gereja yang dipenuhi burung gagak tersebut sedang menjalani renovasi.
Sekitar 50 meter dari lokasi gereja, tampak tegak berdiri sebuah kuil bernama Goddes of Mercy. Kuil ini dibangun untuk menghormati 2 dewi simbol kesucian yaitu Dewi Kuan Yin dan Ma Char Poh. Hingga kini, warga setempat masih menggunakannnya setiap hari untuk beribadah. Ratusan burung merpati pun nampak setia hinggap di kuil tersebut seiring dengan semburat asap hio yang dibakar.
Vihara milik umat Hindu juga tidak berada jauh dari lokasi tersebut. Para pengunjung situs bersejarah ini hanya diperkenankan untuk melihat-lihat isi vihara mulai pukul 17.00 hingga 19.00 waktu setempat.
Di seberang vihara, juga terdapat sebuah masjid megah yang dibangun tidak lama berselang dengan pusat ibadah lainnya. Konon masjid tersebut dibangun untuk menghormati Kapten Kling, seorang tokoh yang dihormati saat itu pada tahun 1918. Jalan didepannya pun dinamai Jalan Masjid Kapitan Keling. Pada bangunan tua ini pemugaran sudah dilakukan sebanyak 2 kali.
Hingga kini, seluruh etnis di Penang tetap berdampingan. Suasana penuh toleransi selalu dijaga bahkan untuk perkara jajanan. Warga non muslim tetap menghormati aturan halal kaum muslim dengan memberikan informasi terlebih dahulu soal bahan makanannya.
Penang, sampai kapan pun akan tetap dikenang sebagai kota tua yang
tenang... (mad/lrn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar