Jumat, 18 September 2009

Guru Silat Itu Ternyata Masuk Jaringan TerorisSabtu, 19 September 2009 04:26 WIB

Guru Silat Itu Ternyata Masuk Jaringan TerorisSabtu, 19 September 2009 04:26 WIB

Hingga Jumat (18/9) kemarin, Andika Bayu Pamungkas (12), Indro Purnomo (11), dan Kenvin Youvie Pratama (10) masih tak percaya jika Susilo, penghuni rumah kontrakan di RT 03 RW 11, Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Jebres, Solo, Jawa Tengah, masuk dalam jaringan teroris.

Sebab, Susilo (23) dan istrinya, Putri Munawaroh (19), selama ini terkesan sangat baik, terutama dalam menyelenggarakan Taman Pengajian Al Quran (TPA) untuk anak-anak di kampung tersebut.

”Waktu kemarin (Rabu tengah malam) ada tembak-tembakan, terus dibilangi, katane Mas Adib teroris, rasane ndak percaya. Abis orange baik banget. Kalau lagi belajar iqra’, kami selalu diberi makanan,” papar Indro, yang diiyakan Andika dan Kenvin.

Andika adalah siswa kelas I SMP Negeri 26 Kepatihan Solo; Indro siswa kelas VI SDN Kendalrejo, Mojosongo; dan Kenvin siswa kelas IV SDN Kendalrejo.

Ditemui di rumah Andika kemarin, ketiga anak lelaki itu menceritakan pengalaman mereka mengikuti TPA yang diajarkan Munawaroh dan bela diri pada Susilo yang akrab dipanggil Mas Adib. Kegiatan TPA berlangsung pada hari Senin, Selasa, dan Kamis mulai pukul 16.00 sampai dengan selesai, sedangkan latihan bela diri setiap Senin setelah mengikuti TPA.

Baru dilaporkan

Latihan bela diri yang diajarkan Susilo, menurut ketiga anak tersebut, baru dilaporkan kepada orangtua mereka Kamis lalu setelah rumah kontrakan Susilo digerebek Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Markas Besar (Mabes) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Tanpa diketahui orangtua mereka, sejak pertengahan Agustus secara diam-diam Susilo merekrut empat anak laki-laki dari 18 anak yang ikut TPA yang dikelola istrinya. Yang terpilih adalah Andika, Indro, Kenvin, dan Dwi Nur Cahyo (siswa kelas II salah satu SMP di Solo).

Sebenarnya anak laki-laki yang ikut TPA ada delapan orang. Tetapi, yang dipilih ikut latihan pencak silat keempat anak itu karena yang lain dinilai masih kecil. Mereka direkrut saat Susilo menceritakan kisah tentang Nabi Muhammad SAW.

Latihan di teras rumah kontrakan Susilo itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Keempat anak yang dilatih Susilo dilarang keras memberi tahu kegiatan tersebut kepada siapa pun, termasuk orangtua mereka. Alasannya, jika dilaporkan, nanti dilarang orangtua mereka.

”Mas Adib bilang, ’Dik, jangan beri tahu orangtua dan teman lain ya kalau kita latihan’,” tutur Andika, menirukan ucapan Susilo yang kadang menggunakan bahasa Indonesia dan tak jarang berbahasa Jawa.

Keempat anak itu mengaku, pernah bertanya kepada Susilo tentang tujuan latihan bela diri tersebut. ”Kami tanya, ’Latihan silat buat apa, Mas?’ Kata Mas Adib, ’Buat jaga diri dari lawan yang mau memukul atau kalau bertengkar dengan teman’,” cerita Indro.

Susilo selama ini, antara lain, mengajarkan bagaimana posisi kuda-kuda yang baik, memukul, menangkis, serta menendang. Andika, Indro, dan Kenvin yang kemarin memperagakan gerakan-gerakan yang diajarkan tersebut mengaku sangat senang bisa berlatih bela diri.

Saat bersama Susilo, kata ketiga anak itu, mereka diajarkan shalat dan mendengarkan cerita mengenai Nabi Muhammad SAW. Setiap mengikuti TPA dan latihan bela diri, pintu masuk ke rumah itu pun selalu dikunci. ”TPA dan latihan bela diri dilakukan di teras rumah,” papar ketiga anak tersebut.

Andika, Indro, dan Kenvin mengaku tak pernah peduli dengan penguncian rumah seperti itu. Makanan kecil yang disuguhkan Munawaroh, seperti kacang dan jeli, dinilai jauh lebih menarik.

Kamis pekan lalu, Susilo dan Munawaroh menggelar buka puasa bersama anak-anak yang ikut TPA. ”Waktu buka puasa, Mbak Putri (Munawaroh) bilang, mereka cuma tinggal sebentar di sini. Senin lalu juga tak ada kegiatan karena Mbak Putri dan Mas Adib pergi,” ujar Indro.

Terkejut

Tumini (55), ibu kandung Andika, mengaku terkejut ketika Kamis lalu anaknya menceritakan bahwa selama ini dia berlatih bela diri dengan Susilo. ”Andika baru cerita sekarang karena Mas Adib pesan enggak boleh cerita ibu,” ujarnya.

Sebagai orangtua, Tumini mengaku khawatir ketika mendengar pengakuan anaknya tersebut. ”Kalau tahu dari awal, saya tak akan mengizinkan anak saya ikut bela diri,” katanya.

Kendati demikian, Tumini dan orangtua peserta TPA lainnya mengaku lega setelah polisi melumpuhkan Susilo dan kelompok teroris yang ada di rumahnya—terutama Noordin M Top. ”Saya sendiri enggak menyangka kalau itu (Susilo) teroris. Wong kemarin (Rabu ) Mbak Putri baru saja beli minuman es di sini,” katanya.

Tak hanya para orangtua yang terkejut ketika tahu Susilo terlibat jaringan teroris. Ketua RT 03 Kampung Kepuhsari Suratmin juga demikian. Bahkan, Partini (56), yang rumahnya persis bersebelahan dengan rumah kontrakan Susilo, mengatakan sama sekali tak mengira Susilo terkait terorisme.

Susilo yang selama ini tidak pernah mengikuti kegiatan kampung cukup berhasil mengelabui warga di lingkungan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan TPA dan keramahan keluarganya ternyata telah ”membutakan” mata masyarakat setempat. (SONYA HELLEN SINOMBOR)
Jejak-Jejak Langkah Soeharto (3-Habis)
Saya Tidak Buta ...!
Sabtu, 12 Januari 2008 07:30 WIB
SOEHARTO terlihat risau. Hatinya gundah gulana. Apalagi menjelang meletusnya Gerakan G 30 S PKI. Sejumlah prajurit Kostrad tak henti-hentinya mendatangi Soeharto meminta pendapat. Namun, Soeharto tetap diam….

"SAYA sering risau karena didatangi anak buah yang meminta pendapat dan penilaian saya. Mereka menunjukkan tarikan muka seperti mendesak ingin mendapat keterangan mengapa saya diam. Saya jawab, bahwa saya tidak buta! Saya telah melapor kepada atasan tentang keadaan. Situasi memang serius, tetapi saya tidak mendapat reaksi apa-apa. Apalagi yang dapat saya lakukan lebih dari itu," kata Soeharto.

Saat detik-detik menjelang meletusnya peristiwa berdarah, Soeharto sedang menduduki posisi strategis sebagai Panglima Kostrad. Pangkatnya Mayor Jenderal. Ny Siti Hartinah pada saat itu sedang berkumpul di kantor Persit bersama pimpinan dan pengurus Persit tingkat pusat dan tingkat Jakarta Raya. Ibu Tien --panggilan akrabnya-- sengaja berkumpul di markas Persit untuk mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.

"Pak Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat dan peran TNI AD. Selama saya menjadi istri prajurit, baru pertama kali itulah saya menerima uraian politik yang menyangkut nasib negara dan bangsa. Biasanya seorang istri prajurit itu tidak diberitahu hal-hal yang bersifat rahasia," kenangnya.

Seusai mengikuti acara itu, Ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim. Melihat ibunya pulang, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi. Ibu Tien lalu membuatkannya. Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, tiba-tiba Hutomo Mandala Putra --Tommy Soeharto saat itu berusia empat tahun-- menabrak tangan ibunya. Akibatnya, sup itu tumpah dan mencelakai Tommy.

"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad. Kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persedian di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya. Setelah itu saya bawa Tommy ke RS Gatot Subroto untuk dirawat," tuturnya sambil menambahkan Soeharto sempat menjaga Tomy bersama dirinya.

Sekitar pukul 00.00 WIB tengah malam, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah karena pada waktu itu Mamiek, putri bungsu Soeharto sedang sendirian di rumah. Apalagi ketika itu usia Mamiek baru satu tahun.

Pengakuan Ibu Tien itu diamini Soeharto. Menurut Soeharto, tanggal 30 September 1965 kira-kira pukul 21.00 WIB malam, ia bersama istrinya sedang berada di RS Gatot Subroto, menenggok Tomy yang masih berusia empat tahun.

"Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol Latief berjalan di depan zal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12.00 seperempat tengah malam, saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jl H Agus Salim karena ingat Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy dan ibunya tetap menungguinya di RS," kenang Soeharto.
***
SATU Oktober 1965. Suasana di Jl H Agus Salim, kediaman Soeharto masih terlihat sepi. Tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT. Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.

Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto. Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan. Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo. Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.

Sekitar pukul 06.00 WIB pagi Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto. Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya. Kepada Soeharto, Soedjiman memberitahukan bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.

Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu. Sebelum berangkat ke markasnya Soeharto berpesan kepada Soedjiman, "Segera kembali sajalah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat."

Tak lama kemudian Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya. Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur. Ketika itu Soeharto melihat suasana di Ibu Kota berjalan seperti biasa. Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu. Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya. Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung. Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia. Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 WIB pagi. Herannya, hingga pukul 07.00 WIB pagi RRI tak juga bercuap-cuap. Aneh...!

Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji. Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim. Di Istana Presiden juga terlihat melompong.

Soekarno ketika itu sedang tidak ada di tempat. Padahal, Jumat 30 September Bung Karno sempat tampil di depan peserta Munas Tehnik di Istora Senayan. Setelah itu Bung Karno tak kembali ke Istana, melainkan memilih tinggal di Wisma Yaso. (Persda Network/Achmad Subechi)

Noordin, 17 Kali Tercium Jejaknya...

Noordin, 17 Kali Tercium Jejaknya...Jumat, 18 September 2009 04:26 WIB

Teroris warga negara Malaysia, Noordin M Top, setidaknya sudah tercium jejaknya sebanyak 17 kali oleh polisi sejak ”perantauannya” ke Indonesia pada tahun 2002. Tim satuan tugas antiteror Polri akhirnya menangkap Noordin di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, pada 17 September 2009, genap dua bulan setelah peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009.

Rabu (16/9) siang, tim satuan tugas antiteror Polri sebenarnya menuju Urwah alias Bagus Budi Pranoto, bekas terpidana terorisme yang pernah ditangkap polisi pada Juli 2004. Urwah lolos dalam operasi di Solo pada 7-8 Agustus 2009.

Setelah menangkap Rohmad Puji Prabowo alias Bejo dan Supono alias Kedu di Solo, Rabu siang, polisi langsung bergerak menuju rumah kontrakan Susilo di Kepuhsari. Berdasarkan keterangan Bejo, Urwah ada di rumah Susilo.

Bejo sendiri merupakan rekan Urwah selama ini. Tak disangka, saat penyergapan yang diwarnai baku tembak, terungkap ada dua buronan penting di rumah Susilo, yakni Ario Sudarso dan Noordin M Top.

Ario Sudarso sendiri merupakan perakit bom yang juga melatih Sugi, perakit bom di Kelompok Palembang yang diringkus pada 2008.

Berdasarkan catatan kepolisian, Noordin M Top bertanggung jawab atas empat peristiwa peledakan bom di Indonesia, yaitu bom Marriott 2003, bom Kedutaan Besar Australia 2004, bom Bali 2005, dan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli 2009.

Awal tahun 2002 Noordin tiba di Pekanbaru, Riau, dari Malaysia. Di kota ini, Noordin bahkan sempat menikah lagi.

Berdasarkan catatan tim satuan tugas antiteror Polri, mulai dari Pekanbaru, polisi setidaknya sudah 17 kali mencium jejak Noordin sebelum akhirnya terdeteksi kembali di Kepuhsari.

Noordin memang amat licin. Namun, satu hal yang amat menentukan pelariannya adalah jejaring simpatisan yang senantiasa melindunginya.

Pada Januari 2003, misalnya, Noordin tercium di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kemudian, pada Januari 2003, Noordin, Rais, dan Azhari Husin (warga negara Malaysia, sudah tewas) pindah lagi ke Bengkulu. Di Bengkulu inilah Noordin terlecut ide untuk menggelar aksi peledakan bom spektakuler, yang lalu berujung pada sasaran Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003.

Setelah itu, Noordin juga sempat singgah di Lampung (2003), Bandung (2003), Solo (2004), Surabaya (2004), Tangerang (2004), Jakarta (saat bom Kedubes Australia 2004), Cikampek (2004), Semarang (2005), Solo (2005), Temanggung (2005), Cilacap (2006), Palembang (2007), Cilacap (2009), dan Jakarta (17 Juli 2009).

Saat penyergapan di Bandung, Jawa Barat, Oktober 2003, Noordin bahkan sudah sempat berhadap-hadapan dengan polisi, tetapi lolos. Ketika itu polisi sempat khawatir Noordin membawa bom dan nekat meledakkan diri di areal padat penduduk.

Noordin—lulusan Universiti Teknologi Malaysia—selama ini menjalankan aksinya dengan memanfaatkan orang dari organisasi Al Jamaah Al Islamiyah atau Jemaah Islamiyah (JI). Noordin sendiri menganggap dirinya sebagai pemimpin sayap militer JI. Namun, banyak dari anggota JI memandang kelompok Noordin sebagai kelompok sempalan JI. Diperkirakan sejak tahun 2003 Noordin dan kelompoknya merencanakan dan menjalankan aksinya sendiri.

Sejak sekitar tahun 2004, Noordin kerap merekrut orang- orang muda dari organisasi lain ataupun yang tak berpayung dalam suatu organisasi.

Saat bersekolah mengambil gelar sarjana S-1 di Universiti Teknologi Malaysia, sekitar tahun 1995, Noordin mulai kerap bersinggungan dengan Pondok Pesantren Luqmanul Hakiem, yang tak jauh dari kampusnya.

Pondok pesantren ini merupakan salah satu sekolah jaringan JI di Malaysia. Belakangan Noordin telah menjadi kepala sekolah di pondok pesantren itu hingga 2001. Saat Malaysia intensif memberangus jaringan JI, pondok pesantren itu pun berhenti beroperasi tahun 2002. (SF)
Teror Pasca-Noordin M TopJumat, 18 September 2009 04:53 WIB

Oleh Andi Widjajanto

Akhirnya, Detasemen Khusus 88 berhasil menewaskan gembong teroris Noordin M Top. Keberhasilan ini membuka berbagai skenario tentang perkembangan jejaring teror di Indonesia. Skenario ini penting dibangun untuk menentukan arah strategi kontrateror Indonesia.

Skenario terbaik yang bisa dibayangkan adalah tewasnya Noordin M Top sekaligus menjadi akhir dari gerak jejaring teror di Indonesia. Semua anggota jejaring diperkirakan akan mengalami proses demoralisasi. Tidak ada anggota jejaring yang akan mampu menggantikan kepemimpinan Noordin M Top. Jejaring teror di Indonesia tidak lagi mampu untuk melakukan revitalisasi jejaring.

Namun, strategi kontrateror Indonesia harus dibangun untuk mengantisipasi skenario terburuk. Skenario terburuk yang bisa dibangun adalah terjadinya proses metamorfosis jejaring sehingga Indonesia akan menghadapi ancaman teror dengan tingkat eskalasi lebih tinggi.

Balas dendam

Metamorfosis teror di Indonesia akan diawali suatu aksi retaliasi atas kematian Noordin M Top. Aksi retaliasi ini merupakan balas dendam sekaligus pembuktian bahwa jejaring tetap bisa bertahan tanpa kehadiran Noordin.

Pengalaman Kolombia dalam penumpasan gembong-gembong teror menunjukkan, aksi retaliasi ini biasanya tidak berwujud suatu serangan teror dalam skala besar, tetapi lebih ditujukan terhadap individu-individu yang dianggap paling bertanggung jawab atas tewasnya Noordin M Top. Rencana Jatiasih juga menunjukkan bagaimana kelompok Noordin berencana melakukan serangan Cikeas bukan karena Presiden Yudhoyono memiliki ideologi politik yang mengancam mereka, tetapi karena dianggap bertanggung jawab atas pelaksanaan eksekusi mati tiga pelaku teror bom Bali I.

Aksi retaliasi ini sekaligus menjadi titik awal konsolidasi jejaring teror. Pola retaliasi Tentara Republik Irlandia (IRA) menunjukkan, saat melakukan retaliasi, jejaring teror akan menggunakan orang-orang paling militan untuk melaksanakan serangan. Kemunculan semangat militan baru ini akan menjadi landasan bagi jejaring teror untuk melakukan revitalisasi jejaring.

Revitalisasi jejaring teror di Indonesia tampaknya akan sekaligus menjadi kemunculan kelompok Al Qaeda Asia Tenggara. Dokumen Solo yang ditemukan Densus 88 untuk pertama kali mengonfirmasi keberadaan kelompok ini. Dalam dokumen itu, Noordin M Top, Syaifudin Zuhri, dan Syahrir disebut sebagai pemimpin (qo’id) Tandzim Al Qaeda wilayah Asia Tenggara.

Skenario buruk yang bisa diprediksikan muncul adalah Syaifudin Zuhri dan Syahrir akan melanjutkan tandem kepemimpinan dengan cara menjadikan Indonesia sebagai front kedua perlawanan Al Qaeda. Front kedua ini dibutuhkan untuk mengalihkan konsentrasi gelar pasukan AS yang saat ini memprioritaskan penghancuran front Al Qaeda di Afganistan dan Pakistan barat.

Jika front kedua ini tercipta, Indonesia akan melihat suatu eskalasi ancaman teror ke tingkat lebih tinggi. Karakter jejaring teror Noordin M Top, yang selama ini mengandalkan perekrutan-perekrutan lokal dari komunitas Jemaah Islamiyah maupun komunitas Negara Islam Indonesia akan menguat menjadi jejaring teror transnasional. Jejaring teror transnasional ini akan memperkokoh interaksi ad hoc yang sudah tercipta antara front Indonesia-Moro-Pattani.

Sasaran

Kemungkinan terbentuknya jejaring teror transnasional di Indonesia akan secara signifikan mengubah target serangan teror. Sebelumnya, kelompok Noordin M Top melakukan serangan ke sasaran-sasaran biasa, sasaran penting, dan sasaran yang berdampak besar. Karakter sasaran ini dapat berubah dengan melihat pola serangan terorisme internasional.

Dalam enam tahun terakhir, jejaring teroris transnasional cenderung memilih fasilitas-fasilitas bisnis (58 persen) sebagai target serangan utama. Namun, jejaring ini juga menyerang target-target militer dan pemerintahan. Serangan jejaring teroris transnasional yang ditujukan langsung ke fasilitas-fasilitas militer mengambil 1,8 persen kasus dari semua populasi serangan teroris.

Serangan untuk fasilitas pemerintah dan diplomasi juga terjadi, yaitu masing-masing 3,6 persen dan 7,5 persen.

Densus 88

Skenario penguatan jejaring teror di Indonesia harus diimbangi dengan penguatan strategi kontrateror. Tewasnya Noordin M Top seharusnya sudah dapat menepis segala bentuk keraguan tentang kemampuan Densus 88 untuk menggelar strategi kontrateror yang efektif. Untuk mengantisipasi skenario terburuk metamorfosis jejaring teror pasca-Noordin M Top dan sebagai penghargaan atas keberhasilan operasional Densus 88, kapasitas Densus 88 harus diperkuat sehingga unit ini dapat berperan sebagai penjuru implementasi strategi kontrateror di Indonesia.

Penguatan peran Densus 88 sebagai penjuru harus disertai upaya untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap Densus 88 yang saat ini berada di tingkat sangat tinggi. Tingkat kepercayaan publik bisa dipertahankan dengan memberi legitimasi politik bagi tiap gelar operasional yang dilakukan Densus 88.

Legitimasi politik ini akan hilang jika pemerintah berusaha menerapkan paradigma perang dan bukan paradigma pendekatan hukum sebagai landasan operasional strategi kontrateror di Indonesia. Legitimasi ini akan lenyap jika pemerintah berupaya merevisi UU Antiteror tahun 2003 dengan regulasi baru yang memiliki karakter otoritarian. Legitimasi ini pasti pudar jika pemerintah berusaha membentuk badan antiteror nasional yang memiliki kewenangan luas. Legitimasi ini pasti lenyap jika pelaksanaan strategi kontrateror mencabut prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Andi Widjajanto Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis Universitas Indonesia

Noordin Tewas di Kamar Mandi, Malaysia Akui Tak Berperan Dalam Operasi

Jumat, 18 September 2009 04:23 WIB
Jakarta, Kompas - Buronan teroris warga negara Malaysia, Noordin M Top, akhirnya tewas dalam penyergapan tim polisi antiteror di Solo, Jawa Tengah, Kamis (17/9) dini hari. Identitas Noordin disimpulkan melalui identifikasi sidik jari dengan sistem Henry Faulds oleh tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System-Polri.
Informasi tewasnya Noordin itu diumumkan oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri di Markas Besar Polri, Kamis sore kemarin. ”Ia adalah Noordin M Top,” kata Kepala Polri.
Berdasarkan identifikasi tim Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis)- Polri, pola sidik jari ibu jari tangan kanan pada jenazah terdapat 12 titik kesamaan dengan data sidik jari Noordin milik Polisi Diraja Malaysia. Sementara dari sidik ibu jari tangan kiri terdapat 2 titik kesamaan. Sidik jari dapat disimpulkan identik jika minimal terdapat 11 titik kesamaan.
Meski demikian, Kepala Polri mengatakan, Polri akan tetap menguji DNA (deoxyribonucleic acid) Noordin untuk verifikasi identitas. Uji DNA diprediksi akan selesai dalam 30 jam sejak pemeriksaan.
Operasi penyergapan tim satuan tugas polisi antiteror berlangsung di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, sejak Rabu malam hingga Kamis pagi. Operasi berawal dari penangkapan terhadap Rohmad Puji Prabowo alias Bejo di Pasar Gading, Solo, Rabu sekitar pukul 13.30. Setelah menangkap Bejo, polisi kemudian menangkap Supono alias Kedu. Rohmad merupakan bekas terpidana terorisme yang ditangkap pada Juni 2004 terkait kasus bom di Kedutaan Besar Australia.
Dari penangkapan Rohmad dan Supono, operasi penyergapan berlanjut di rumah kontrakan Susilo di RT 03 RW 011 Kampung Kepuhsari. Penyerbuan polisi di rumah Susilo dimulai hari Rabu sekitar pukul 22.30. Rentetan tembakan terus terdengar hingga Kamis subuh dan baru berhenti sekitar pukul 06.00.
Polisi lalu menemukan jenazah Noordin dalam posisi meringkuk miring menghadap kiri di pojok kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah Susilo. Tangan kiri Noordin menutupi wajahnya. Noordin mengenakan kaus putih kebiruan, celana kain coklat gelap, dan sandal gunung. Di punggungnya tergantung ransel berisi laptop dan kertas-kertas dokumen. Polisi juga menemukan senjata api jenis Baretta di dekat jenazah Noordin. Senjata M-16 juga ditemukan di salah satu pojok kamar mandi.
Noordin sedikitnya mendapat tiga luka tembak, yakni di bagian kepala, rusuk kanan, dan paha kaki kiri. Kepala bagian belakang Noordin pecah, diduga akibat terempas saat tim satuan tugas polisi antiteror meledakkan tembok belakang kamar mandi.
Masih di kamar mandi, jenazah lain yang ditemukan adalah buronan Ario Sudarso (36) alias Aji, Susilo (23), dan Putri Munawaroh, istri Susilo. Munawaroh yang tengah hamil ditemukan hidup tertindih tubuh suaminya. Sementara jenazah Bagus Budi Pranoto alias Urwah ditemukan di halaman belakang, tepat di balik tembok kamar mandi yang jebol diledakkan polisi. Urwah sempat berusaha melarikan diri.
Di rumah Susilo itu polisi juga menemukan satu laptop lainnya, 200 kilogram bahan peledak, amunisi, dan dokumen.
Melawan
Suara tembakan terdengar saat warga tengah bersiap untuk tidur. Dari dalam rumah Susilo juga meletus tembakan ke arah polisi. Semula warga mengira suara tembakan adalah ledakan mercon. Suara rentetan tembakan yang tidak berhenti selama 1,5 jam membuat warga mendekati lokasi penyerbuan yang dijaga ketat polisi dari jarak 500 meter di sejumlah titik akses.
Kepala Polri juga mengatakan, para buronan teroris sempat melawan dengan serangan tembakan senjata ke arah polisi.
Pada pukul 05.20 dan 05.39 juga terdengar ledakan bom dari rumah kontrakan Susilo. Suara tembakan kadang-kadang mereda dan baru benar-benar berhenti pukul 06.00. Tim satuan tugas polisi antiteror beberapa kali menambah amunisi yang dibawa di dalam peti-peti kayu.
Polisi juga tampak membawa gulungan-gulungan kabel, memasukkan karung-karung putih, tas, dan kardus besar yang tidak diketahui isinya. Mobil pemadam kebakaran, ambulans, mobil jenazah, dan mobil unit identifikasi tempat kejadian perkara juga dikirimkan mendekati lokasi penyergapan.
Ambulans sebanyak empat unit terlihat meninggalkan lokasi sekitar pukul 07.40 dan menuju Bandara Adisumarmo, Solo, kemudian diterbangkan ke Jakarta sekitar pukul 11.00.
Rombongan yang membawa empat jenazah, yaitu Noordin M Top, Ario Sudarso, Susilo, dan Urwah, serta Munawaroh tiba di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, sekitar pukul 13.00. Keempat jenazah langsung dibawa ke kamar mayat untuk diotopsi, sedangkan Munawaroh dibawa ke gedung unit gawat darurat.
Tak berapa lama, Munawaroh dibawa ke ruang operasi. ”Kaki kanannya terluka oleh peluru, tetapi kondisinya relatif stabil kok. Kehamilan baik,” kata seorang perawat di Ruang Cendrawasih RS Polri.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan seusai mengunjungi kamar mayat mengungkapkan, bagian belakang kepala Noordin berlubang. ”Kulitnya kuning langsat, berambut ikal, dengan janggut lebat,” ucap Trimedya.
Jenazah lainnya dalam keadaan mengenaskan. ”Keduanya diletakkan di dalam kantong jenazah, sedangkan mayat keempat sudah tertutup rapat dalam kantong jenazah,” kata Trimedya.
Malaysia menyesal
Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Anifah Aman mengatakan, pihaknya memercayakan penangkapan Noordin tersebut kepada Polri. Pemerintah Malaysia juga tidak akan menggurui Indonesia dalam hal bagaimana seharusnya menangkap Noordin.
Malaysia, tambah Anifah, tak akan mengintervensi dalam bentuk apa pun. ”Kami akan menitikberatkan perhatian pada upaya pemberantasan teroris dan saling bertukar informasi agar masalah ini segera diatasi,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein, seperti dikutip Associated Press, mengatakan, Pemerintah Malaysia menginginkan agar jenazah Noordin dipulangkan ke Malaysia supaya bisa dikuburkan di kampung halamannya. Menurut dia, Pemerintah Malaysia tidak berperan apa pun dalam penyergapan Polri di Solo.
Ia menyatakan menyesal bahwa Malaysia tidak bisa menangkap Noordin sebelum melarikan diri dari Malaysia. ”Saya menyesal bahwa kami tidak bisa merehabilitasinya, bahwa kami tidak memiliki kesempatan untuk mengubah pemikirannya, dan bahwa ia harus berakhir seperti ini. Akan tetapi, apa yang dilakukannya salah. Kami tidak bisa mengampuninya,” ujar Hishammuddin.
Keluarga Noordin di Malaysia mengaku pasrah mendengar kabar tewasnya Noordin. Mereka sudah lama tidak berhubungan lagi dengan Noordin. ”Keluarga pasrah apa yang berlaku,” ujar juru bicara keluarga Noordin di Malaysia, Badaruddin Ismail, yang dihubungi Kompas.com, Kamis sore.
Soal tes DNA, Badaruddin berpendapat, pihak keluarga tidak perlu lagi datang ke Indonesia karena contoh DNA sudah pernah diambil saat polisi melakukan penyergapan teroris di Temanggung, Jawa Tengah.
Buronan teroris yang masih diburu adalah Syaifudin Zuhri, Syahrir, dan Bahrudin Latief. (SF/ONG//EKI/SON/WIN/CAL/FRO/KSP)

Entakan di Mojosongo Menjelang Lebaran

Jumat, 18 September 2009 04:24 WIB
Oleh Sri Rejeki dan Sonya Hellen Sinombor
Warga Kampung Kepuhsari, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, terentak malam itu. Sampai Kamis (17/9) pagi, mereka ketakutan dan terkurung di dalam rumah.
Rentetan tembakan yang terdengar semalaman ternyata bersumber dari sebuah rumah di RT 03 RW 11 Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, saat tim polisi antiteror Markas Besar Polri menyergap rumah yang dikontrak pasangan Susilo (23) dan Putri Munawaroh (19), tersangka teroris.
Keluarga Widodo, yang rumahnya persis bersebelahan dengan rumah kontrakan keluarga Susilo, benar-benar tak menyangka bahwa tetangganya adalah teroris. Menurut Ny Partini, istri Widodo, sebelum tembakan terdengar, Rabu sekitar pukul 21.30, terlihat beberapa orang berseliweran di sekitar rumah Susilo.
Tak berapa lama, ada yang mengetuk pintu rumah Widodo dan meminta lampu di rumahnya dimatikan. Selanjutnya terdengar tembakan ke arah rumah Susilo. Partini bersama Widodo, dua anaknya, dan seorang cucunya diminta tiarap. ”Kira-kira tembakan tiga kali, saya dengar ada teriakan Allahu Akbar. Kayaknya yang teriak laki-laki,” ujar Partini (56), yang rumahnya kemarin sempat dititipi barang bukti yang ditemukan tim polisi antiteror dari rumah Susilo.
Setelah penyerbuan di rumah Susilo, Partini ingat, sekitar dua bulan lalu ia pernah didatangi anggota Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Surakarta dan memberitahukan bahwa tetangganya terkait aksi terorisme. Saat itu ia tidak percaya. ”Semalam polisi itu datang lagi dan memberi tahu, ’benar kan sebelahe panjenengan itu teroris’,” ujar Partini.
Beberapa tetangga di sekitar rumah Susilo juga terkejut saat mendengar tembakan. Keluarga Murdiyanto (41), yang rumahnya berjarak sekitar 15 meter dari rumah Susilo, juga terkejut. Saat itu jarum jam baru menunjukkan pukul 22.30, Murdiyanto, istrinya, Martini, dan anaknya, Dita (18), belum tidur dan sedang menonton televisi.
Saat rentetan tembakan memekakkan telinga dari arah belakang rumah mereka, ketiganya ketakutan dan saling merapatkan diri sambil berzikir. Sempat terdengar teriakan, ”Tiarap, tiarap. Ada bom.” Putri bungsu Murdiyanto, Marsha (5), terbangun dari tidurnya, lalu menangis ketakutan.
Mereka tidak menyangka rumah tetangga mereka, Susilo dan Munawaroh, akan menjadi tempat baku tembak karena sejak sore tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan.
Dalam sekejap Kampung Kepuhsari diliputi ketegangan. Warga di sekitar rumah Susilo mengungsi ke rumah Ketua RT 03 Kampung Kepuhsari Suratmin dan tetangga lain yang agak jauh dari tempat kejadian. Sekitar pukul 00.30, Kamis dini hari, lampu di kampung itu dipadamkan. Suara tembakan terus berlanjut dan makin sering hingga sekitar pukul 01.10.
Penyerbuan tim polisi antiteror benar-benar mengejutkan warga setempat. Mereka sama sekali tidak menyangka pasangan Susilo dan Munawaroh terkait terorisme. Kendati Susilo bekerja di Pondok Pesantren Al-Kahfi, Surakarta, dan Munawaroh giat dalam kegiatan Taman Pendidikan Al Quran di rumahnya, keduanya jarang bergaul.
Berdasarkan informasi, pasangan ini mengontrak rumah milik Sri Indarto atau Totok sejak enam bulan lalu. Namun, Susilo, yang akrab disapa Adib, baru melapor tiga bulan lalu dengan menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk dan surat nikah, serta mengaku bekerja di Pondok Pesantren Al-Kahfi. ”Keduanya jarang bergaul. Undangan pertemuan bapak-bapak tanggal 1 setiap bulan tidak pernah dihadiri,” kata Suratmin.
Istri Suratmin, Sarti, hingga saat ini belum pernah melihat wajah Susilo. Sarti sehari-hari bekerja sebagai guru. Rata-rata suami dan istri di kampung itu sama-sama bekerja sehingga hanya berada di rumah pada pagi dan malam hari. Murdiyanto dan Martini sama-sama bekerja. Demikian pula dengan Anik dan suaminya, yang rumahnya berjarak hanya 5 meter dari rumah Susilo, sama-sama bekerja.
Suara rentetan tembakan semakin rapat frekuensinya mulai pukul 24.00 dan reda pukul 01.10 saat sebuah bunga api menyembur ke udara setinggi 100 meter. Pukul 02.00, mobil pemadam kebakaran masuk mendekati lokasi penyergapan. Rumah kontrakan Susilo berada di wilayah yang berkontur naik-turun.
Polisi membatasi masyarakat hanya boleh mendekat di jarak 500 meter dari lokasi pengepungan. Pukul 02.30, ambulans Poltabes Surakarta, mobil jenazah Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan mobil unit identifikasi tempat kejadian perkara Poltabes Surakarta mendekati lokasi.
Pukul 02.45 kembali terjadi rentetan tembakan dan berakhir sekitar pukul 06.00. Dalam kurun waktu itu, polisi antiteror membawa peti-peti berisi amunisi, karung-karung, dan gulungan kabel. Juga ada panggilan mencari dokter, muncul mobil Satuan Gegana Brimob ke lokasi, dan empat ambulans meninggalkan lokasi pengepungan pada waktu berbeda. Dua kantong mayat warna oranye dimasukkan ke mobil jenazah warna hitam.
Di ambulans pembawa jenazah, spidol di tangan petugas Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis)-Polri bergetar. Karena gugup, sang komandan lalu meninggalkan si petugas. Pekerjaannya siang itu memang amat penting dan ditunggu rakyat seantero negeri, yakni mengidentifikasi sidik jari jenazah yang membujur di hadapannya.
Identifikasi itu berlangsung di dalam ambulans di landasan Bandara Adi Sumarmo, Solo. Rupanya identitas jenazah itu harus sudah jelas sebelum diterbangkan ke Jakarta.
Sekitar pukul 11.00, hasil yang ditunggu-tunggu akhirnya dapat disimpulkan. Petugas Inafis menyimpulkan, sidik jari jenazah identik dengan data sidik jari milik buronan teroris Noordin M Top, yang diperoleh dari Polis Diraja Malaysia. Sang petugas mencocokkan sidik jari itu dengan metode klasifikasi Henry Faulds.(Sarie Febriane)