Berdo'a untuk keselamatan Bangsa dan Negara Indonesia (Herman)
Uang Pecahan Keras Baru Rp. 2000.-
Gambar Muka Mengangkat Pahlawan Nasional Pangeran Antasari
Uang Pecahan Kertas Baru Bernilai Rp. 2000
Gambar Belakang Mengangkat Tarian Tradisional Dayak
Kata-Kata Bijak
"Tidak ada waktu yang terbuang percuma jika Anda menggunakan pengalaman dengan bijak." Rodin (1840-1917), pematung Prancis
Info Buku : Bersama Mas Pram Memoar Dua adik Pramoedya Ananta toer
Gambar tersebut merupakan sampul buku berjudul : "Bersama Mas Pram : Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer" yang ditulis Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. Buku ini menceritakan secara detail tentang sosok Pramoedya Ananta Toer. Sangat layak dan perlu dibaca oleh generasi bangsa ini. Kita tidak hanya diajak untuk mencari tahu siapa dan bagaimana sosok Pram sesungguhnya. Lebih dari sekedar itu kita pun akan memberi kesimpulan sendiri (masing-masing pribadi) terhadap sosok Pram begitu usai membacanya. Kita akan berterimakasih kepada penulis buku ini yang telah memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan tentang Pramoedya Ananta Toer yang mungkin belum pernah terjawab sebelumnya. Tanpa tulisan kedua Adik Pram ini, mungkin saja pertanyaan akan tetap mendorong pada suatu yang misteri. (Suherman)
Album Pak Harto
"Ya Allah! Berilah kekuatan kepada bangsa dan negara ini dalam menghadapi berbagai cobaan. Amin...!"
Pesan (Alm) Pak Harto
"Wujudkan Kejayaan Indonesia," demikian pesan Pak Harto kepada Ketua Umum PKPB
Buku : Ancaman Negeri Jiran Dari Ganyang Malaysia sampai Konflik Ambalat
Halaman Depan Judul Buku
A.M. Fatwa : "A. Karim DP, Sakit Hati Dituduh Berbeda."
Gambar di atas menunjukkan kami bertiga begitu akrab berteman meskipun berbeda ideologi. Tampak Ki-Ka : Suherman, A. Karim DP, AM. Fatwa & Andi Moersalim berjalan turun dari KA Parahiyangan di Statsiun KA. Andir-Bandung, Jawa Barat saat akan menhadiri peringatan 40 hari wafatnya H. Mahbub Djunaidi (Tokoh NU dan Mantan Wartawan Duta Masyarakat). Dalam KA yang sama sebenarnya masih ada beberapa tokoh lainnya seperti : Joesoef Ishak, Pramoedya Ananta Toer dan Bapak Hasyim Rachman. Ketiga nama terakhir ini merupakan mantan tapol dan mantan wartawan Harian Rakyat dan Bintang Timur. Dalam usia yang ke 73 tahun Pak Karim (biasa saya memanggilnya) saat ini tergolek lemah di pembaringan. Usianya yang semakin tua merapuhkan kesehatannya. Hampir 2 tahun lebih saya tidak menemuinya. Melalui telepon, saya sering menanyakan perkembangan kesehatan Pak Karim kepada putrinya seorang PNS di RRI Jakarta. Sebagai penghargaan dan penghormatan atas hubungan persahabatan antara saya, AM. Fatwa dan Pak Karim DP, berikut saya kutipkan secara utuh Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa A.M. Fatwa dalam Bidang Pendidikan Luar Sekolah yang disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbuka Universitas Jakarta Pada tanggal 16 Juni 2009. Selengkapnya beginilah : "Kepada A. Karim DP, mantan Tapol Orba (Tahanan Politik Orde Baru), mantan Ketua Umum PWI dan Pemimpin surat kabar Warta Bakti yang berjaya di masa Orde Lama dan menjadi tapol Orde Baru 11 tahun tanpa pengadilan. Sikap politiknya kekiri-kirian sehingga nyaris dianggap berpaham komunis, padahal rajin ibadah dan memang dia alumnus Muallimin Muhammdiyah Yogyakarta di masa revolusi. Sejatinya dia seorang kader PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bung Karnois. Sama halnya Subandrio (mantan Waperdam I) dan Oemar Dhani (mantan KSAU) yang dalam pertukaran-pertukaran pikiran saya di penjara Cipinang yang merasa sangat sakit hati dituduhKomunis padahal kedua tokoh itu menurutnya semata hanya sebagai pembantu dan bawahan yang taat dan cinta Bung Karno.Saat ini Karim DP sudah beberapa tahun sakit terbaring lemah di tempat tidur karena usia tua dan sekali-sekali saya sempatkan menjenguknya. Dia sangat setia membesuk saya di penjara terutama ketika di Cirebon dan Sukamiskin – Bandung. Dialah yang susah payah mengedit pledoi saya di Pengadilan menjadi sebuah buku yang menarik perhatian dan diterbitkan oleh Kompas dengan judul “Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili”. Pledoi saya setebal 1118 halaman itu mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pledoi terpanjang di dunia. Meskipun A. Karim DP berasal satu daerah dengan saya dari Sulawesi Selatan tapi barulah saling kenal dari dekat karena sama-sama senasib sebagai tapol orde baru meskipun aliran politik kami berbeda. Seorang teman yunior saya Suherman yang waktu itu pegawai Arsip Nasional RI yang menghubungkan saya dengan A. Karim DP sehingga kami bertiga sering bepergian dan makan bersama. Suherman adalah teman yang sungguh sangat berjasa menyelamatkan dokumen dan surat-surat saya dari penjara sehingga sebagiannya bisa diedit dan diterbitkan jadi buku. Suherman jugalah yang membawa saya bertamu ke rumah Pramoedya Ananta Toer di bulan puasa sebagai sesama bekas tapol, apapun perbedaan dan latar belakang namun cepat terjalin keakraban perasaan. Sempat berdialog berjam-jam dengan Pramoedya Ananta Toer hingga pembicaraan mandeg saat bicara soal akhirat yang dianggapnya terlalu luks baginya untuk bertukar pikiran tentang akhirat. Istri Pramoedya Ananta Toer, yaitu Maemunah Thamrin (keponakan pejuang nasional Mohammad Husni Thamrin), lalu menyediakan saya kolak buka puasa dan sajadah untuk sholat Maghrib. "
A. Karim DP, Mantan Ketua PWI Yang Terlupakan
Abdul Karim Daeng Patombong (Ampala Poso, Sulawesi Tengah, 29 Mei 1926). Ketua umum PWI Pusat tahun 1963-1965 yang lebih dikenal dengan nama Karim DP ini, menjadi wartawan lebih karena bakat. Sejak kecil Karim DP memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap berbagai masalah. Ia selalu mencari tahu latar belakang suatu peristiwa atau masalah, di samping senang membaca, menulis, dan melakukan perjalanan.Pendapatnya tentang profesi wartawan, pertama, profesi ini memberikan kesempatan untuk banyak mengenal pejabat, tokoh masyarakat dan politisi, serta dikenal banyak orang. Kedua, profesi wartawan merupakan salah satu pekerjaan yang penuh tantangan dan paling efektif untuk memperkaya pengetahuan, karena setiap hari terlibat dalam hal-hal baru, guna disebarkan sebagai informasi kepada masyarakat luas. Ketiga, setiap hari wartawan dituntut banyak membaca dan belajar guna memperdalam wawasan, bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, profesi, dan kedudukan, sehingga mampu menyerap dan mengolah informasi guna disampaikan kepada masyarakat. Karim DP menempuh pendidikan di Sekolah Mubaligh Muhammadiyah, Yogyakarta. Semasa sekolah ia sudah mulai mengirim karangan ke berbagai suratkabarIa mulai memasuki dunia kewartawanan pada masa pendudukan Jepang dengan bekerja di Kantor Berita Domei. Sesudah proklamasi ia menjadi wartawan perang di Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta (1945-1950), kemudian pindah ke Sin Po, Jakarta, yang belakangan berganti nama menjadi Panca Warta, dan kemudian berganti lagi menjadi Warta Bhakti. Di media ini Karim sempat menduduki jabatan puncak sebagai pemimpin redaksi karena, Presiden Soekarno menghendaki koran ini dipimpin oleh orang Indonesia asli. Semasa memimpin Warta Bhakti, ia juga aktif dalam kepengurusan PWI. Mulai dari Penulis II Pengurus PWI Jaya (1960-1961) hingga menjadi Ketua Umum PWI Pusat (1963-1965), menggantikan Djawoto yang terpilih sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) dan kemudian menjadi Duta Besar di RRC. Sebagai pengurus PWI Pusat, Karim berkesempatan menjadi anggota MPRS (1960-1963), dan anggota DPA (1963-1965). Di bidang politik, ia pernah menjadi anggota Badan Pekerja Kongres PNI (1963-1965).Pada masa itu, PWI yang memang sudah banyak dipengaruhi komunis, banyak bergerak di dalam aksi politik, misalnya, menghadapi BPS dan suratkabar atau wartawan yang tidak sefaham, ataupun menghantam kekuatan-kekuatan lain yang tidak sefaham seperti Angkatan Darat dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tidak lama sesudah peristiwa G30S/PKI, posisinya sebagai Ketua Umum PWI Pusat diganti. Ia tak diizinkan lagi menjalani profesi wartawan, dan ditahan selama 14 tahun. Setelah Orde Baru tumbang ia dapat aktif kembali dengan bekerja di Jurnal Solidaritas. Sesudah angin reformasi berhembus di Indonesia, Karim DP, sejak 2002, menjadi Ketua Umum Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia.Pengalaman paling berkesan yang dirasakan Karim selama menjadi wartawan adalah ketika ditugaskan meliput langsung pertempuran di Ambarawa. Pada masa revolusi Karim memang menjadi wartawan perang. Pada hari tuanya, Karim meluncurkan dua buku yakni Dari Revolusi Agustus 1945 sampai Kudeta 1966 (2002) dan Apa Sebab Bung Karno Bisa Digulingkan? (2003). Ia pernah kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia, tapi tidak tamat.(Tim EPI/ES/SSWJ)
Omar Dhani: Figur yang Disegani Sekaligus Dicurigai
Penarikan Laksamana S. Suryadarma --salah seorang petinggi TNI AU--dari jabatan Panglima Angkatan Udara pada tahun 1962, mendatangkan berkah bagi Omar Dhani. Bekas sinder perkebunan Kebon Arum, Klaten, ini rupanya berkenan di hati Presiden Soekarno. Karena itu, pria berperawakan tegap yang baru bergabung dengan AURI sejak November 1950 ini dipercaya untuk menduduki tampuk pimpinan TNI AU. Perwira kelahiran Solo ini pernah ambil bagian secara aktif dalam operasi udara menumpas pemberontakan di wilayah Timur Indonesia. Perilaku Omar dikenal lembut. Di hadapan Bung Karno, ia lebih mengesankan seorang penurut. Karena itu, di mata pengagumnya, Omar dianggap sebagai bawahan yang penuh dedikasi. Tapi, di mata lawan politiknya, Omar dianggap orang yang sangat lihai mencari muka. Ketika Presiden Soekarno mengisyaratkan pembentukan "Angkatan Kelima", yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai, Omar Dhani menyambut dengan antusias. Padahal, di pihak lain, Angkatan Darat tampak jelas tak berselera. Tidak hanya itu. Omar pun melangkah lebih jauh. Ia menyetujui pelajaran Marxisme diajarkan di sekolah-sekolah dan Kursus Angkatan Udara. Ia bahkan tak keberatan apabila penasihat dari unsur Nasakom ditempatkan mendampingi pimpinan Angkatan Udara. Kedekatan dengan Bung Karno, membuat mantan Panglima Komando Siaga pada masa Dwikora ini makin ke 'kiri'. Kelak, keberpihakannya semakin jelas. Omar membiarkan "sukarelawan" yang kemudian menyokong G30S/PKI dilatih di sekitar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusumah oleh oknum perwira-perwira progresif kalangan TNI-AU. Akhirnya, nama Omar Dhani sulit dilepaskan dari gerakan yang membawa malapetaka itu. Ia salah satu dari dua tokoh nasional yang menyambut Bung Karno di Halim, 1 Oktober 1965 pagi. Tokoh lainnya adalah DN Aidit, Ketua CC PKI. Ketika pembersihan merambat ke dalam tubuh ABRI, Presiden Soekarno kehabisan akal untuk mempertahanakan Omar. Setelah menyerahkan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Udara kepada Sri Mulyono Herlambang, Omar diperintahkan melakukan perjalanan keluar negeri bersama isteri. Tapi, ketika pelaku-pelaku G30S mulai diadili, kesaksian Omar kian terasa diperlukan. Ia dipanggil pulang dari Pnom Penh, Kamboja. Tak dinyana, petugas yang menjemputnya di bandara ternyata mengantarkan Omar ke rumah tahanan. Desember 1966, putra mantan Bupati Boyolali ini maju ke sidang Mahmilub sebagai terdakwa. Mengenakan setelan jas coklat, ia tampak sedikit kurus. Proses pengadilan sendiri berjalan lancar. Mahmilub menjatuhkan hukuman mati untuk bekas laksamana madya itu. Setelah hampir lima belas tahun mendekam di penjara, Omar belum juga menerima hukuman mati. Di kamar tahanan, Omar kabarnya tekun mempelajari Islam. Usai salat Isya, Omar suka berzikir. Bahkan, hampir setiap tengah malam, pukul 24.00, ia mengambil air wudhu lalu salat tahajud. Ia berharap dapat menjalani ekskusi setelah lebih dahulu salat malam. Pelaksanaan ekskusi biasanya memang diberitahukan kepada narapidana sekitar tengah malam. Di samping itu, selama di penjara, Omar pun rajin puasa Senin-Kamis. Pada 14 Desember 1982, Omar Dhani bersama Soebandrio dipanggil Mahmilti. Pemanggilan ini ternyata bukan untuk melaksanakan eksekusi. Secara resmi, pemerintah memberikan grasi (keringanan hukuman) kepada kedua tokoh tersebut. Berupa hukuman penjara seumur hidup. Ketika media massa menyiarkan berita grasi itu, banyak karangan bunga, telepon, dan surat yang berdatangan ke kediaman Omar di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta. Tak berhenti di situ, Omar dan dua mantan petinggi orde lama lainnya, kemudian sekali lagi mengajukan permohonan grasi. Sesuatu yang baru dalam hukum Indonesia, pengajuan grasi lebih dari satu kali.Terhitung pukul 00.00 tanggal 16 Agustus 1995, akhirnya Omar Dhani berhak menghirup udara bebas. Berdasarkan keputusan Presiden Soeharto tanggal 2 Juni 1995 dan yang kemudian diumumkan Mensesneg Moerdiono di Gedung Utama Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (28/7) siang, Omar Dhani memperoleh grasi. Saat itu Mensesneg mengatakan, setelah tanggal 15 Agustus 1995, Soebandrio, Omar Dhani, dan Soegeng Soetarto akan menghirup udara bebas di tengah masyarakat. Kepulangan Omar disambut hangat oleh keluarga, kerabat, dan teman-teman sejawat. Omar Dhani akhirnya memang mendapat kesempatan untuk menghabiskan hari tuanya di tengah anak dan cucu. Tapi, sejumlah pertanyaan besar rupanya masih enggan meninggalkan perwira tua yang mulai uzur ini. Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah seputar keterlibatan Omar dalam peristiwa berdarah tanggal 30 September 1965. Vonis Mahmilub ternyata tidak memuaskan orang. Sejumlah "buku putih" memang telah mencoba membuat klarifikasi. Sayangnya, klarifikasi itu pun umumnya belum bisa menghitam-putihkan peristiwa 30 September 1965 yang hingga kini masih "abu-abu". Omar Dhani menjadi layak 'disentuh' kembali ketika orang ramai berpolemik soal pencabutan Tap MPRS nomor XXV/MPRS/1966 seperti diusulkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. (Jajang Jamaludin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar