pini
Berislam Tanpa Terorisme
Selasa, 4 Agustus 2009 - 09:49 wib
Bom bunuh diri JW Marriott dan The Ritz Carlton (17/7/2009) menyisakan beragam kegelisahan. Selain telah melahirkan stigma membawa Islam sangat dekat dengan teroris, peristiwa tersebut kian memosisikan bangsa ini dalam zona subordinat di tengah bangsa-bangsa di dunia.
Bangsa ini dianggap sebagai negara rawan teror dan pada gilirannya terkesan menakutkan bagi siapa pun yang ingin berkunjung. Dampaknya tak sekadar traumatis, melainkan berefek pula pada kian rapuhnya bangunan sosial-ekonomi dalam skala mikro maupun makro.
Berkembang pelbagai asumsi, nama-nama seperti Noordin M Top serta Nur Hasbi dan Ibrahim bersinggungan dengan pesantren. Asumsi tersebut telah melahirkan stigma pesantren dekat dengan teroris. Apakah memang demikian? Tulisan ini bermaksud untuk menegasi asumsi dan stigma tersebut.
Kontestasi Kebenaran
Jika benar bahwa stimulasi ideologisnya adalah Islam, para pelaku bom bunuh diri melegitimasi diri sebagai orang-orang yang berjihad di jalan Allah (al-jihad fi Sabilillah). Dari sini secara sepintas muncul penilaian terhadap Islam yang berpretensi negatif.
Islam lantas dipandang sebagai agama yang stereotip dan stigmatis. Stigmatisasi terhadap Islam sebagai agama teror sesungguhnya telah muncul sejak beberapa dekade lalu sebagai bagian dari pertarungan wacana nilai antara Barat dan Timur. Hal ini paling tidak telah menjadi kritik yang dilontarkan oleh seorang pemikir Palestina yang tinggal di Amerika Serikat, Edward William Said, dalam karya monumentalnya The Orientalism.
Said dan sarjana muslim lain menilai adanya kesengajaan labelisasi negatif terhadap Islam sebagai tahap lanjut penjajahan pola pikir. Namun sarjana lain semisal Fazlur Rahman membenarkan adanya potensi radikalisme dalam ajaran Islam, tergantung dari sisi mana Islam digali dan didalami, laiknya ajaran agama lain yang selalu menyimpan saripati eksklusivitas di dalam dirinya (pembenaran sepihak). Pada posisi demikian, mendalami Islam mesti menyadari adanya dua potensi berbeda. Potensi pertama menampakkan sisi "keras".
Dia lebih banyak diwarnai rona konfliktual dalam konteks tarik ulur klaim kebenaran. Hampir semua agama mempunyai sejarah kelam ini. Kontestasi klaim kebenaran ini pada gilirannya mendorong sebagian kelompok agama menyandarkan perilakunya kepada perintah Tuhan. Inilah yang juga terjadi di kalangan muslim beraliran "keras" yang menjustifikasi bom bunuh diri sebagai bagian dari perang suci melawan kaum kafir. Hal seperti ini juga terjadi pada agama-agama lain.
Potensi kedua mendedahkan sisi "lunak"di mana substansi ajaran selalu dimuarakan pada optimisme berkehidupan dengan penonjolan nilai-nilai humanisme, penghargaan atas perbedaan dan kerukunan. Dialog menjadi salah satu metode penting dalam hal menyikapi pelbagai kontradiksi ajaran. Dialog dianggap sebagai sebuah elegansi mencari substansi kebenaran tanpa ada kekerasan seperti dalam elegansi tutur sapa Alquran wa jaadil hum billati hiya ahsan (berdebatlah dengan santun untuk orientasi kebaikan).
Tarik ulur antara sisi "keras" dan sisi "lunak" telah mendominasi khazanah Islam dari zaman dahulu, baik dalam konteks hukum (al-ahkam al-fiqhiyah), keyakinan (al-aqidah al-islamiyah) maupun dalam hal eksplorasi spiritualitas (at-tashawwuf). Dalam hal penafsiran Alquran, misalnya, terdapat dominasi dua kutub yang saling dipertentangkan, yaitu antara pihak salafi dengan khalafi, demikian seterusnya.
Para pelaku bom, dalam segala modusnya, menganut sisi "keras" dalam ajaran Islam ini. Apapun pilihan penggalian ajaran semuanya tidak ada yang salah. Namun, yang tidak dibenarkan adalah pilihan gerakan mengimplementasi ajaran dalam bentuk yang justru kontraproduktif dengan kemanusiaan.
Faktor Pendidikan Islam
Penyikapan kehidupan dalam domain apa pun tak dapat dilepaskan dari basis pendidikan semenjak kecil sebagai bentuk dari internalisasi nilai keagamaan.
Sejarah keberagamaan di Indonesia mencatat bahwa dunia pesantren telah banyak memberi kontribusi besar hadirnya para syuhada pembela Tanah Air sebagai pasukan berani mati untuk kemerdekaan Indonesia. Keberanian berjihad membela Tanah Air memang tak dapat dilepaskan dari doktrin yang diajarkan oleh para ustaz dan kiai di pesantren. Di titik ini terpahami bahwa pendidikan menjadi faktor utama pembentukan karakter.
Memang masih ada sedikit pesantren yang mengajarkan pola pendidikan dengan metode ceramah yang cenderung dogmatis dan hitam-putih tanpa memberikan alternatif pilihan lain. Berbagai faktor inilah yang mungkin menjadi salah satu alasan penting mengapa Ngruki mampu melahirkan alumni yang "berbeda". Warna "keras" ini semakin kentara ketika berlangsung pembelajaran dengan merujuk karya tokoh "keras" Islam yang lahir di era "kegelapan" Islam dan kolonialisasi Eropa yang tentunya sangat mempengaruhi karakter santri.
Di antara kitab itu adalah Tarbiyah Jihadiyah, Jundullah, Ma'alim fi al-Thariq, Al-Wala' wa al- Bara', dan lain-lain. Atau pemikiran tokoh pergerakan Islam akhir abad ke-19 semacam Fathi Yakan, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Said Salim al-Qahthani, Ibn Taimiyyah, Abdullah Azzam, Jamaludin Alafghani, dan sejenisnya. Nah, sebagai perimbangan wacana keras dalam pesantren, desain pendidikan agama, baik di pesantren maupun pendidikan umum, mutlak diberi substansi nilai humanisme, kerukunan, penghargaan atas perbedaan dan pembiasaan dialog.
Dalam tradisi ilmiah pesantren NU terdapat istilah bahtsul masail, kajian berupa diskusi (dialog) membahas beragam fenomena kehidupan dikupas dalam perspektif agama. Ini menjadi alternatif tradisi yang bisa ditumbuh-kembangkan terus-menerus. Pengenalan dan internalisasi nilai Islam rahmatan lil ?alamin atau biasa disebut dengan Islam moderat seperti yang dilaksanakan oleh pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama perlu dikembangkan.
Pesantren-pesantren tersebut selalu mengembangkan nilai humanisme dan nasionalisme yang, paling tidak, terdapat tiga komponen substansi Islam yang niscaya dipahami. Pertama, ukhuwah basyariyah (persaudaraan antarmanusia). Islam menganggap bahwa seluruh umat manusia, tanpa harus membedakan suku, ras,warna kulit dan bahkan agama, adalah saudara yang harus dilindungi dan saling melindungi. Islam mengharamkan penganiayaan terhadap orang lain di luar Islam dan meniscayakan hormat-menghormati dan toleransi.
Kedua, ukhwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa). Kerja sama antarbangsa mesti dijalin sebaik mungkin dalam rangka menuju perdamaian dan kesejahteraan dunia. Hubungan bangsa-bangsa ini tanpa membedakan latar belakang agama bangsa tersebut. Demarkasi kultural, teologis, dan struktural, pada wilayah ini musti didialogkan dan diupayakan pola relasi saling menguntungkan satu dan lainnya. Ketiga, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antarumat Islam). Sejarah peradaban Islam diwarnai oleh perbedaan corak pandang keberagamaan, baik domain teologi, hukum maupun spiritualitas.
Perbedaan tersebut memang kerap menimbulkan ketegangan di internal umat Islam. Namun tak sedikit pula ketegangan dan perbedaan itu dapat diselesaikan dengan damai dan musyawarah (dialog). Pada akhirnya, memahami substansi ajaran Islam dengan niat menemukan kebenaran dan persinggungan rabbani (ketuhanan) mutlak dilakukan dengan saling membuka diri dan membuka hati agar tidak "salah kaprah" memahami ajaran Islam dari perspektif kekerasan dan antihumanisme.
Pembelajaran nilai Islam rahmat dalam sistem pendidikan Islam diharapkan menjadi terapi bagi konstruksi Islam antiteroris. Wallahu a'lam.(*)
Dr Ali Masykur Musa
Anggota FPKB DPR RI dan Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar