Kamis, 29 Oktober 2009

pini


Posisi M Yamin dalam Sejarah Indonesia

Rabu, 28 Oktober 2009 - 10:56 wib
text TEXT SIZE :
Share

Mohammad Yamin adalah tokoh terpenting dalam perumusan Sumpah Pemuda. Ikrar yang disusunnya telah mengilhami perjuangan bangsa selanjutnya, bahkan tetap menjadi perekat persatuan sampai saat ini.

Sebetulnya bagaimana posisi Yamin dalam sejarah Indonesia? Pada majalah Tempo edisi khusus 16 Januari 2000 tertulis secara eksplisit, "Pakar sejarah Taufik Abdullah menempatkan Yamin sebagai sejarawan terbesar abad ini." Mungkin Prof Dr Taufik Abdullah hanya berbasa-basi tentang kehebatan Muhammad Yamin, tetapi barangkali pernyataan itu ada benarnya juga. Timbul pertanyaan, besar dalam hal apa?

Kalau dari segi perawakan tubuh, memang Yamin lebih besar dari Taufik Abdullah, juga dari Mestika Zed. Anhar Gonggong mungkin lebih kurus, tetapi lebih tinggi atau sama tinggi dengan Yamin. Namun kalau dari segi kualitas karya, bagaimana mengukurnya?

Serbabesar

Muhammad Yamin yang lahir di Talawi, Sawah Lunto, 23 Agustus 1903 adalah pribadi yang mempunyai kemampuan besar dan citacita besar. Dia memiliki banyak talenta: pemikir sejarah, sastrawan, ahli bahasa, politisi, dan ahli hukum di samping tokoh pergerakan nasional.Kalau hanya gabungan sejarawan dan sastrawan,itu mungkin sebanding dengan Kuntowijoyo almarhum, tetapi Yamin juga menguasai perundang-undangan serta ikut menata bidang pendidikan dan keguruan.

Dia pernah menjadi menteri yang mengurus bidang pendidikan dan mendirikan perguruan tinggi pendidikan guru (PTPG) di Bandung, Malang, dan Batu Sangkar. Dia terlibat dalam penyusunan UUD 1945 dan pernah menulis buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951). Yamin memiliki kemampuan besar ketika dia meyakinkan pimpinan sidang dan peserta Kongres Pemuda di Jakarta tentang rumusan yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Ketika kemudian setelah Indonesia merdeka muncul ide agar bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional, Yamin menolaknya. Baginya bahasa adalah landasan utama dari eksistensi "bangsa". Sebuah kalimat "Tiada bahasa, bangsa pun hilang" terdapat dalam sajaknya yang ditulis tahun 1921.

Dalam ingatan kolektif masyarakat, formula sumpah pemuda itu singkat saja bahwa kita memiliki satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Pemilihan bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu sebagai bahasa nasional merupakan keputusan yang sangat cemerlang dan visioner. Kini tampaknya bahasa Indonesia itu pulalah yang menjadi (sedikit yang tersisa dari) perekat persatuan Indonesia.

Di sisi lain, dia juga memiliki cita-cita yang sangat tinggi.Yamin muda membayangkan sebuah Indonesia Raya yang mencakup delapan wilayah yang merupakan bekas jajahan Belanda, Inggris, dan Portugis. Bukan saja besar wilayahnya, tetapi juga pernah jaya pada masa lampau. Dia berupaya dengan segenap daya untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran pandangannya ini--demi menumbuhkan rasa nasionalisme.

Dalam konteks ini pula dia menggagas lambang negara, sungguhpun yang diterima adalah konsep Sultan Hamid. Soekarno pernah mengungkapkan perihal Trimurti, yaitu konsep tentang waktu mengenai tanah air, (a) the golden past, (b) the dark present, dan (c) the promising future. Masa lampau yang jaya, masa kini yang gelap, dan masa depan yang menjanjikan/cerah. Pemikiran Yamin sejalan dengan ini.

Dia menggambarkan masa lalu yang jaya dengan mengacu pada Sriwijaya dan Majapahit. Dalam perbenturan atau ketidaksesuaian antara cita-cita besar dengan kemampuan besar mungkin saja timbul hal-hal yang kemudian dianggap kontroversi. Yamin bukanlah orang yang diam saja bila ada sesuatu yang tidak cocok di hatinya. Dalam sidang BPUPKI beberapa kali dia ditegur oleh ketua sidang, tetapi tetap melanjutkan uraiannya yang dianggapnya penting.

Ketua sidang memintanya untuk mematuhi ketentuan rapat (agar Yamin "takluk"), tetapi Yamin menjawab bahwa dia "takluk tetapi tidak tunduk". Sikap seperti ini yang kelihatannya menyebabkan beberapa tokoh agak jengkel kepada Yamin. Di sisi lain seorang pengamat sejarah Filipina menilai karyanya "romantic, ultra nationalist and pre-scientific" (Rommel Curaming dalam Kyoto Review of Southeast Asia, Maret 2003).

Istilah yang terakhir yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai "prailmiah", mengingatkan pada istilah prasejarah, yaitu suatu masa yang dengan perkembangan waktu akhirnya sampai pada era sejarah. Tentu kata tersebut memiliki konotasi yang kurang elok karena menganggap karya Yamin sebagai "belum tergolong ilmiah", sesuatu yang sebetulnya masih bisa diperdebatkan.

Kanvas Besar

Sebetulnya Yamin dapat diibaratkan seorang pelukis yang menggambar di kanvas sangat besar. Kalau sejarawan Prancis Fernand Braudel berbicara tentang longue durée (masa yang sangat panjang), Yamin telah menulis tentang 6.000 tahun Merah Putih. Mungkin saja analisisnya kurang tepat, tetapi yang ingin disampaikan Yamin adalah unsur persatuan itu sudah lama ada di wilayah yang kemudian bernama Indonesia ini.

Yamin menulis tujuh jilid buku tentang Majapahit dan sebuah buku "klasik" tentang Gajah Mada. Yamin adalah sejarawan yang memiliki pandangan bukan saja jauh ke belakang, tetapi juga jauh ke depan. Baginya bentuk yang cocok untuk negara ini adalah negara kesatuan. Namun jauh-jauh hari pada sidang BPUPKI dia telah menyampaikan bahwa negara kesatuan itu harus menjalankan dua prinsip, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi.

Kenyataan itu yang tidak dijalankan sejak Indonesia merdeka sampai jatuhnya Orde Baru. Yamin mengawali usaha dekolonisasi sejarah. Berdasarkan prinsip "catursila Khalduniyah" (kebenaran, sejarah Indonesia, kebangsaan Indonesia, dan sintesis), Yamin mengajukan pembabakan sejarah Indonesia yang menurutnya terdiri atas lima tahap, yaitu (1) prasejarah, (2) protosejarah, (3) babakan kebangsaan, (4) babakan internasional, dan (5) abad proklamasi, yang bermula dari prasejarah dan mencapai puncaknya pada "abad proklamasi".

Jadi kemerdekaan dan persatuan Indonesia adalah puncak dari perjalanan sejarah Indonesia. Yamin juga sangat peduli dengan pendidikan sejarah. Bahkan pendidikan secara umum dan pendidikan guru. Khususnya untuk pendidikan sejarah, dia sudah berpikir bahwa pelajaran sejarah seyogianya tidak membosankan murid.

Tahun 1956 dia menerbitkan buku Atlas Sejarahdan Lukisan Sejarah (kedua buku itu diterbitkan oleh Penerbit Djambatan Jakarta tanggal 17 Agustus 1956) yang merupakan alat bantu pengajaran sejarah agar tidak membuat siswa menjadi jenuh. Dalam pengantar buku Atlas Sejarah disebutkan, "Kami sangat berhemat menyebut segala peperangan dan pertempuran yang berlaku dalam perjalanan sejarah karena kemajuan dunia bukanlah hanya sejarah perang, melainkan sungguh banyak sangkut-pautnya dengan peristiwa lain.

Kami meluangkan tempat bagi persamaan waktu dalam sejarah dan bagi penjelasan tentang pengaruh peradaban. Sungguh-sungguh pula kami pertimbangkan bahwa sejarah pada hakikatnya ialah gerakan arus yang tak putus-putusnya dan selalu mendorong manusia dan bangsa mencari bentuk baru. Oleh sebab itu di mana perlu kami tekankan gerak-gerik dinamik sejarah dan cara bagaimana negara dan peradaban turun-naik silih berganti."(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

(//mbs)

Opini


Posisi M Yamin dalam Sejarah Indonesia (2)

Kamis, 29 Oktober 2009 - 09:30 wib
text TEXT SIZE :
Share

Pemikiran Yamin sungguh telah mendahului zamannya karena kemudian hari kita ketahui bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah tak ubahnya dari sejarah militer.

Dibandingkan dengan Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (2000) yang dikerjakan secara lebih ilmiah, Atlas Sejarah yang dibuat Yamin memang masih elementer walaupun sudah dapat dianggap pionir pada zaman itu. Atlas Cribb hanya terfokus ke Indonesia, sedangkan Yamin juga mengenai Asia dan dunia.

Dalam pengantar buku Lukisan Sejarah Yamin mengulang pernyataannya "Lukisan Sejarah dan Atlas Sejarah adalah dua saudara yang sama waktu lahirnya. Kedua-duanya menitikberatkan isinya kepada Indonesia dan Asia dengan menghindarkan pendirian seolah-olah sejarah itu hanya meliputi cerita perang dan pertempuran saja, padahal acap kali, dan biasanya, bersifat sejarah kebudayaan dan peradaban; seni, agama dan adat lembaga tak kurang memberi gambaran-gambaran yang tepat tentang masyarakat pada masa yang telah lampau."

Yamin adalah sejarawan Indonesia yang pengaruhnya paling besar. Bukunya, Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara, telah diterbitkan pada 1945 dan dicetak ulang terus-menerus sampai sekarang. Saya memiliki edisi tahun 1993 yang merupakan cetak ulang ke-13. Sangat langka buku yang usianya sepanjang republik ini dan dicetak terus-menerus sejak proklamasi, perang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai era reformasi ini.

Pada 2003 terbit buku oleh generasi yang lebih muda, yaitu Renny Masmada, Gajah Mada, sang Pemersatu Bangsa, yang isinya tidak banyak berbeda dengan yang ditulis Yamin pada 1945. Yamin juga menulis tentang peperangan Pangeran Diponegoro. Yamin berhasil mengembangkan gagasan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan ketiga, setelah didahului oleh Sriwijaya dan Majapahit.

Ide tentang negara kesatuan ketiga ini juga diresapi oleh Nazaruddin Syamsudin dalam pidato pengukuhan guru besarnya (Melestarikan Negara Nusantara Ketiga) di Universitas Indonesia, 16 Oktober 1993. Pengaruh besar Yamin juga diwarnai beberapa aspek kontroversial, misalnya dalam kasus pidato tentang dasar negara pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945.

Tetapi kenyataannya Yamin mengakui bahwa Bung Karno yang menggali Pancasila. Wajah Gajah Mada yang dipasang dalam buku Gajah Mada itu ternyata bukan wajah patih Majapahit yang sesungguhnya, melainkan pecahan tembikar yang terdapat di Trowulan. Bahkan terkesan bahwa wajah Gajah Mada yang "direkonstruksi" itu mirip wajah Yamin sendiri. Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, Yamin berjasa dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Dia pelopor sastra Indonesia.

Kalau ditanyakan kepada musuhnya tentu penilaian terhadap Yamin akan negatif. Seperti yang ditulis Bakri Siregar, seniman Lekra yang menjadi Ketua Akademi Ronggowarsito yang berada di bawah naungan PKI, bahwa Yamin tak lebih dari "Bujangga" dalam arti penulis keraton yang akan memuaskan sang raja (Muhammad Yamin Sang Pujangga, Prisma, Maret 1982). Mutu sastra karyanya, menurut Bakri Siregar, kalah dibandingkan Rustam Effendi dengan syair Bebasari.

Tetapi Hersri Setiawan, tokoh Lekra Jawa Tengah- yang juga bersama Bakri Siregar pernah dibuang ke pulau Buru-sebaliknya menyanjung Yamin sebagai "sastrawan yang perlu diberi tempat istimewa". Selanjutnya, apakahYamin terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946? Hal ini telah dijawabnya dalam buku Sapta Darma yang tebalnya 411 halaman (Bukittingi: Nusantara, tanpa tahun).

Yamin menulis drama Ken Arok dan Ken Dedes. Buku ini kemudian diterbitkan menjadi Ken Arok dan Ken Dedes: Cerita sandiwara yang kejadian dalam sejarah Tumapel-Singasari (Balai Pustaka, 1951). Sandiwara ini mulai dipentaskan sejak 27 Oktober 1928, pada saat kongres Pemuda 1928. Kemudian naskahnya dimuat pada Pujangga Baru tahun 1934. Gagasan ceritanya tentang peristiwa yang terjadi dalam sejarah Kerajaan Singasari 1222-1292, mengetengahkan pesan tentang kerukunan dan cinta tanah air yang harus selalu dipupuk.

Untuk menunjukkan kesetiaan kepada Ken Arok yang dibunuh Anusapati, Ken Dedes meminta keris Empu Gandring untuk menikam dirinya sendiri. Sebelum bunuh diri, Ken Dedes berpesan tentang tiga kebajikan manusia yaitu percaya kepada sakti, berbudi kepada bangsa dan tanah air, serta setia kepada mahkota rajasa. Pesannya yang penting adalah cinta tanah air dan kerukunan antara sesama komponen bangsa.

Kisah ini jadi lain ketika diubah oleh Pramoedya Ananta Toer (Arok Dedes, Hasta Mitra, 1999) dalam bentuk novel yang ditulis di Pulau Buru dan diterbitkan setelah Soeharto jatuh. Novel Pram menyindir tentang kudeta yang pertama di Tanah Air yang dilakukan Arok (dia tidak menggunakan kata Ken) terus terulang sampai tahun 1965.

Penelitian Lebih Lanjut

Terlepas dari beberapa kontroversi tentang Yamin, seorang peneliti LIPI yang menyelesaikan disertasi di Amerika Serikat, Fadjar Ibnu Thufail, menulis email kepada saya sebagai berikut: "Dia memang sangat gandrung dengan persatuan Indonesia, bahkan menurut saya cenderung sampai pada tahap ?memitoskan'. Tapi, lepas dari kontroversi akurasi historis pemikiran dia tentang nasionalisme, menurut saya gagasan nasionalisme Yamin ini cukup unik.

Tidak sepenuhnya nasionalisme generik, dengan merujuk pada gagasan nasionalisme Barat, tetapi tidak juga nasionalisme parokial, karena dia sangat alergi dengan gagasan nasionalisme Islam atau pun nasionalisme ala ?puncak-puncak kebudayaan'. Dalam hal ini, menurut saya, Yamin ini adalah ?the first multiculturalist' di Indonesia." Hal yang juga belum dan perlu ditulis yaitu peran Yamin sebagai ketua Dewan Perancang Nasional (Depernas). Dewan ini adalah cikal bakal Bappenas.

Depernas merancang pembangunan semesta berencana 1961-1969. Kita tahu setelah peristiwa G30S/1965 terjadi pergantian kekuasaan, sehingga rencana pembangunan itu tidak terlaksana. Menarik untuk dilihat apa yang dirancang oleh Yamin dalam pembangunan "semesta berencana". Yamin misalnya pernah mengeluarkan Peraturan Depernas setebal 622 halaman.

Yamin mengatakan bahwa pembangunan harus dilakukan secara merata, setiap daerah harus memiliki perusahaan besar. Pembangunan harus memanfaatkan kekayaan alam. Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah diadakan. Secara teoretis, tampaknya itu sejalan dengan apa yang dicetuskan Yamin dalam sidang PPKI bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dengan mempertimbangkan dekonsentrasi dan desentralisasi.

Dia sebetulnya tokoh peralihan, peralihan dari sastra lama ke sastra modern, peralihan dari zaman ke penjajahan ke zaman merdeka dengan konstitusi sendiri, peralihan dari sejarah kolonial kepada sejarah yang mengalami proses dekolonisasi. Hanya yang pertama yang tampaknya berjalan lancar, sedangkan yang kedua yaitu UUD 1945 dan sejarah nasional masih kacau, masih terus dalam suasana peralihan.

Berdasarkan uraian di atas apakah bisa disimpulkan "Yamin sejarawan Indonesia terbesar abad ini"? Masih bisa diperdebatkan jawabannya, namun yang jelas karya M Yamin telah berdampak sangat besar bagi memori kolektif bangsa Indonesia.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

Selasa, 27 Oktober 2009

Opini


Kabinet Setengah Hati

Selasa, 27 Oktober 2009 - 09:12 wib
text TEXT SIZE :
Share

SUSUNAN Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II masih menyisakan tanda tanya besar bagi sebagian besar orang, khususnya para pengamat politik.

Pertanyaan yang sering timbul ialah mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mendapatkan mandat begitu besar pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009 lalu, yakni sebesar 60,8%, serasa tersandera oleh koalisi partainya. Seakan tak memiliki kekuatan politik apa pun, SBY mengikuti saja permainan politik partai-partai pendukungnya.

Entah apa yang ada di benak Presiden SBY saat menyusun kabinet. Pertanyaan pertama ialah mengapa susunan kabinet tersebut seolah merupakan antiklimaks dari ucapan-ucapan SBY sebelumnya yang ingin menyusun kabinet atas dasar profesionalisme individu anggota kabinet dan bukan asal-usul partai politik?

Alih-alih jumlah anggota kabinet yang berasal dari kalangan profesional murni lebih banyak ketimbang yang berasal dari partai politik, yang terjadi justru sebaliknya, 55,55% berasal dari kalangan partai politik dan hanya 44,45% dari kalangan profesional nonpartai. Rombakan susunan kabinet dari kabinet yang lama juga cukup mencengangkan.

Kalau memang kabinet yang lama masuk kategori The Dream Team (Tim Impian) yang menghasilkan kemajuan bagi negeri ini selama lima tahun lalu (2004-2009), mengapa dua pertiga anggota kabinet lama diganti? Lebih mencengangkan lagi ialah di antara muka-muka baru yang masuk, meminjam istilah yang dikemukakan Ismed Hasan Putro, Ketua Masyarakat Profesional Madani, terdapat orang-orang yang "tak laku di pasaran" karena gagal masuk ke parlemen lagi pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 lalu.

Entah mengapa pula, jika kita lihat dari asal almamater, para anggota kabinet yang berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) berbanding terbalik dengan peringkat dunia universitas/institut tersebut di mana UI dan UGM mengalami kenaikan, sedangkan ITB mengalami penurunan.

Namun, lihat persentase anggota Kabinet Indonesia Bersatu II berdasarkan almamaternya: ITB tertinggi dengan perolehan 16%, Akademi TNI 11%, sedangkan dari universitas lainnya, termasuk Institut Pertanian Bogor, hanya berkisar 3-5%. Satu hal yang menarik, alumnus Universitas Krisnadwipayana (Unkris), salah satu universitas swasta tertua di Jakarta, untuk pertama kalinya mengimbangi FE UI dengan proporsi 5% dan mengalahkan UGM yang hanya mendapatkan 3%!

Namun, hitung-hitungan kasar itu belum memasukkan jumlah enam wakil menteri yang akan masuk ke kabinet. Soal ini pun menimbulkan tanda tanya besar. Selain wakil menteri luar negeri yang sudah ada sebelumnya, apakah kebutuhan lima wakil menteri lainnya amat mendesak? Apa tidak justru meninggalkan bom waktu seperti diungkap Saldi Isra (Seputar Indonesia, 26/10/09)?

Selain dapat menimbulkan dualisme kepemimpinan di departemen, apakah karena seringnya harus berhadapan dengan DPR, perlu diadakan wakil menteri di Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Keuangan? Apakah ini tidak memboroskan anggaran negara yang sudah amat terbatas untuk menjalankan 15 program kabinet yang amat ambisius itu?

Lebih aneh lagi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa punya interpretasi sendiri soal calon wakil menteri, katanya tidak harus berasal dari karier profesional pegawai negeri seperti diatur dalam UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara, melainkan dapat dari kalangan nonpegawai negeri.

Di tengah kritik akan kualitas dan profesionalisme anggota kabinet, muncul pula isu soal kenaikan gaji para pejabat negara dari presiden, wakil presiden, para menteri hingga jabatan lainnya. Kritik ini masuk akal. Sebab, belum lagi bekerja maksimal mengapa sudah naik gaji? Namun, dari sisi lain, persoalan gaji ini masuk akal.

Tidak mungkin orang terus-menerus bekerja dengan dedikasi penuh demi negara tanpa ada imbalan penghasilan yang cukup. Impian kita mengenai kabinet yang disusun SBY-Boediono memang tidak menjadi kenyataan. Banyaknya menteri dari kalangan partai politik menimbulkan pertanyaan apakah visi pemerintahan akan sama jika para menteri yang menjalankannya memiliki warna partai pelangi dengan beragam ideologi?

Belum lagi soal loyalitas para menteri itu, apakah lebih kepada negara dan bangsa ataukah kepada kelompoknya, yaitu partai politik? Jika partai politik itu memiliki program untuk memajukan bangsa tak jadi soal. Namun jika partai itu masih ingin memupuk kekuasaan dalam bentuk uang demi kekuasaan politik masa depan, segalanya bisa jadi serbarunyam.

Persoalan lain juga muncul terkait dengan jangka waktu kabinet yang lima tahun. Sejarah kabinet era Reformasi menunjukkan, satu tahun pertama hanya disibukkan dengan konsolidasi politik di kabinet untuk menyamakan persepsi mengenai arah kebijakan kabinet. Tahun kedua dan ketiga, ini sudah sangat maksimal, pelaksanaan program kerja kabinet.

Tahun keempat dan kelima, para anggota kabinet asal partai politik sudah sibuk menyiapkan diri untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden berikutnya, kali ini 2014. Imbauan SBY agar para anggota kabinet yang berasal dari partai tidak memiliki jabatan rangkap, di kabinet dan di partai, juga sulit untuk diterapkan.

Bukan mustahil yang akan terjadi ialah akan semakin banyak anggota kabinet yang didukung SBY untuk menjadi ketua umum partai. Biar bagaimanapun SBY membutuhkan para tokoh ketua partai yang berada di kabinet dapat mengelola partainya agar tidak menjadi kekuatan oposisi di parlemen. Suasana hiruk pikuk di kabinet akan tampak nyata saat menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

Tampak secara kasat mata, Presiden SBY benar-benar sedang menghadapi pertaruhan politik setelah susunan kabinet ini terbentuk. Bukan saja bagaimana beliau harus "mendidik" para menteri yang muka-muka baru, melainkan juga bagaimana ia mengelola politik birokratik antardepartemen dan kementerian negara yang ego sektoralnya dan visi politiknya berbeda satu sama lain.

Yang terbentuk kini ibarat kabinet setengah hati. Artinya, kabinet yang tidak secara penuh bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara, melainkan juga bekerja untuk sedapat mungkin mendapatkan uang dan nama demi peningkatan kinerja politik partainya pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

SBY pun meninggalkan suatu memori sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat, bahkan sampai dua kali masa jabatan, tetapi tidak mampu memanfaatkan mandat dari rakyat itu untuk kemajuan bangsa di bidang kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi. Mudah-mudahan, intuisi politik saya salah! (*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

(//mbs)

Senin, 26 Oktober 2009

Dream(ing) Team Hukum Kabinet SBY? Senin, 26 Oktober 2009 - 14:00 wib

Opini


Dream(ing) Team Hukum Kabinet SBY?

Senin, 26 Oktober 2009 - 14:00 wib
text TEXT SIZE :
Share

Perihal siapa yang menjadi pembantu presiden di kabinet sebagai pejabat menteri atau setingkat menteri hampir terjawab tuntas. Setelah melalui fit and proper test ala Presiden SBY, mereka akhirnya ditetapkan dalam bentuk pelantikan.

Ada tawa dan duka menyelimuti banyak catatan tentunya. Mulai dari posisi yang tidak pas untuk orang-orang tertentu dan posisi tertentu serta adanya pergantian pada last time secara mendadak. Semuanya mewarnai pemilihan anggota kali ini. Warna-warna tersebut juga terlihat pada jajaran pejabat menteri dan setingkat menteri yang mengurus perihal penegakan hukum dan hak asasi manusia. Paling tidak terlihat dari pola penunjukan pada Menteri Hukum dan HAM ataupun Jaksa Agung yang akan menemani Presiden selama lima tahun ke depan.

Politisi Hukum

Posisi menteri hukum dan HAM yang akhirnya jatuh ke tangan politisi tentu juga menjadi catatan. Dorongan publik agar SBY lebih memilih orang profesional daripada politisi sangat besar. Namun, Presiden SBY tetap saja lebih menjatuhkan pilihannya pada sosok politisi untuk jabatan ini. Entah untuk alasan apa? Yang jelas, ini melanjutkan "tradisi" kepemimpinan jabatan hukum yang lebih berbau politisi.

Presiden SBY seakan lupa pada kejadian ketika dia memilih politisi dibandingkan profesional pada posisi ini. Hasilnya cukup berantakan. Dia terpaksa harus mengganti sang menteri di tengah jalan karena banyaknya isu tidak sedap di balik perilaku anggota kabinetnya itu. Hal yang tentunya ikut menurunkan tingkat kepercayaan publik akan kemampuan departemen yang mengawal proses birokrasi penegakan hukum dan keadilan.

Tentu, paparan tadi tidak bermaksud mengatakan bahwa karena politisi lagi, pasti akan mengulang kesalahan pendahulunya. Pastinya, ada logika yang keliru kalau mengatakan semua politisi berperilaku sama. Namun, politisi punya kemungkinan lebih besar untuk terjebak pada kebijakan politis. Padahal, jika dicatat, ada banyak sekali problem yang sudah dan sedang terjadi di kementerian yang kebanyakan berkaitan dengan tendensi politik maupun kepentingan politis.

Isu proses pembuatan undangundang (UU), misalnya. Departemen ini cukup banyak terlibat pada proses pembuatan UU di negeri ini karena sistem pembuatan UU masih melibatkan eksekutif pada pembahasan dan kebanyakan diwakili oleh kementerian ini. UU Mahkamah Agung yang saat ini diributkan dan jadi ribet dengan usia 70 tahun hakim agung tentunya adalah sumbangan kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

Bahkan, UU Pengadilan Tipikor yang saat ini selesai tetapi menyimpan beberapa cacat tersembunyi juga akibat andil departemen ini. Proses "rusak"-nya draf perbaikan UU Tindak Pidana Korupsi juga berasal dari departemen ini. Masih harus diingat pula, UU Komisi Yudisial dan berbagai UU lain yang terkatung-katung adalah akibat adanya dugaan "campur tangan" politis penyelesaiannya.

Besarnya tendensi politik pada wilayah penyusunan UU perihal hukum bukan hal yang baru. Karenanya, ketika lagi-lagi disematkan jabatan ini kepada politisi, ada ketakutan besar akan ada pengulangan kejadian, yakni kejadian ketika warna politik ada dalam penyusunan UU yang berkaitan dengan penegakan hukum.

Keabsahan Jaksa Agung

Hal lain yang tidak kalah menarik adalah jabatan Jaksa Agung yang belum jelas karena hingga saat ini belum ditunjuk dan dilantik. Belum ditunjuk dan dilantiknya jabatan Jaksa Agung ini tentu saja mendatangkan hal yang tidak sepele, yakni keabsahan tindakan Jaksa Agung yang ada saat ini.

Merujuk ke Pasal 22 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mencantumkan bahwa (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena (a) meninggal dunia, (b) permintaan sendiri, (c) sakit jasmani atau rohani terus menerus, (d) berakhir masa jabatannya, (e) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; (2) pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan presiden.

Artinya, seorang presiden memang tidak bisa seenaknya melakukan pemberhentian atas diri Jaksa Agung terkecuali dengan adanya kondisi-kondisi itu. Namun, menariknya, ada poin (d) yang menjelaskan posisi berakhirnya masa jabatan. Padahal, jika diteliti, tidak ada satu pun pasal maupun penjelasan, baik pada UU No 16 Tahun 2004 maupun keppres pengangkatan Jaksa Agung, yang menjelaskan perihal berapa tahun masa jabatan seorang Jaksa Agung.

Karena itu, mau tidak mau, masa jabatan Jaksa Agung haruslah dilekatkan pada masa jabatan presidennya. Artinya, ketika Presiden SBY berakhir masa jabatan kepresidennya tahun 2004-2009, pada saat itu juga masa jabatan Jaksa Agung-nya berakhir. Harusnya, Presiden SBY juga segera memilih dan melantik Jaksa Agung baru untuk mengisi kekosongan akibat berakhirnya masa jabatan sebagaimana yang tertera pada Pasal 22 poin (d) tersebut.

Jikapun Presiden SBY memilih memperpanjang masa jabatan Jaksa Agung, tetap saja dibutuhkan keppres perpanjangan masa jabatan untuk Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya tersebut. Tanpa keppres, bisa berakibat fatal pada tindakan yang diambil Jaksa Agung.

Yang dikhawatirkan sesungguhnya adalah Presiden SBY merasa sangat "nyaman" dengan sepak terjang Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung saat ini. Presiden merasa tanpa perlu mengganti Jaksa Agung, jabatan ini tetap saja dipegang oleh Jaksa Agung yang ada sekarang dengan model penunjukan berbau previllege. Padahal, ada banyak catatan yang harusnya dibuka lebar ketika melihat posisi di jabatan ini.

Dream(ing) Team?

Jika Presiden SBY kembali melanjutkan tradisi pilihan politisi pada jabatan hukum dan seakan memberikan previllege model pengangkatan Jaksa Agung saat ini, besar peluangnya potret penegakan hukum akan kembali seperti yang sudah ada saat ini. Langgam penegakan hukum akan kembali sebagaimana model yang biasa kita lihat antara tahun 2004- 2009.

Padahal, harus kita akui penegakan hukum dan HAM pada masa-masa pemerintahan periode pertama Presiden SBY belum memuaskan. Jika pola yang ada kembali dipertahankan, kemungkinan besar ketidakpuasan itu akan terus berlanjut. Sesungguhnya, masih ada satu peluang untuk keluar dari pola biasa-biasa ini, yakni ketika Presiden SBY mau mereposisi paradigma penegakan hukum dan HAM yang sudah dimiliki saat ini.

Terkhusus, memperbaiki kemampuan dan kemauan pemerintah untuk mendorong penegakan hukum dan HAM ke jalur yang lebih bebas hambatan. Presiden SBY mampu menekan Menteri Hukum dan HAM maupun Jaksa Agung untuk memberikan lompatan-lompatan berarti dengan evaluasi dan koordinasi kebijakan secara terarah.

Misalnya saja, Presiden SBY memperbarui kembali janji untuk memimpin penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang diikrarkannya pada periode pertama kepemimpinannya melalui Inpres No 5 Tahun 2004. Presiden SBY punya peluang untuk mengulanginya dengan memperbaiki sistem monitoring dan evaluasi yang ada serta memperkuat daya jelajah dan daya jangkau rancangan aksi nasional (RAN) seperti RAN pemberantasan korupsi maupun RAN HAM.

Keterbatasan sosok pimpinan kementerian hukum dan HAM maupun kejaksaan akan tertutupi jika Presiden SBY mereposisi paradigmanya. Jika itu dilakukan, besar kemungkinan tim hukum ini dapat menjadi the dream team penegakan hukum. Bukan hanya menjadi the dreaming team penegakan hukum.(*)

Zainal Arifin Mochtar
Dosen Hukum dan Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi FH UGM Yogyakarta



(//mbs)

Pemerintah akan Tertibkan TKA di Indonesia

Selasa, 27/10/2009 03:38 WIB


Jakarta - Pemerintah akan melakukan penertiban terhadap keberadaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia. Jika kedapatan TKA itu ilegal, pemerintah akan menindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Kita memang butuh TKA untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi pengawasan terhadap keberadaan TKA akan diperketat dan ditingkatkan untuk mencegah adanya TKA ilegal di Indonesia," ujar Menakertrans Muhaimin Iskandar dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (27/10/2009).

Menurut Cak Imin, biasa disapa, keberadaan TKA tidak boleh menutup peluang kerja orang Indonesia. Untuk itu pihaknya akan bekerja sama dan berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi dan Kepolisian RI untuk memonitor perkembangan TKA di Indonesia.

Setiap tahunnya kata Cak Imin, sekitar 50 ribu orang TKA bekerja di berbagai sektor pekerjaan mulai dari profesional, teknisi, manager, direksi dan konsultan. Kebanyakan TKA berasal dari negara China, Jepang, Amerika, Korsel, Malaysia dan India.

Cak Imin menambahkan, Depnakertrans berkomitmen akan meningkatkan pelayanan publik dengan cepat, cermat dan tidak berbiaya mahal. Selain itu Depnakertrans telah memperluas ruang pelayanan dengan menambah jumlah loket dari 5 loket menjadi 10 loket pelayanan dan menyediakan pusat informasi.

"Disediakan pula kotak saran, CCTV untuk pengawasan dan pengendalian serta sistem pembayaran online," tandasnya.

(did/mok)