Minggu, 08 November 2009

Demokrasi dan Kekuatan Kontrol Masyarakat

Demokrasi dan Kekuatan Kontrol Masyarakat

Minggu, 8 November 2009 - 13:28 wib
text TEXT SIZE :
Share

Demokrat, menurut Abraham Lincoln --salah satu presiden Amerika paling populer-- adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat. Definisi ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyatlah sesungguhnya yang mengatur pemerintahan.

Rakyat yang memilih dan memberhentikan para pemimpin, membuat kebijakan publik, mengawasi implementasi kebijakan publik, serta menghukum orang-orang pemerintah yang menyelewengkan kebijakan publik yang sudah disepakati bersama. Namun, dalam negara modern, tidak bisa semua rakyat memerintah, apalagi untuk negara besar seperti Indonesia.

Negara akan kacau-balau jika semua orang ikut memerintah, semua orang menjalankan kekuasaan secara bersama. Maka, dalam buku teks ilmu politik, demokrasi dibagi dalam demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung tinggal catatan sejarah (antara lain terjadi pada zaman Yunani kuno).

Sesuai namanya, dalam demokrasi perwakilan, rakyat menitipkan (sebagian) kedaulatan mereka kepada wakil-wakilnya di parlemen. Menitipkan tentu berbeda dengan menyerahkan. Rakyat tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Tidak pernah! Kedaulatan tetap milik rakyat.

Untuk menjalankan mandat tersebut, para wakil rakyat dengan sendirinya harus senantiasa memperhatikan, mendengar, dan melaksanakan suara serta aspirasi rakyat. Bilamana para wakil rakyat berkhianat, bukan suara rakyat yang dijalankan, melainkan kehendak pribadi atau kelompoknya, rakyat berhak bertindak, sampai ke penarikan mandat mereka dari tangan wakil-wakil mereka di parlemen.

Dalam bahasa populer, penarikan mandat kepada pemimpin dan wakil rakyat lebih sering dikatakan identik dengan pemecatan pemimpin atau penggulingan kekuasaan rezim. Bagaimana rakyat tahu bahwa pemimpin yang dipimpin atau wakil-wakil rakyat yang dipilih itu telah mengkhianati rakyat? Di sinilah peran sentral media massa.

Supaya rakyat bisa memilih pemimpin-pemimpin yang cakap dan dedikatif, supaya rakyat dapat menyusun kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran mereka, serta mengawasi secara aktif implementasi setiap kebijakan publik, rakyat membutuhkan informasi-informasi. Dalam sistem demokrasi, sebagian besar informasi yang diperlukan rakyat dipasok media massa.

Media massa, dengan demikian, menjadi kendaraan rakyat untuk bertindak sebagai pengawas. Maka, dalam sistem demokrasi, kebebasan media atau kebebasan pers dikatakan salah satu pilar penting. Jika kebebasan pers dikebiri atau dikendalikan secara ketat, sistem demokrasi takkan berjalan efektif. Yang ada hanyalah sistem otoriter atau demokrasi rekayasa seperti yang kita alami dalam era Orde Baru.

Sistem demokrasi memberikan peran media untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Media menjadi agent of control; bahkan media mempersepsikan dirinya sebagai the fourth estate, kekuatan keempat setelah kekuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pandangan yang lebih ekstrem lagi mengatakan bahwa media berdiri di atas ketiga cabang kekuasaan. Tentu, pandangan ini sudah masuk dalam "domain kebablasan"!

Apa sebab media/pers diberikan tempat sangat terhormat dalam sistem demokrasi? Tidak lain karena --dengan dukungan kebebasan yang optimal-- kemampuan media menghimpun segala informasi yang terkait pelaksanaan pemerintahan. Informasi apa saja bisa diakses media, termasuk informasi tentang penyimpangan dan borok-borok pemerintah dan para pemimpinnya.

Rakyat yang memiliki kepekaan politik dan rasa kepemilikan negara yang tinggi tentu senantiasa ikut pula mengawasi sepak terjang pemerintah. Jika pemerintah atau ada pemimpin yang dinilai menyeleweng --dalam arti mengkhianati aspirasi rakyat, rakyat dengan bantuan media massa akan bangkit memprotes serta melakukan perlawanan.

Jika ada jaminan terhadap kebebasan pers, jika sebagian besar orang media (baca: wartawan) menjalankan tugasnya secara profesional, media menjadi alat perjuangan rakyat yang amat ampuh. Kontrol sosial rakyat dan pengawasan media menjadi matching dan menyatu. Inilah kekuatan dahsyat dalam sistem demokrasi!

Para pemimpin kita serta para anggota DPR kerap melupakan dua hal yang amat prinsipiil.

Pertama, tugas mereka sesungguhnya semata-mata menjalankan kedaulatan milik rakyat. Kedua, dalam melaksanakan titipan kedaulatan tersebut, rakyat dengan bantuan penuh media massa sesungguhnya tetap melakukan pengawasan super aktif. Di mancanegara kita sudah sering menyaksikan bagaimana rakyat mengamuk dan menggulingkan sebuah rezim yang sedang berkuasa sebab para pemimpin yang duduk di rezim itu dinilai telah menyakiti hati rakyat.

Fedinand Marcos digulingkan people power pimpinan Corazon Aquino pada Februari 1986. Soeharto dipaksa mundur pada 21 Mei 1998 karena kebencian rakyat saat itu sudah mencapai titik puncak. Presiden Somoza dari Nikaragua diseret dan dianiaya di jalan rakyat oleh rakyatnya sendiri sebab Somoza dipandang betul-betul mengkhianati rakyatnya.

Jatuhnya Marcos, Soeharto, dan Somoza, semua berkat kontrol sosial rakyat dan media yang efektif sekali.

Selama tiga pekan ini kita pun telah menyaksikan betapa besar dampak kontrol sosial rakyat terkait perseteruan "Cicak" versus "Buaya". Di mata sebagian besar rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah simbol kebaikan dan kebenaran. Sebaliknya, Polri dipersepsikan secara negatif. Kenapa? Karena KPK sejak tiga tahun terakhir berhasil menyeret sekian koruptor yang selama puluhan tahun tidak bisa disentuh hukum.

Mantan menteri, gubernur, bupati, anggota DPR-RI, jenderal, ilmuwan bergelar profesor doktor, Gubernur Bank Indonesia satu per satu dijebloskan dalam penjara karena terbukti melakukan korupsi. Tiba-tiba saja KPK menjadi semacam pahlawan! Namun, tontonan konflik "Cicak" versus "Buaya" masih belum usai; justru sedang memasuki tahap yang lebih menegangkan.

Rakyat betul-betul ingin melihat siapa sebenarnya yang brengsek dan siapa yang benar. Lewat proses peradilan yang fair dan transparan, teka-teki itu diharapkan bisa dikuak habis. Publik juga ingin tahu apakah KPK memang institusi yang berisikan "malaikat-malaikat", apalagi setelah praktik-praktik busuk Antasari terbongkar walau masih secara parsial.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahu bahwa bola salju "Cicak" versus "Buaya" bisa bergulir liar jika dibiarkan bergulir terus sehingga Presiden membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).

Presiden pun memerintahkan agar kasus Bibit-Chandra dituntaskan secara hukum. Tindakan presiden, diakui atau tidak, sebagian karena kontrol sosial dan desakan rakyat. Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi pada 3 November lalu telah menguatkan tekanan-tekanan publik terhadap kekuasaan.

Publik intinya mendesak agar hukum benar-benar ditegakkan dan diperlakukan secara adil seadilnya. Sayangnya, apa yang terjadi di Komisi III pada 5 November malam seperti bertolak belakang dengan suara-suara rakyat di media massa, termasuk jejaring sosial Facebook. Kontradiksi sikap dan pandangan antara rakyat dan wakil-wakil mereka di DPR adalah fenomena politik yang unik.(*)

Prof Dr Tjipta Lesmana MA
Mantan anggota Komisi Konstitusi
(Koran SI/Koran SI/jri)

Babak Baru Polri-Kejaksaan Agung vs KPK


Jum'at, 6 November 2009 - 09:14 wib
text TEXT SIZE :
Share

Perseteruan Polri-Kejaksaan Agung versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak baru menyusul rekaman pembicaraan yang isinya diduga rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa 3 November 2009.

Rekaman yang berdurasi lebih dari empat jam itu memberikan indikasi yang kuat bahwa persoalan penegakan hukum di Indonesia ibarat telur di ujung tanduk. Tidak hanya persoalan Susno Duadji yang namanya berulang kali disebut dalam rekaman tersebut versus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, tetapi lebih dari itu menyangkut tiga institusi penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam menangani kasus korupsi, yaitu kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK.

Amat menyedihkan bahwa upaya mematikan KPK dengan mengkriminalkan kedua pimpinannya tidak hanya berasal dari para koruptor, tetapi juga berasal dari aparat penegak hukum. Aparat hukum yang seharusnya saling bekerja sama dalam memberantas korupsi justru sebaliknya, saling bersaing secara tidak sehat dan cenderung melemahkan gerakan antikorupsi yang sedang digalakkan.Tidaklah dapat dimungkiri bahwa kriminalisasi tersebut tidak terlepas dari dugaan keterlibatan pejabat tinggi Polri dalam kasus Bank Century yang sedang ditangani KPK.***

Ada beberapa catatan tertulis perihal kasus yang sedang menimpa ketiga institusi tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi perlu diberi apresiasi karena telah berhasil mengungkap kebobrokan dalam penegakan hukum di Indonesia dengan perintah untuk memperdengarkan rekaman tersebut dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Kedua, mendengarkan rekaman pembicaraan yang banyak dilansir oleh media sudah tepat karena hal ini berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembuktian terkait uji materiil Pasal 32 Undang- Undang KPK yang dimohonkan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Ketiga, dalam konteks hukum pidana, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Hal ini ditegaskan baik dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi maupun dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Oleh karena itu, penanganan kejahatan luar biasa perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Instrumen hukum yang kita miliki sudah cukup memadai, termasuk di dalamnya adalah keabsahan penyadapan dan perekaman pembicaraan. Artinya, hasil penyadapan dan perekaman tersebut dapat dijadikan bukti awal untuk membongkar suatu kasus korupsi.

Dengan demikian rekaman yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan bukti awal untuk mengusut rekayasa di balik kriminalisasi kedua pimpinan KPK tersebut. Keempat, langkah selanjutnya semua orang yang namanya disebut dalam rekaman harus diperiksa. Namun yang menjadi persoalan, siapakah yang melakukan pemeriksaan itu? Saat ini kita telah memiliki tim independen yang dibentuk Presiden untuk mencari fakta dan membuat terang kasus tersebut.

Pembentukan tim semacam ini sudah tepat karena tidak mungkin kita mengharapkan Polri atau kejaksaan atau KPK akan menyelesaikan kasus tersebut. Sebab, bagaimanapun semangat untuk melindungi korps masih tetap ada pada institusi-institusi terkait. Akan tetapi, persoalan lainnya apakah tim independen ini dapat memanggil secara paksa semua orang yang diindikasikan terlibat dalam kasus ini? Dalam proses peradilan pidana, kewenangan yang melekat pada institusi penegak hukum haruslah berdasarkan undang-undang.

Oleh karena itu, tim independen yang dibentuk Presiden harus diberi kekuasaan yang besar dalam hal melakukan investigasi terhadap semua pihak. Artinya, perlu baju hukum yang tepat untuk mengatur kewenangan tersebut, yakni dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Adanya aksi demo yang cukup masif dalam beberapa hari terakhir ini yang menuntut pengusutan kasus ini secara tuntas dapat ditafsirkan sebagai kegentingan yang memaksa. Demikian pula situasi penegakan hukum yang sangat memprihatinkan cukup menjadi alasan untuk mengeluarkan Perppu.

Kelima, gelar perkara terhadap kasus yang disangkakan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah harus segera dilakukan. Demikian yang dapat disimpulkan dari pertemuan antara Presiden dengan keempat tokoh masyarakat pada hari Ahad malam. Jika dalam gelar perkara tersebut ternyata tidak cukup bukti, Polri harus segera mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut. Selanjutnya dugaan rekayasa atas kasus itu harus diusut tuntas.***

Keenam, dalam mengusut tuntas dugaan kriminalisasi terhadap kedua pimpinan KPK nonaktif, semua orang yang terbukti terlibat tidak hanya dipecat dari jabatan, tetapi harus diproses secara hukum. Tindakan orang-orang yang mengkriminalkan kedua pimpinan KPK dapat diklasifikasikan sebagai obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum.

Secara eksplisit ketentuan ini termuat dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah)."

Demikian pula ketentuan mengenai obstruction of justice yang dituangkan dalam UNCAC dan telah diratifikasi Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UNCAC secara eksplisit disebutkan bahwa obstruction of justice atau perbuatan menghalang-halangi proses pengadilan adalah tindakan dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji yang menawarkan atau memberikan suatu keuntungan yang tidak wajar untuk mendorong diberikannya kesaksian palsu atau untuk turut campur dalam pemberian kesaksian atau dalam pengajuan bukti-bukti dalam suatu persidangan berkenaan dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini.

Demikian pula tindakan penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi untuk turut campur tangan dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dalam hubungannya dengan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini. Ketujuh, jika dari pengusutan lebih lanjut terhadap pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung yang diduga terlibat dalam rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK nonaktif itu terbukti, kiranya secara legawa Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Dr Hendarman Supandji, SH, secara ksatria harus mundur dari jabatannya.

Terlebih, Kapolri dalam beberapa pernyataan yang dilansir media mengatakan bahwa siap bertanggung jawab jika benar ada rekayasa kriminalisasi kedua pimpinan KPK tersebut. Salah satu bentuk tanggung jawab moril tersebut adalah meletakkan jabatan sebagai Kapolri.(*)

Eddy OS Hiariej
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

(//mbs)

Parade Kebusukan


Kamis, 5 November 2009 - 09:49 wib
text TEXT SIZE :
Share

Wajar jika rakyat marah. Sebuah tontonan tentang kebusukan, suap, korupsi, dan rekayasa terjadi saat Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman penyadapan KPK.

Salah seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung melakukan komunikasi secara intens dengan pengusaha yang menyediakan suap. Sejumlah dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, yang menggerakkan masyarakat melakukan dukungan terhadap KPK, seperti terkonfirmasi. Meskipun secara pidana rekaman ini perlu dibuktikan dengan keterangan lain, tapi sebagai fakta persidangan isi pemutaran rekaman hingga 4,5 jam tersebut benar-benar melukai publik. Asumsi keberadaan mafia peradilan yang selama ini selalu dibantah oleh kejaksaan dan kepolisian saat ini terbukti ada dan masih berakar dengan kuat.

Bayangkan, jika institusi penegak hukum diisi dan dipimpin oleh orang-orang bermasalah? Bukan tidak mungkin, kewenangan yang diberikan undang-undang dijadikan sebagai "objek jual-beli". Potensi-potensi ini menjadi semakin nyata jika komitmen pimpinan politik lemah, kompromistis terhadap korupsi dan tidak punya kepemimpinan yang bersih.

Diselamatkan Penyadapan

Rekaman penyadapan tersebut berisi rekayasa di balik penetapan tersangka dan penahanan dua pimpinan KPK. Seorang perempuan bernama Yuliana menghubungi Anggodo secara intens dan sederet nama pejabat tinggi Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, bahkan Presiden disebut berulang kali.

Relatif mirip dengan karakter rekaman penyadapan kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan. Saat itu seorang bernama Artalyta Suryani secara intens menghubungi pejabat tinggi di Kejaksaan Agung dan berbicara tentang penanganan sebuah perkara. Tentang rencana penghentian sebuah kasus korupsi kelas kakap, BLBI. Tidak lama berselang, transaksi suap USD660.000 terjadi. Tapi malang bagi si jaksa korup, KPK menangkapnya saat itu juga. Setidaknya ada dua kemiripan dalam kasus di atas. Pertama, pihak yang berbicara dengan "makelar kasus" adalah petinggi lembaga penegak hukum.

Kedua, skandal tersebut terbongkar karena kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Dengan kata lain, sebuah persekongkolan jahat dapat saja bekerja di balik dinding-dinding institusi penegak hukum di Indonesia. Persekongkolan itu membidik penegak hukum lain yang serius dan tulus bekerja, para pahlawan pemberantasan korupsi, bahkan mungkin juga kita, rakyatnya sendiri. Mereka membuat bagaimana sebuah kebusukan dibungkus seolah-olah benar. Kemudian, menyusun sebuah "selubung hukum".

Menggunakan dalil-dalil pasal undang-undang yang mati dan membelokkannya sesuai kepentingan sendiri. Semua itu bisa dibongkar dengan kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Meskipun memang dugaan rekayasa dan persekongkolan itu perlu dibuka dan dibuktikan di persidangan. Walau begitu, formalitas hukum yang rumit dan kadang bisa ditelikung jika penegak hukumnya terkontaminasi virus korupsi, menjadikan masyarakat cenderung apatis dengan dalil "mari serahkan ke proses hukum".

Agaknya Mahkamah Konstitusi (MK) mencoba membuat sebuah terobosan penting. Sekat-sekat hukum formal yang selama ini menghambat pencapaian keadilan dibongkar oleh MK. Hari itu, Selasa, 3 November 2009, sebuah parade kebusukan dibuktikan di persidangan rakyat di MK.

Komitmen Presiden

Namun dalam kondisi "darurat keadilan" seperti ini, kami justru masih melihat Presiden hanya sebagai ahli pidato. Presiden belum menjadi pimpinan yang berbuat konkret untuk membenahi kerumitan persoalan yang terjadi di negaranya. Menggunakan kalimat "menyerahkan pada proses hukum yang berlaku" akan terdengar semakin menyakitkan rasa keadilan publik karena proses hukum itu sendiri diduga sudah terkontaminasi.

Rekaman penyadapan tentang rekayasa kriminalisasi KPK harusnya disikapi secara lebih substansial oleh Presiden. Bukan sekadar membantah dan berkata, "Nama saya dicatut," dan sangat dirugikan oleh rekaman tersebut. Ingat, ini bukan persoalan pribadi, tapi persoalan penegakan hukum. Persoalan salah satu pilar penting di sebuah bangsa. Persoalan Indonesia.

Tim Independen

Presiden RI memang telah membentuk sebuah tim independen yang beranggotakan delapan orang (2/10/2009). Sepintas, dorongan dan saran banyak pihak agar persoalan kriminalisasi tersebut diselesaikan oleh tim independen sudah terakomodasi. Tapi jika dicermati, Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto itu dinilai mempunyai persoalan mendasar.

Dari judulnya kita bisa pahami bahwa Keppres No 31/2009 mencoba mempersempit persoalan kriminalisasi KPK hanya pada dua orang. Dalam struktur berpikir hukum formal yang sempit, mungkin benar kasus ini hanyalah menjerat dua pimpinan KPK nonaktif. Namun logika ini cenderung disimplifikasi. Karena masalah yang sedang dihadapi hari ini adalah persoalan yang lebih kronis, yakni sebuah persekongkolan jahat antara pihak pemilik modal (penyuap) dengan pejabat tinggi di institusi penegak hukum.

Jika kasus sebesar ini bisa direkayasa, tidak ada jaminan proses hukum akan berjalan dengan benar ketika yang ingin dibungkam adalah rakyat biasa. Dari aspek materi, keppres ini justru merusak makna independensi tim. Independen dari apa? Pertanyaan ini sulit dijawab karena pada poin kedua keppres ternyata dicantumkan, "Tim berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden." Sejak kapan konsep independensi dianulir dengan kedudukan subordinat seperti tim ini? Sepatutnya Presiden lebih mendengar substansi keresahan masyarakat.

Mungkin benar, rakyat kecewa dan marah karena dua pimpinan KPK ditahan oleh kepolisian, tapi masalah ini bukan masalah dua pimpinan KPK semata. Persoalan ini adalah potret "busuknya" institusi penegak hukum kita. Terutama, ketika kepolisian dan kejaksaan dipimpin oleh orang-orang yang tidak dapat diyakini komitmen dan kebersihannya. Ketika penegak hukum sudah terkontaminasi virus, maka sebuah kejahatan dan korupsi mencapai kesempurnaannya. Saat inilah kebangsaan kita diinjak-injak dan dibajak oleh para koruptor.

Dengan kata lain, kita harus berani menegaskan, persoalan kriminalisasi KPK ini bukan hanya masalah Bibit dan Chandra, tetapi masalah rasa keadilan rakyat Indonesia. Nah, mungkinkah masalah serumit ini hanya bisa diselesaikan oleh tim delapan yang kewenangannya sudah teramputasi dari awal? Tentu saja tidak. Karena itu, sebagai otoritas politik eksekutif tertinggi yang juga punya kekuatan besar di Parlemen, Presiden perlu melakukan sesuatu yang lebih konkret. Dalam jangka pendek saat ini, berhentikanlah Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung, kemudian lakukan perombakan total di dua institusi ini.

Kapolri dan Jaksa Agung, meskipun tidak disebutkan dalam rekaman, tetap harus bertanggung jawab. Secara moral, hal ini berarti Kapolri tidak mampu menjaga komitmen dan integritas bawahannya. Demikian juga dengan Jaksa Agung.Tragedi di institusi adhyaksa bukan kali ini saja. Dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, sejumlah jaksa agung muda juga terbukti melakukan komunikasi dengan seorang makelar perkara. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemudian menyatakan jaksa dan makelar perkara tersebut bersalah melakukan korupsi.

Dengan kata lain, Jaksa Agung dinilai gagal mengawal pembersihan di institusinya, bahkan untuk pejabat yang hanya satu level di bawah Jaksa Agung. Lantas, untuk apa dipertahankan? Dalam jangka menengah dan jangka panjang, perombakan, restrukturisasi, atau bahkan reposisi kepolisian dan kejaksaan merupakan tugas berat Presiden. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden tidak bisa mengelak untuk memimpin pembersihan dan penataan dua institusi penegak hukum tersebut.

Karena berhasil atau gagal, komitmen atau main-mainnya Presiden dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dilihat dari wajah kepolisian dan kejaksaan. Rakyat Indonesia niscaya mengharapkan pimpinan yang benarbenar bekerja. Bukan hanya soal citra. Do something Mr President! (*)

Febri Diansyah
Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW
(//mbs)

Ihwal Independensi TPF KPK-Polri

Ihwal Independensi TPF KPK-Polri

Rabu, 4 November 2009 - 09:53 wib
text TEXT SIZE :
Share

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya merespons dinamika dan protes masyarakat terkait kasus yang menimpa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dengan membentuk tim independen.

Seperti diketahui, tim ini diketuai oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution dan wakil ketua mantan anggota Komnas HAM Irjen (Purn) Koesparmono Irsan, sekretaris tim Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana, dan beranggotakan lima orang. Dalam keterangannya, ketua tim Adnan Buyung Nasution mengungkapkan bahwa tim akan memverifikasi semua fakta hukum yang terjadi mulai dari awal kasus hingga penahanan Bibit-Chandra.

Tim diberi kebebasan dan independensi untuk mencari fakta dan klarifikasi. Untuk itu, kata Buyung, tim akan memeriksa semua dokumen pemeriksaan Bibit-Chandra baik yang ada di kepolisian maupun Kejaksaan Agung, termasuk rekaman percakapan yang dimiliki KPK.

Soal Independensi

Pembentukan tim pencari fakta (TPF) ini harus dipahami sebagai hasil dari tekanan publik. Namun, independensi tim tetap harus dikritisi. Anggota tim, sebagaimana diketahui, dikendalikan oleh orang-orang dalam lingkaran SBY, bahkan orang dekat SBY.

Karena itu, wajar jika banyak kalangan tetap meragukan independensi tim ini. Sebagaimana latar belakang pembentukannya, TPF merupakan jawaban atas kekecewaan publik kepada aparat penegak hukum yang bukan hanya gagal menjalankan tugas dan fungsinya menangani perkara-perkara yang menjadi latar belakang kekisruhan KPK-Polri, tetapi juga "main serang" dan saling menjatuhkan. Karena itu, TPF tidak boleh gagal dan memupuk kekecewaan publik. Ujian pertama terhadap independensi TPF adalah mendesakkan penangguhan penahanan kedua pimpinan KPK sebelum mereka bekerja.

Tanpa desakan dan upaya penangguhan penahanan, secara implisit TPF berarti turut menyetujui langkah Polri melakukan penahanan. Jika TPF dibentuk berangkat dari asumsi dan fakta bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, titik pijak kerja mereka harus jelas dan tegas. Kejelasan dan ketegasan itu ditunjukkan dengan mengembalikan dua pimpinan KPK keluar dari jeruji tahanan terlebih dahulu. Pembentukan TPF bukanlah kepanjangan tangan kekuasaan yang bertugas mencuci piring dan memoles citra penguasa yang sebelumnya telah melakukan pembajakan independensi KPK dengan mengeluarkan Perppu Plt KPK.

Demikian juga TPF dimaksudkan bukan semata-mata untuk "mendamaikan" dua institusi negara, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka memastikan penegakan hukum. Dengan dibentuknya TPF tidak berarti Presiden SBY melepas tanggung jawab begitu saja. Presiden harus mengambil langkah-langkah signifikan dalam mereformasi institusi kepolisian dan kejaksaan, termasuk kemungkinan mengganti dua pemimpin institusi penegak hukum ini.

Mandat TPF

Hingga saat ini, belum jelas apa mandat TPF kasus KPK-Polri kecuali mengumpulkan dan mengklarifikasi dokumen-dokumen yang terkait dengan penahanan Bibit-Chandra. Tanpa mandat yang jelas dan dengan bekal independensi yang minimum, dikhawatirkan TPF hanya akan menjadi peredam gejolak protes masyarakat. Dalam pandangan penulis, tugas tim setidaknya meliputi, pertama, melakukan pengumpulan faktafakta dan penyelidikan terhadap perkara-perkara yang menjadi latar belakang kisruh KPK-Polri.

Kedua, melakukan pengkajian terhadap langkah-langkah hukum yang dilakukan Polri dan menyusun rekomendasi penanganan lanjutan. Ketiga, menyusun rekomendasi untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Polri, Kejaksaan Agung, dan pihak-pihak lain dalam kasus-kasus yang diseterukan. Tim juga harus dibekali beberapa kewenangan. Pertama, mengakses seluruh dokumen yang berhubungan dengan tugasnya di semua institusi. Kedua, melakukan pemanggilan, pemeriksaan setiap orang yang dianggap relevan dengan tugas tim. Ketiga, kewenangan penyelidikan.

Selain soal tugas dan kewenangan, tim juga berkewajiban melaporkan tugasnya kepada Presiden dan publik. Dengan tugas dan kewenangan sebagaimana dipaparkan, TPF tidak hanya berhenti bekerja sampai pada titik di mana kisruh KPK-Polri ini selesai. Lebih dari itu, mereka harus mampu mengantarkan orang-orang yang terlibat dalam skandal politik kriminalisasi KPK ini untuk mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pembelajaran dari tim-tim ad hoc yang dibentuk Presiden, umumnya tim-tim itu hanya mampu menghasilkan rekomendasi yang kemudian menjadi arsip kepresidenan dan memori publik.

Kalaupun tim berhasil menyusun rekomendasi brilian, tindak lanjut dari temuan tim juga akan mendapati ganjalan pada proses penyidikan dan penuntutan sehingga gagal melimpahkan kebenaran dan keadilan tentang sebuah kasus. Kinerja TPF Munir, misalnya, dengan kewenangan yang minimum telah mampu menghasilkan rekomendasi konstruktif yang mampu membuka tabir misteri pembunuhan Munir hingga dugaan aktor intelektualnya. Namun, aparat penyidik dan jaksa penuntut umum gagal mentransformasikan temuan-temuan tim menjadi dokumen hukum pro justisia akibat berbagi soal.

Dalam kasus Munir, harus diakui kinerja aparat penegak hukum yang bertugas menindaklanjuti temuan-temuan TPF tidak sepenuhnya berhasil meski telah berupaya keras. Capaian proses hukum atas pembunuhan Munir, meski belum memuaskan dan memberikan keadilan paripurna, justru sebagian besar disebabkan desakan publik dan pengawalan saksama oleh elemen-elemen masyarakat sipil atas kasus ini. Pembelajaran yang demikian harus dijadikan contoh oleh TPF kasus KPK-Polri, khususnya dalam hal bagaimana memastikan rekomendasi-rekomendasi tim dapat diakses oleh publik dan mampu membangun barisan baru pengawal tindak lanjut rekomendasi tim kelak.

Keberpihakan tim pada kebenaran dan kesungguhannya memastikan rekomendasi itu dijalankan adalah bukti independensi TPF kasus KPK-Polri. Di atas segalanya, komitmen Presiden adalah kunci utama.(*)

Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta

(//mbs)

Babak Baru Perseteruan "Cicak Vs Buaya"

Babak Baru Perseteruan "Cicak Vs Buaya"

Selasa, 3 November 2009 - 09:10 wib
text TEXT SIZE :
Share

KASUS penahanan dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, oleh Polri, Kamis (29/10/2009) lalu, menimbulkan gelombang pro dan kontra di masyarakat.

Bagi mereka yang mendukung tindakan Polri, sebagai aparat penegak hukum Polri berwenang menangani masalah itu tanpa harus ada intervensi dari pihak mana pun. Bagi mereka yang kontra, sebaliknya: tindakan Polri itu tidak perlu dilakukan karena kedua pimpinan KPK nonaktif itu sangat kooperatif selama proses penyidikan oleh Polri.

Keduanya dijadikan tersangka dan ditahan oleh Polri karena dituduh menyalahgunakan wewenangnya terkait kebijakan pencekalan terhadap Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja serta pencekalan dan pencabutan cekal mantan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra yang diduga melakukan tindakan korupsi. Padahal, jika keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi penyuapan, mengapa bukan itu tuduhannya dan mengapa pula mereka yang melakukan penyuapan tidak dijadikan tersangka?

Kasus ini tidak akan ramai dibicarakan orang seandainya tidak ada testimoni dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang menyebut dua unsur pimpinan KPK itu menerima suap terkait kasus yang melibatkan Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja. Istilah "kriminalisasi KPK" juga muncul akibat beredarnya transkrip rekaman percakapan antara Anggodo Widjaja (adik Anggoro Widjaja) dan sejumlah orang, termasuk pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri yang diduga berisi rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Di dalam transkrip itu juga terungkap "pencatutan" nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seolah-olah merestui kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK itu.

Gelombang Dukungan

Kasus Bibit dan Chandra menjadi ramai karena diduga ada persekongkolan politik antara penguasa, penegak hukum, dalam hal ini Polri dan Kejaksaan Agung, dan pelaku korupsi untuk mengkriminalisasikan para pimpinan KPK yang tujuan akhirnya ialah melemahkan KPK. Gelombang dukungan terhadap Bibit dan Chandra bukan saja datang dari masyarakat yang aktif di dunia maya (internet), melainkan juga dari kalangan intelektual, aktivis antikorupsi, dan beberapa tokoh masyarakat.

Mereka amat peduli pada nasib KPK sebagai lembaga independen yang selama ini masih mendapatkan tempat teratas dalam kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum yang membongkar kasus korupsi, di atas institusi Polri, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung. Dalam kacamata masyarakat yang melek hukum dan politik, ada unsur ketidakpatutan (unfairness) oleh Polri dalam penanganan kasus para pimpinan KPK tersebut.

Jika Polri benar-benar memenuhi asas kepatutan, seharusnya polisi tidak memiliki kepentingan (disinterested), tidak memiliki perhatian (unattentive) atau bersikap tidak memihak (imparsial) dan harus profesional dalam menyelesaikan kasus itu. Berbagai kalangan menduga Polri menjadi "pion" persekongkolan politik antara penguasa dan pengusaha nakal, yang bertujuan melemahkan KPK serta menghancurkan kredibilitas para pimpinan KPK agar penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi tidak mendapatkan dukungan riil masyarakat.

Persekongkolan politik itu justru menimbulkan gelombang protes masyarakat yang bertujuan menyelamatkan KPK. Semboyan "Cinta Indonesia, Cinta KPK" bukan gema slogan kosong semata, melainkan tumbuh berkembang menjadi kekuatan rakyat melawan rezim kesewenang-wenangan. Seandainya Polri menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang independen, gelombang demonstrasi di depan Mabes Polri tidak akan terjadi. Apa yang dilakukan masyarakat bukan berarti mereka lebih mencintai KPK dan membenci Polri, sebaliknya justru rakyat ingin menunjukkan kecintaan mereka kepada institusi Polri yang menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.

Jika Polri menjadi institusi independen yang lepas dari intervensi kekuasaan untuk kepentingan penguasa, citra Polri di mata masyarakat tentu akan semakin baik. Biar bagaimanapun Polri adalah institusi penegak hukum yang akan terus ada selama republik ini masih ada. Sedangkan KPK dan berbagai komisi yang lain hanyalah institusi yang bersifat sementara-yang keberadaannya tergantung pada kapan era transisi di Indonesia berganti menjadi situasi normal. Pimpinan dan jajaran Polri seharusnya sadar bahwa mereka mengemban amanat rakyat.

Bukan saja sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; melainkan juga sebagai salah satu unsur utama penegakan hukum di Indonesia. Jika langkah Polri lebih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, politik, dan hukum duet "penguasa dan pengusaha nakal", upaya Polri untuk memperbaiki citranya melalui langkah-langkah quick-wins yang terpampang di berbagai sudut kota-kota besar di Indonesia tentu tidak akan tercapai. Siapa pun yang berkuasa dapat melakukan langkah "cuci tangan" ketika masyarakat mencium adanya kejanggalan di dalam kasus penegakan hukum di Indonesia.

Ketika itu terjadi, Polri pun menjadi sasaran tembak kritik dari masyarakat. Ini patut disayangkan karena dalam dua bulan terakhir ini nama Polri sedang melambung tinggi karena keberhasilannya dalam melemahkan kelompok teroris yang dipimpin oleh Noordin M Top. Keberhasilan Polri yang begitu baik menjadi sirna akibat adanya berbagai kejanggalan dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan para pimpinan KPK.

Herannya pula, mengapa ada perwira tinggi Polri yang dengan ringannya memberi label persoalan antara KPK dan Polri ini sebagai perseteruan antara "cicak versus buaya". Istilah itu menjadi aneh karena cicak dan buaya masih satu keluarga binatang melata yang tidak mungkin berseteru atau saling memakan satu sama lain.

Tumbal

Kini, setelah Presiden SBY bertemu dengan empat tokoh-Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana-diusulkan tiga opsi penyelesaian. Pertama, gelar perkara kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah; kedua, pembentukan tim pencari fakta; ketiga, proses hukum bagi yang terlibat kasus itu.

Kita harap ini bukan bagian dari etalase politik untuk memperbaiki citra SBY yang mulai agak menurun terkait dengan komitmennya pada pemberantasan kasus-kasus korupsi. Jika itu hanya digunakan sebagai etalase politik penguasa, tinggallah Polri menjadi pelengkap penderita, kalau tidak dapat dikatakan sebagai tumbal, dalam perkara yang melibatkan kasus para pimpinan KPK.

Satu hal yang kita takutkan ialah kalau kemudian muncul tuduhan dari kalangan Istana sendiri bahwa tindakan Polri sewenang-wenang, tidak melalui due process yang benar, alasan Polri menjadikan dua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka amat lemah, Polri juga dipandang terlalu arogan menempatkan diri sebagai "buaya" yang lebih besar daripada KPK yang hanya sebesar "cicak". Jika ini terjadi amat sulit bagi Polri untuk mengembalikan citranya sebagai aparat penegak hukum yang tepercaya. Quo vadis Polri? (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

(//mbs)

Presiden, Bertindaklah!

Presiden, Bertindaklah!

Senin, 2 November 2009 - 12:10 wib
text TEXT SIZE :
Share

Kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif yang disusul dengan kemenangan SBY dalam pilpres yang lalu menumbuhkan harapan akan semakin seriusnya upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

Betapa tidak, dalam kampanye Partai Demokrat dan kampanye pasangan SBY-Boediono, semangat pemberantasan korupsi menjadi tawaran utama. Bahkan "keberhasilan" pemberantasan korupsi diklaim sebagai keberhasilan SBY. Iklan klaim tersebut dimuat dan ditayangkan dalam iklan surat kabar dan televisi serta memunculkan simbol/logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang oleh publik dianggap sebagai institusi ikon pemberantasan korupsi.

Masyarakat memang sudah sangat geram dengan praktik korupsi yang menggerogoti anggaran negara, menurunkan efisiensi dan daya saing, yang bermuara pada lambatnya kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sadar, korupsi berkaitan erat dengan keterpurukan negeri ini, menggerus sumber daya alam, melestarikan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan dalam masyarakat. Praktik korupsi berdampak negatif pada ekonomi makro maupun mikro sebagai akibat relokasi anggaran yang seharusnya untuk kebutuhan publik mengalir ke segelintir individu yang memegang jabatan publik.

Tidak bisa dinafikan, sampai saat ini, jika dilihat dari indeks good governance dari penelitian Kaufman, Kraay, & Masturuzzi (2007), indeks pengendalian korupsi saat ini masih lebih buruk dibandingkan pada masa sebelum Reformasi (1996). Oleh karena itu, wajar kalau kemenangan Partai Demokrat dan SBY yang banyak mengusung tema perlawanan pada korupsi memberikan secercah harapan untuk memberantas itu semua. Muncul asa kebijakan dan gerakan yang lebih masif dan terstruktur untuk memberantas korupsi yang masih menggurita dalam beragam bentuknya di Tanah Air. Sayangnya harapan itu kembali kuncup.

Menjelang dan hari-hari awal pemerintahan SBY periode kedua sebagai presiden, banyak hal yang membuat publik skeptis terhadap pemberantasan korupsi. Kriminalisasi terhadap dua petinggi KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, memberikan gambaran buram bagi pemberantasan korupsi tersebut. Situasi justru memberi angin bahwa corruptors fight back. Apakah benih yang mulai tumbuh terkait dengan pemberantasan korupsi ini akan terus berkembang atau justru set back seperti masa lalu?

Tidak Akan Berhenti

Ada rasionalisasi yang mendukung skeptisisme publik ini. Sejak awal tuduhan yang diberikan kepada Bibit dan Chandra sangat kabur, tidak jelas. Tuduhan polisi berubah-ubah dari waktu ke waktu yang seolah mengarahkan pada target untuk mengkriminalkan dua pimpinan KPK tersebut.

Langkah-langkah yang diambil menyiratkan aksi yang intimidatif, menekan, bahkan represif untuk membuat orang takut menyibak kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara. Bahkan, ketua sementara KPK Tumpak H Panggabean mengakui "penahanan Bibit dan Chandra memengaruhi kinerja staf KPK". Tindakan Polri yang demikian bisa melahirkan semacam teror bagi siapa pun yang berani menyibak perkara korupsi yang melibatkan petinggi negeri ini.

Namun, dengan tingkat kecerdasan sebagian masyarakat yang semakin tinggi dan keterbukaan yang sempat terbangun beberapa tahun terakhir ini, tindak represif demikian tidak akan berhasil membungkam suara kritis masyarakat yang peduli. Bahkan, sebaliknya, itu bisa kontraproduktif yang akan menurunkan kewibawaan pemerintah serta berisiko bagi stabilitas pemerintahan itu sendiri. Tekanan-tekanan yang diberikan justru membuat gerakan-gerakan yang sudah ada di masyarakat dan para aktivis antikorupsi semakin bersatu dan militan.

Pengalaman empirik menunjukkan tindakan represif selalu berujung pada kehancuran dan selalu melahirkan kerugian bagi suatu bangsa. Fakta sekarang memperlihatkan bagaimana gerakan tanpa komando bermunculan melawan tindakan represif penahanan Bibit dan Chandra. Para agamawan, guru bangsa, perguruan tinggi, sampai Facebookers menyampaikan keprihatinan atas upaya mengkriminalkan pimpinan nonaktif KPK tersebut. Semua berjalan alami tanpa ada yang menggerakkan.

Hanya saja yang memprihatinkan, para wakil rakyat di DPR maupun tokoh partai politik masih segelintir yang bersuara dalam kasus tersebut. Ini membuktikan kebenaran kekhawatiran sebelumnya bahwa koalisi dalam pilpres dan legislatif telah menurunkan daya kritis partai dan Dewan.Koalisi "tambun" yang sudah terjadi dalam pilpres dan pembentukan kabinet ternyata memandulkan suara wakil rakyat tersebut, yang seakan mengebiri salah satu fungsi representasi Dewan untuk menyuarakan nurani rakyat.

Perhatian yang Serius

Jika kita cermati, kinerja KPK masih jauh dari harapan. Keberadaan KPK pun masih baru. Memang pada akhirnya membuat orang berhati-hati, tetapi belum menghentikan praktik korupsinya. Praktik korupsi masih terjadi, tetapi lebih halus dan mengantisipasi agar jangan sampai ketahuan. Masa lalu praktik korupsi dapat dilacak karena dana besar yang ditransfer melalui rekening dan sejenisnya, tetapi sekarang transaksinya "cash and carry" sehingga bukti tertulis bisa dihilangkan.

Terkuaknya beberapa kasus korupsi ke publik yang melibatkan pejabat negara memberi secercah harapan untuk menurunkan praktik kolusi ini. Karenanya, muncul kegeraman masyarakat ketika melihat ada tanda-tanda pelemahan fungsi KPK. Gerakan berbagai elemen masyarakat yang kini muncul perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya Presiden SBY. Aksi-aksi yang muncul, dari yang sekadar menyuarakan dukungan dan tanda tangan, sampai aksi ke jalan, tidak bisa dianggap sesuatu yang sepele.

Terlebih gerakan ini bukan suatu rekayasa atau didesain oleh kepentingan politik tertentu, yang tecermin pada tidak munculnya suara oposan dari partai politik atas tindakan pemerintah. Gerakan ini berjalan spontan tanpa ada yang menggiring. Misalnya pengumpulan dukungan melalui Facebook yang ternyata dalam hitungan hari dari jari satu lengan saja sudah lebih dari 100.000 pendukung para Facebookers. Dukungan ini diperkirakan akan merengkuh ratusan ribu Facebookersyang ada. Situasi yang demikian tidak bisa diredakan hanya dengan ungkapan normatif dari Presiden SBY. Sikap Presiden yang menyatakan tidak mau mengintervensi bisa disalahartikan membiarkan proses yang dituduhkan masyarakat atas adanya kriminalisasi KPK ini.

Oleh karena itu Presiden perlu segera mengambil langkah konkret terkait kasus ini untuk menunjukkan konsistensinya bahwa pemerintahannya serius dan peduli untuk memberantas korupsi. Presiden diharapkan tidak mengambangkan masalah dan menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sudah dicurigai tidak adil. Terlebih lagi dalam masyarakat sudah muncul anggapan bahwa para koruptor dan yang terkait balik "melawan". Kemunculan Anggodo Widjojo (yang dengan "berani" menuduh nama baiknya dicemarkan) ke Mabes Polri tentu gampang dibaca sebagai indikasi adanya orang kuat di belakangnya.

Dia melaporkan empat pimpinan KPK atas tudingan penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik, dan fitnah terhadap dirinya. Pelaporan dilakukan menyusul beredarnya rekaman yang diduga berisi upaya rekayasa kasus pimpinan KPK. Ini menggambarkan bahwa ungkapan corruptors fight back bukan suatu isapan jempol. Mengingat isu korupsi menjadi salah satu ikon pemerintahan SBY, langkah yang cepat perlu diambil.

Jika tidak, bisa saja masyarakat menilai bahwa Partai Demokrat dan SBY hanya tebar janji kampanye, yang nyatanya tidak serius bergerak manakala upaya melemahkan lembaga yang giat memberantas korupsi terjadi. Intervensi Presiden diperlukan apabila keanehan demi keanehan bermunculan dalam kasus Bibit dan Chandra alias terus berlarut. Potensi keguncangan dan ketidakstabilan bisa meluas yang mengganggu jalannya pemerintahan dalam masyarakat. Apalagi ini masih hari-hari awal yang menentukan kepemimpinan SBY-Boediono.

Citra awal ini akan sangat memengaruhi langkah ke depan pemerintahan ini, khususnya terkait dalam pemberantasan korupsi. Pandangan seperti ini bukan dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi hukum atas pimpinan KPK. Penegak hukum tidak harus berhenti melakukan upaya mencari kebenaran atas kasus yang dituduhkan. Namun hal itu harus proporsional tanpa prejudice seolah kedua pimpinan nonaktif KPK itu jelas bersalah sehingga dicari pembenarannya.

Sebagai negara hukum, semua orang berposisi sama di mata hukum. Kasus tersebut wajib untuk terus diusut, tetapi tanpa harus menginjak hak tersangka demi untuk menegakkan hukum itu sendiri.(*)

Edy Suandi Hamid
Ketua Forum Rektor Indonesia, Guru Besar FE UII Yogyakarta

(//mbs)

Wakil Presiden di Panggung Konstitusi

Wakil Presiden di Panggung Konstitusi

Sabtu, 31 Oktober 2009 - 16:53 wib
text TEXT SIZE :
Share

Wakil presiden (wapres) adalah sebuah jabatan khas dalam sistem pemerintahan presidensial. Selain tidak dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer, juga karena dalam sistem presidensial pun wapres tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Wapres tidak memiliki kewenangan memerintah dan mengatur.

Jabatan ini berada dalam lingkungan jabatan lembaga kepresidenan. Itulah kekhasannya. Fungsi konstitusionalnya membantu presiden. Apa, bagaimana dan sejauh mana bantuan diberikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam konstitusi. Oleh para penemunya, jabatan ini diciptakan sebagai cara berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi kekosongan?sementara atau permanen pada jabatan presiden.

Jalan pikirannya, kalau presiden berhalangan maka wapres yang menggantikannya seketika itu juga. Cara ini terilhami oleh praktik penyelenggaraan pemerintahan -manajemen dan suksesi- dalam kerajaan. Putra mahkota memang tidak membantu raja dalam kesehariannya, tetapi ketika raja tidak dapat menjalankan kekuasaan, terutama secara permanen, maka putra mahkotalah yang menjadi penerusnya.

Mirip-Mirip


Di tangan Bung Hatta dan Jusuf Kalla, jabatan wapres?yang pernah dikeluhkan oleh John Adams, wapres pertama dalam sejarah presidensialisme Amerika Serikat?justru bergema. Bung Hatta dan Jusuf Kalla membuat jabatan ini begitu berarti di panggung konstitusi Indonesia. Padahal keduanya hidup di bawah undang-undang dasar yang berbeda, dan zaman yang berbeda pula.

Bung Hatta terkenal sebagai sosok berpembawaan tenang, cekatan, berlanggam tegas, apa adanya, serta memiliki visi. Bung Hatta memungkinkan KNIP memiliki gigi. Berkat keberanian dan kejeniusannya, terbentuklah Badan Pekerja (BP) KNIP. Pada 16 Oktober 1945, Bung Hatta menerbitkan Maklumat X untuk melegalkan pembentukan BP KNIP. Masih banyak tindakan hukum tata negara yang dilakukan Bung Hatta.

Beberapa di antaranya adalah penerbitan Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945 yang memungkinkan pendirian partai politik, dan Maklumat Pemerintah per 16 November 1945. Maklumat ini mengubah sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer. Pada masa berlakunya UUD Sementara 1950, Bung Hatta terlibat dan dilibatkan dalam sejumlah masalah ketatanegaraan.

Selain terlibat dalam urusan pembentukan kabinet,Bung Hatta juga turut menangani soal Aceh dan soal-soal lain dalam tubuh Angkatan Udara. Ketika terjadi kekisruhan mengenai PP Nomor 35 Tahun 1953, Bung Hatta menolak untuk mencabutnya. Padahal Bung Karno telah diminta oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, untuk mencabutnya.

Kisruh ini terus berlanjut sampai akhirnya Bung Hatta meletakkan jabatan pada 1 Desember 1956. Sejak saat itu jabatan ini tak terisi hingga 23 Maret 1973. Puluhan tahun kemudian, di bawah UUD 1945 yang telah diubah, Indonesia memiliki wapres yang relatif sama dinamisnya dengan Bung Hatta. Beliau adalah Jusuf Kalla.

Kalla memang tidak melakukan tindakan-tindakan hukum tata negara setara Bung Hatta. Tetapi Kalla terlibat dalam manajemen pemerintahan yang ditugaskan oleh Presiden kepadanya. Kecekatannya dalam menangani masalah-masalah di bidang ekonomi dan energi, hebat. Sikapnya terhadap UKP3R menarik. Perannya dalam penyelesaian Aceh, mengagumkan. Sejauh yang teramati beliau begitu terbuka terhadap pers. Mungkin itu sebabnya beliau tampak sangat dinamis.

Sama-Sama Berkeringat


Mengapa bisa begitu? Tentu bukan karena keduanya berasalusul dari luar Jawa. Bung Hatta adalah pejuang, sama dan setara dengan Bung Karno. Keduanya sama-sama memimpikan Indonesia merdeka. Mungkin karena faktor itu Bung Hatta merasa urusan pengisian kemerdekaan harus ditangani bersama. Tidak keliru juga kalau Bung Hatta tidak merasa rikuh di hadapan Bung Karno. Apalagi keduanya diterima rakyat Indonesia sebagai dwitunggal.

Dalam soal ini memang Kalla tidak sekaliber Bung Hatta. Kalla hanya pernah bersama-sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada dalam kabinet Ibu Megawati. Lalu sejauh yang dapat diamati, keduanya sama-sama berkeringat dalam perjuangan menuju kursi presiden dan wapres.

Kalla, sejauh dapat diamati pula adalah pribadi mandiri, terbiasa bertindak cepat, lalu akrab dengan risiko-risiko besar. Apalagi beliau berasal dari partai politik besar, lebih besar dari partai politik Presiden pada saat itu. Faktor-faktor itu membuat saya memberanikan diri untuk menandainya sebagai faktor utama yang menentukan dinamika wapres pada dua masa yang berbeda ini. Harus diakui bahwa faktor lingkungan nonkonstitusi ?dinamika politik dan kesediaan Presiden, Bung Karno dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono? memungkinkan terciptanya ruang itu. Ruang yang seolah disinari dua matahari.

Menunggu

Mozaik keduanya tak pernah terlihat pada masa Presiden Soeharto. Padahal Sultan Hamengku Buwono IX dan Adam Malik memiliki rekor perjuangan hebat. Menariknya, di bawah Soeharto dan UUD 1945 yang belum diubah, mereka tidak sedinamis Bung Hatta. Apalagi penerus mereka. Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno juga sama. Mereka adalah junior Soeharto. Pemilihan mereka juga sangat tergantung pada kemauannya.

Andaikan Habibie berkesempatan lama menjadi wapres,mungkin kita dapat melihat dinamika itu di masa Pak Harto. Tetapi begitulah jalan sejarah. Habibie cuma sebentar menjadi wapres, sebelum akhirnya menjadi presiden. Setelah itu ada Megawati. Tetapi harus diakui, langgamnya biasa saja. Padahal Mega memiliki kekuatan politik luar biasa. Unik, sekaligus menarik.

Pada periode Megawati, kantor wapres menampilkan sosok seperti sekarang ini. Struktur ini amat jauh berbeda dengan struktur kantor wapres pada masa Soeharto. Kini kita memiliki Boediono sebagai wapres. Beliau, seperti diketahui umum, adalah sosok yang pintar, sederhana, berdedikasi, berpembawaan tenang, dan bertutur kata lembut. Pernah sama-sama SBY di kabinet Megawati.

Lalu jalan sejarah mengantarkan SBY menjadi presiden dan Boediono menjadi menteri dalam kabinetnya. Berkat kejelian SBY, kini Boediono menjadi wapresnya. Pak Bud, begitu biasa beliau disapa oleh sejawatnya, telah memperlihatkan keterlibatannya dalam konteks kedudukannya sebagai wapres. Beliau terlihat bersama Presiden dalam menguji para calon menteri.

Jauh sebelumnya sayup-sayup terdengar beliau telah bergelut dalam memetakan sejumlah masalah ekonomi yang mesti dikenali, dan diprioritaskan untuk dikelola oleh pemerintahan baru ini. Tetapi rasanya belum saatnya dinilai. Apalagi, di luar perkiraan, ternyata tiga kementerian koordinator tetap dipertahankan.

Lain soalnya andaikan ketiga kementerian ini tidak dipertahankan, lalu fungsi koordinasi diberikan kepadanya, maka dapat dipastikan dia akan sangat dinamis di atas panggung konstitusi lima tahun mendatang. Di atas semuanya kita menunggu kiprahnya setelah dilantik. Akankah dia tercatat dalam sejarah ketatanegaraan dan politik Indonesia sebagai wapres yang dinamis sesudah Bung Hatta dan Kalla? Kita lihat nanti.(*)

Margarito Kamis
Pakar Hukum Tata Negara
(Koran SI/Koran SI/jri)