Jumat, 24 April 2009

Album Percaturan Politik Luar Negeri RI : Pak Harto bersama pemimpin dunia.




















"SELAMAT JALAN PAK HARTO!",

Pak H.M. Harto
Allah SWT mentakdirkan Pak Harto menjadi pemimpin bangsa Indoenesia, di saat Indonesia menghadapi berbagai gejolak dan kemerosotan ekonomi pada masa pemerintahan sebelumnya.


Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono sedang meletakan karangan bunga di pusara Pak Harto.

KARANG ANYAR, SOLO. Ketika jenazah Pak Harto dimasukan ke liang lahat, Tommy Soeharto membantu menurunkan jenazah ayahandanya, pada prosesi pemakaman di Astana Giri Bangun. Pemakaman HM Soeharto, Senin (28/1) kemarin menyedot perhatian masyarakat luas. Tak hanya di dalam negeri, tetapi juga masyarakat internasional. Mereka mengungkapkan rasa duka lewat shalat gaib, doa bersama, dan tahlil di lingkungan masing-masing. Ada pula yang mendatangi langsung kompleks Astana Giri Bangun, tempat HM Soeharto dimakamkan.
Usai prosesi pemakaman Pak Harto, yang disemayamkan persis di sebelah kanan makam ibu Tien Soeharto, warga sekitar yang hadir di Astana Giri Bangun diperbolehkan masuk selama 30 menit untuk berziarah.
Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono bersama Ibu Ani sedang melayat di rumah duka kediaman (alm) Pak Hato Jl. Cendana No. 8 Menteng, Jakarta Pusat.

Meski hujan deras, warga tidak surut untuk antre satu per satu masuk ke Cungkup Argo Sari, ruangan utama tempat disemayamkannya mantan orang nomor 1 di negeri ini. Namun demikian, bagi peziarah tidak bisa berombongan masuk, hanya rombongan kecil tiga atau empat orang. Itu pun dengan pengawasan ketat petugas keamanan dari Kostrad dan Kodim Karanganyar.
Warga tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Apalagi sebagian keluarga Pak Harto, yakni beberapa putra dan cucunya, masih berada di dalam kompleks pemakaman. Sebagian di antara mereka memberanikan diri bersamalan dengan keluarga Cendana itu.
Pelayat tidak hanya datang dari warga sekitar Giribangun, Matesih, Karanganyar. Tetapi juga datang dari berbagai daerah di Jateng dan Jatim. Bahkan ada rombongan sekeluarga yang datang dari Cukir, Jombang, Jatim dengan mencarter bus mini. Mereka sudah datang sekitar pukul 07.00 di kompleks pemakaman.
''Kami memang berencana hadir memberi penghormatan terakhir kepada Pak harto. Bagi kami, beliau benar-benar Bapak Pembangunan. Jadi kami ingin mengantarkan kepergiannya ke alam kubur dengan berdoa langsung di depan pusaranya. Beruntung usai prosesi pemakaman, kami bisa masuk,'' kata Suyatmi, salah seorang dari mereka.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir di kompleks pemakaman pukul 10.30. Dia didampingi Ibu Ani Yudhoyono menggunakan kendaraan Jip BMW. Mobil Mercy kepresidenan diparkir di pendapa rumah dinas Bupati Karanganyar, karena jalan ke Giri Bangun rawan longsor. Terutama untuk kendaraan besar.
Satu jam sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Kalla sudah hadir, juga menggunakan Jip BMW. Para menteri di antaranya Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault, Menakertrans Erman Suparno, Mendagri Mardiyanto, Mensesneg Hatta Radjasa, terlebih dahulu hadir.
Tak terkecuali para mantan pejabat seperti Ali Alatas, Ismail Saleh, Cosmas Batubara, dan Bustanul Arifin. Mantan mensesneg Moerdiono bahkan satu rombongan dengan keluarga Cendana.
Try Sutrisno, Wismoyo Arismunandar, dan Probosutedjo baru tiba di lokasi pemakaman ketika prosesi upacara pemakaman usai. Mereka datang bersamaan dengan rombongan Presiden SBY hendak meninggalkan lokasi.
Jenazah Pak Harto tiba di Astana Giri Bangun sekitar pukul 11.50. Kedatangannya langsung disambut Presiden SBY bersama Panglima TNI dan tiga kepala Staf TNI dan Kapolri. Setelah itu, peti jenazah dipanggul delapan prajurit Kopassus, Kostrad, Kopaskhas, Marinir dan Brimob.
Sebelumnya, dari Bandara Adisumarmo, jenazah langsung dibawa ke Astana Giri Bangun melalui Jl Adi Soecipto-perempatan Manahan-Balekambang-Ngemplak-Jebres-Jurug-Karanganyar-Karangpandan-Matesih-Giri Bangun. Mobil jenazah beserta rombongan 15 kendaraan kecil berjalan lambat.
Sebelum diturunkan di liang lahat, dilangsungkan upacara militer dengan Inspektur Upacara Presiden SBY. Komandan Upacara Kol Inf Asep Subarkah, Komandan Grup II Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura.
Dalam sambutannya, Presiden mengatakan, seluruh rakyat Indonesia berkabung atas wafatnya Pak Harto. Bangsa ini kehilangan putra terbaik, pejuang setia, prajurit sejati dan negawaran yang sederhana. Jasanya sudah sangat besar, karena sejak remaja, hidupnya dipenuhi dengan perjuangan menegakkan kemerdekaan, menyelamatkan persatuan bangsa, serta membangun negeri ini 32 tahun lamanya.
''Lepas dari itu, Pak Harto hanya manusia biasa, sehingga tidak luput dari kesalahan. Namun sebagai bangsa yang besar, harus bisa melepaskan kepergiannya dengan penuh kerelaan. Semoga kesalahannya diampuni, dan jasanya wajib dikenang seluruh bangsa ini,'' kata Presiden.
Mbak Tutut yang berpidato mewakili keluarga juga tidak bisa menahan tangisnya. Kata-kata meluncur terbata-bata. ''Bapak, selamat jalan, doa kami semua menyertaimu,'' kata putri sulung yang baru saja merayakan ulang tahun ke-59 itu.
Mbak Tutut tak kuasa membendung air matanya, saat mengucapkan kalimat terakir itu, sebelum kemudian menutup dengan salam. Pelayat yang mendengarkan larut dalam kedukaan mendalam.
Setelah itu, perlahan peti jenazah diturunkan, dan diurug dengan tanah oleh Presiden, Wapres, dan keluarga, baru kemudian diratakan oleh petugas makam.
Dielu-elukan
Di sepanjang jalan, dari Bandara Adisumarmo sampai Karanganyar, warga mengelu-elukan kedatangan rombongan pengantar jenazah Pak Harto. Bahkan, beberapa warga mengelus mobil ambulans saat berjalan lambat di depan mereka, sembari menaburkan bunga di sepanjang jalan dan di depan mobil.
Tidak sedikit warga mengucurkan air mata, karena merasa berduka dengan meninggalnya Presiden kedua RI. Mereka merasa selama ini sudah merasakan langsung, betapa Indonesia sangat berubah begitu Pak Harto lengser dari kursi kepresidenan.
Saat jenazah dipanggul melewati gerbang utama Astana Giri Bangun, terdengar suara tangis sesenggukan dari dua lelaki yang hadir di pemakaman itu. Seorang berseragam pramuka, dan seorang lagi memakai kaos putih, warga Girilayu, dusun di sekitar Giri Bangun.
Kedua orang itu tidak kuasa menahan kesedihannya, saat menyaksikan peti jenazah Pak Harto lewat di depan matanya. ''Saya setiap Lebaran selalu mendapatkan jatah sembako, sarung, peci, dan sekardus makanan kecil. Padahal saya orang kecil, tidak pernah kenal dengan Pak Harto. Tapi jatah untuk saya tidak pernah absen,'' kata lelaki itu.
Tidak hanya itu, anak-anaknya ternyata selalu memperoleh beasiswa Supersemar sampai lulus SLTA. Karena itu dia merasa sangat terbantu dengan pendidikan murah, karena dengan beasiswa itu, dia tidak pernah mengongkosi anak-anaknya sekolah.
Sambutan masyarakat juga tampak sejak di Bandara Adisumarmo Solo. Jalan menuju bandara hingga perempatan Colomadu, warga berdesak-desak ingin menyaksikan iring-iringan itu, karena selain mobil jenazah Soeharto sebelumnya tersiar kabar akan bersamaan kendaraan pengangkut Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla.
Tidak hanya warga, anak-anak sekolah mulai dari SD hingga SMA negeri maupun swasta yang letaknya berdekatan dengan jalan yang dilalui iring-iringan juga dikerahkan untuk menyambut. Sebab itu, selain rute bandara-Colomadu yang masuk wilayah Karanganyar, ketika memasuki batas Kota Solo di tugu Adipura Karangasem hingga patung Wisnu di perempatan Manahan atau sepanjang jalan Adi Sucipto, juga sudah penuh sesak warga yang berbaur dengan anak-anak sekolah.
"Selamat jalan, Pak Harto," ucap sejumlah warga sambil melambaikan tangan, saat mobil VW Caravelle silver yang membawa peti jenazah mantan penguasa rezim Orde Baru itu lewat di depan mereka.
Mbah Wiji Harjanto (63) yang tinggal di Sambeng RT 5 RW I, Banjarsari, mengaku sudah lama kangen tidak melihat Pak Harto di TV. Padahal dulu, menurutnya, sering muncul hingga cukup mengesankan, terutama kalau almarhum tersenyum. Dia ingin melayat dan ikut melepas kepergian tokoh yang dianggapnya pahlawan yang pernah memberinya ''kemakmuran'' di masa Orde Baru.
''Enggih mas, ngantos sepriki kula tasih kelingan kalih Pak Harto. Riyin, pas presidene PHarto, napa-napa kok gampang. Kula sing bakulan enggih gampang. Sakniki napa-napa kok angel. Dodolan kok ora tau payu,'' ujar pengasong makanan di Terminal Bus Tirtonadi. (an,H44,H46,G8,won-60)

Kamis, 23 April 2009

Pak Harto Dalam Kenangan







BIOGRAFI SINGKAT PRESIDEN RI KE 2 : H.M. SOEHARTO

Haji Muhammad Soeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah sosok nama besar yang memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.Namun, akhirnya ia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik.
Saat ia baru meletakkan jabatan, ada rumor yang berkembang. Seandainya Pak Harto mendengar hati nurani isteri yang dicintainya, Ibu Tien Soeharto, yang konon, sudah menyarankannya berhenti sekitar sepuluh tahun sebelumnya, pasti kepemimpinnya tidak berakhir dengan berbagai hujatan yang memojokkannya seolah-olah ia tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.Ia memang seperti kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto meninggal dunia (Minggu 28 April 1996). Pak Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan hal seperti ini. Banyak pria (pemimpin) yang justru ‘kuat’ karena didukung keberadaan isterinya. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.
Pak Harto tidak segera mencari pengganti isterinya. Kesepiannya seperti teratasi atas dorongan pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Ia menghabiskan waktu dalam mengemban tugas beratnya sebagai presiden. Apalagi beberapa pembantunya memberinya laporan dan harapan yang mendorongnya untuk tetap bertahan sebagai presiden. Bahkan, bersama pembantunya (menterinya) BJ Habibie, ia bisa berjam-jam berbicara. Tak jarang para staf harus menyediakan mie instan jika menunggui pertemuan mereka itu.Rakyat bangsa ini tentu masih ingat. Seusai Pemilu 1997 dan sebelum Sidang Umum MPR, Maret 1998, para pembantunya, di antaranya Harmoko, selaku Ketua Umum DPP Golkar, menyatakan akan tetap mencalonkan HM Soeharto sebagai presiden 1998-2003. Tapi, justeru pada HUT Golkar ke-33, Oktober 1997 itu, HM Soeharto mengembalikan pernyataan itu untuk dicek ulang: Apakah rakyat sungguh-sungguh masih menginginkannya menjadi presiden?
Setelah berselang beberapa bulan, tepatnya tanggal 20 Januari 1998, tiga pimpinan Keluarga Besar Golkar atau yang lazim disebut Tiga Jalur Golkar, yakni jalur Golkar/Beringin (Harmoko), jalur ABRI (Feisal Tanjung) dan jalur birokrasi (Yogie SM), datang ke Bina Graha menyampaikan hasil pengecekan ulang keinginan rakyat dalam pencalonan HM Soeharto sebagai Presiden RI.
Saat itu mereka melaporkan kepada Pak Harto. "Bahwa ternyata rakyat memang hanya mempunyai satu calon Presiden RI untuk periode 1998-2003 yaitu HM Soeharto,” kata Harmoko mengumumkan kepada pers usai melapor kepada Pak Harto. "Mayoritas rakyat Indonesia memang tetap menghendaki Bapak Haji Muhammad Soeharto untuk dicalonkan sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003," tutur Harmoko yang didampingi M Yogie SM dan Jenderal TNI Feisal Tanjung ketika itu.
Menurut Harmoko, Jenderal TNI (Purn) H Muhammad Soeharto, setelah menerima hasil pengecekan itu, menyatakan bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden RI masa bhakti 1998-2003. Selain mengumumkan kesediaan Pak Harto dipilih kembali sebagai Presiden RI, menurut Harmoko, Keluarga Besar Golkar juga membuat kriteria untuk calon Wakil Presiden, antara lain memahami ilmu pengetahuan dan industri. Pernyataan ini mengarah kepada BJ Habibie.
Dari hasil pengecekan yang dilakukan oleh keluarga besar Golkar itu, masih menurut Harmoko, Pak Harto menghargai kepercayaan sebagian besar rakyat Indonesia tersebut walaupun harus ada pengorbanan bagi kepentingan keluarga. Tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara, Haji Muhammad Soeharto tidak mungkin menghindar dari tanggung jawab sebagai patriot dan pejuang bangsa."Dengan adanya kepercayaan rakyat ini tidak membuat Bapak Haji Muhammad Soeharto bersikap 'tinggi glanggang colong playu.' Itu istilah Pak Harto yang artinya tidak meninggalkan tanggung jawab dan mengelak dari kepercayaan rakyat tersebut demi kepentingan negara dan bangsa," tegas Harmoko.Tapi, ternyata itulah awal sebuah tragedi pembusukan dan pengkhianatan digulirkan. HM Soeharto memang terpilih kembali menjadi Presiden periode 1998-2003 pada Sidang Umum MPR, 1-11 Maret 1998. Didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Namun, komponen mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat terus melancarkan demonstrasi meminta Presiden Soeharto dan Wapres BJ Habibie turun serta Golkar dibubarkan. Saat itu, Pak Harto masih terlihat yakin bahwa demonstrasi itu akan surut dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Maka pada awal Mei 1998, ia berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Saat berangkat, di bandara Halim Perdanakusuma, ia dilepas Wakil Presiden BJ Habibie, Fangab Feisal Tanjung, juga Ketua Harian ICMI Tirto Sudiro dan sejumlah menteri lainnya yang sebagian diantaranya kemudian mengkhianatinya.
Sementara, sepeninggal Pak Harto, dalam beberapa hari kemudian, suasana Jakarta semakin mencekam. Selain akibat demonstrasi mahasiswa makin marak, juga tersiar isu terjadi sesuatu misteri dalam tubuh ABRI. Misteri itu diwarnai arah pengelompokan dalam tubuh militer itu. Selain banyak aktivis pro demikrasi ‘hilang’ entah kemana, juga diisukan ribuan anggota militer ‘menghilang’ dari kesatuannya memembawa persenjataan lengkap dan amunisi cadangan.
“Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia, adalah suatu tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabannya. Apakah suatu power game sedang dimainkan di Indonesia? Siapa yang bermain dengan kelompok bersenjata, serta bagaimana peta kekuatan gerakan sipil? Adalah sesuatu yang harus kita analisa bersama,” tulis sebuah majalah ketika itu. Beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tetap misterius.
Suasana makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas Trisakti.
Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya. Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya. Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam suasana berkabung.
Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu, Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiawa datang!”
Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan.
Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir. Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.
Setiba di Jakarta, HM Soeharto kemudian mengundang beberapa tokoh masyarakat, di antaranya Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid, tanpa Amien Rais dan Adi Sasono, untuk membicarakan pembentukan Komite Reformasi. Ia juga berencana merombak kabinetnya menjadi Kabinet Reformasi. Ia menawarkan reformasi secara gradual untuk mencegah terjadinya keguncangan.Ia juga menerima rombongan rektor Universitas Indonesia. Mereka ini datang untuk meminta Presiden Soeharto berhenti dengan hormat. HM Soeharto mempersilahkan mereka menyampaikan aspirasi itu melalui MPR. Demonstrasi mahasiswa pun akhirnya terpusat ke gedung MPR/DPR. Mereka menduduki gedung legislatif itu.
Harmoko, yang menjabat Ketua MPR dan pimpinan MPR lainnya menampung desakan mahasiswa yang meminta Pak Harto turun. Di hadapan para mahasiswa itu, Harmoko menyatakan bahwa pimpinan MPR setuju dengan desakan mahasiswa untuk meminta Pak Harto mundur. Harmoko seperti tak terpengaruh atas pernyataannya saat meminta kesediaan Pak Harto untuk dicalonkan kembali menjadi presiden jauh hari sebelum SU MPR.
Pernyataan Harmoko ini kemudian dijelaskan (dibantah) Pangab Jenderal Wiranto sebagai bukan pernyataan institusi tapi lebih merupakan pernyataan pribadi.
HM Soeharto tentu dengan cermat terus mengikuti perkembangan itu. Sampai sore tanggal 20 Mei 1998, tampaknya ia masih yakin akan bisa mengatasi keadaan secara damai dengan membentuk Komite Reformasi dan merombak kabinet menjadi Kabinet Reformasi. Tapi keinginan baik Pak Harto ini disambut dingin berbagai kalangan bahkan tragisnya ditolak sebagian pembantunya (menteri) yang dibesarkannya.
Rupanya inilah detik-detik terakhir ia menjabat presiden. Hari itu, Rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19:30, Pak Harto menerima Mantan Wakil Presiden Sudharmono di kediaman Jalan Cendana 8 Jakarta. Saat itu, menurut Sudharmono, Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII.
Sekitar setengah jam berikutnya, pukul 20.00, Wakil Presiden B.J. Habibie menghadap Pak Harto. Lalu sekitar pukul 20:30, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto yang sedang bersama Wakil Presiden B.J. Habibie di ruang tamu kediaman Jalan Cendana 8 itu. Di hadapan Wakil Presiden BJ Habibie, Presiden Soeharto meminta Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final: Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi dan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi.
Saat itu, Presiden Soeharto menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya besok hari, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden Soeharto juga minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan.
Kemudian Wakil Presiden B.J Habibie pulang. Sementara itu, sebanyak empat belas orang menteri membuat pernyataan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet Reformasi yang direncanakan Pak Harto. Mereka itu adalah para menteri yang sebelumnya dibesarkan Pak Harto.
Lalu, sekitar pukul 21:00, setelah BJ Habibie pulang itu, Saadillah Mursyid mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Pak Harto. Dalam kesempatan itu, Saadillah Mursyid melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Saadillah juga melaporkan adanya informasi bahwa empat belas orang menteri yang direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet. Setelah itu, Saadillah pulang.
Tapi sekitar pukul 21:40, Saadillah Mursyid diminta menemui Presiden Soeharto lagi. Saadillah bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para menteri. Saadillah terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika ditanyakan, barulah ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto menunggu di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi.
Sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998 itu, HM Soeharto mempersilakan Saadillah duduk di sebelahnya. Kursi hanya ada satu, di situ HM Soeharto duduk. Lalu Saadillah dipersilahkan menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi, agar bisa lebih dekat.
Setelah hening sejenak, kemudian HM Soeharto mengatakan: “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.“
Lalu, kepada Saadillah sebagai Menteri Sekretaris Negara, diminta untuk mempersiapkan empat hal. Pertama, konsep ‘Pernyataan Berhenti dari jabatan Presiden RI’; Kedua, memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi dengan Presiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana Merdeka; Ketiga, memberitahu Wakil Presiden BJ Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung; Keempat, memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998 pukul 09:00.
Saadillah pun segera memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua Mahkamah Agung melalui telepon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Lalu, bersama-sama staf, Saadillah segera mulai melakukan penyusunan naskah Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan, Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Soenarto Soedharmo, ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal. Sementara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri Sekretaris Negara, memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata negara.
Konsep disusun secara bersama-sama, sebagaimana layaknya suatu pekerjaan staf. Bukan hasil kerja orang perorangan. Setelah konsep diteliti dan dikoreksi beberapa kali, pada pukul 03:00 menjelang subuh tanggal 21 Mei 1998 naskah Pernyataan telah siap untuk diajukan kepada Presiden.
Naskah diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Ajudan menaruh naskah itu di meja kerja Presiden.
Pagi harinya, Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”
“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“
Selepas itu, dengan ditemani puteri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Saadillah Mursyid, Pak Harto melambaikan tangan meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, Pak Harto mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Kemudian, putera-puteri dan keluarga menyalaminya.
Setelah itu, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. Bahkan BJ Habibie yang mengaku dibesarkan HM Soeharto juga tampak tanpa fatsoen politik mengambil sikap bahwa dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi.
Mereka tidak segan-segan memosisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu.
HM Soeharto pun ‘diasingkan’ dari Golkar yang dibesarkannya. Elit-elit Golkar malah yang duluan teriak agar Soeharto ditahan karena kejahatan-kejahatan yang dituduhkan kepadanya selama memerintah. Golkar yang sebelumnya lebih didonimasi pengaruh ABRI tampak bergeser lebih didominasi elit-elit ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Suatu tragedi tendensius konstitusi, yang kental diwarnai subjektivitas politik pun terjadi. Pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1998 – MPR yang masih didominasi kekuatan Golkar hasil Pemilu 1997 – menetapkan Ketetapan MPR No.XI/MPR/1998. Pasal 4 ketetapan MPR itu berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak-hak asasi manusia.”
Penyebutan nama orang secara eksplisit – mantan Presiden Soeharto – dalam pasal ini tampak tendensius, absurd dan sangat diwarnai sifat subjektivitas politik serta di luar kelaziman sistem ketatanegaraan Indonesia. Bukankah sebaiknya format suatu Tap MPR merupakan garis-garis umum dari suatu kebijakan negara? Jadinya, pasal ini seperti hendak diposisikan hanya berlaku kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi tidak berlaku bagi mantan presiden yang lainnya.Tampaknya, itulah puncak pengkhianatan beberapa mantan menteri dan elit Golkar yang dibesarkannya. Kendati Pak Harto tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa mereka ini mengkhianatinya. Tapi sikapnya yang sampai hari ini belum bersedia menerima kunjungan BJ Habibie dan beberapa mantan menteri dan elit Golkar lainnya bisa dipahami berbagai pihak sebagai indikasi ke arah itu.
Pak Harto pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Ia pun akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Ia menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan.Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianat, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justeru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa. Satu di antaranya adalah Saadillah Mursyid, mantan Menteri Sekretaris Negara. Saadillah menyatakan: “Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Qur‘an, Surah Ar Ra’ad ayat 25).”
*** Soeharto Media Center, repro Tokoh Indonesia DotCom.
Selamat jalan Pak Harto jasamu melekat Erat ditanah Paertiwi Indonesia

DRS. SAADILLAH MURSYID, MPA : "Pak Harto Tidak Mau terjadi Pertumpahan Darah"

Ketika jam tangan saya menunjukkan waktu sekitar pukul 22 : 15 hari Rabu 20 Mei 1998. Presiden Soeharto mempersilakan sava duduk di sebelah beliau. Setelah hening sejenak, kemudian beliau mengatakan: "Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 " Detik-detik terkhir mendampingi Pak Harto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sekelumit dari catatan harian saya, di saat-saat Pak Harto memutuskan menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden di bulan Mei 1998. Ketika itu saya memegang jabatan Menteri Sekretaris Negara Kabinet Pembangunan VII. Saya berusaha mencatat sebaik-baiknya peristiwa demi peristiwa yang berjalan dengan sangat cepat ketika itu.Catatan-catatan itu saya simpan dengan rapi dalam tumpukan perpustakaan pribadi. Saya akhirnya juga menyadari bahwa inilah momentum yang paling tepat, karena akan menjadi kenang kenangan ulang tahun Pak Harto yang ke-82, tanggal 8 Juni 2003.Hari Rabu 20 Mei 1998 sekitar pukul 19:30, Presiden Soeharto menerima Mantan Wakil Presiden Bapak Sudharmono, SH di kediaman Jalan Cendana 8. Pada pukul 20: 15 setelah selesai bertemu Presiden, saya menemui Bapak Sudharmono, SH di ruang tunggu. Bapak Sudharmono, SH menyampaikan bahwa Presiden Soeharto menyatakan tetap akan melaksanakan tugas-tugas kepresidenan dan segera akan mengumumkan pembentukan Komite Reformasi serta mengadakan perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII.Sesudah pembicaraan singkat itu Bapak Sudharmono, SH pulang. Kemudian sekitar pukul 20:30 saya diminta menemui Presiden Soeharto di ruang tamu kediaman jalan Cendana 8. Ketika saya memasuki ruangan, ternyata di dalam sudah ada Wakil Presiden B.J. Habibie.Di hadapan Wakil Presiden B.J Habibie, Presiden Soeharto minta agar saya, Menteri Sekretaris Negara, mempersiapkan naskah final: 1. Keputusan Presiden tentang Komite Reformasi; 2. Keputusan Presiden tentang Pembentukan Kabinet Reformasi.Presiden Soeharto kemudian menyatakan akan mengumumkan dan melaksanakan pelantikannya pada hari berikutnya, Kamis 21 Mei 1998. Untuk keperluan itu Presiden Soeharto minta agar ruang upacara atau yang lazim disebut ruang kredensial di Istana Merdeka dipersiapkan. Sekitar pukul 21:00, setelah Wakil Presiden B.J Habibie pulang, saya mohon untuk bisa melanjutkan bertemu dengan Presiden. Dalam kesempatan itu saya melaporkan bahwa sejumlah orang-orang yang direncanakan untuk menjadi anggota Komite Reformasi telah menyatakan menolak. Kemudian juga ada informasi bahwa empat.belas orang yang direncanakan akan duduk dalam Kabinet Reformasi menyatakan tidak bersedia ikut serta dalam Kabinet.Setelah selesai bertemu Presiden, sekitar pukul 21:30, saya harus mendapatkan perawatan kesehatan. Kemudian, sesuai prosedur yang ditentukan oleh dokter saya harus beristirahat dengan tiduran sekitar satu jam. Belum selesai saya beristirahat, Ajudan memberitahukan bahwa saya diminta menemui Presiden. Saya bergegas menuju ruangan di tempat biasanya Presiden menerima tamu, termasuk menerima para Menteri. Saya terkejut karena Presiden tidak ada di ruangan itu. Ketika saya tanyakan, barulah Ajudan memberitahukan bahwa Presiden Soeharto menunggu saya di ruang kerja pada bagian kediaman pribadi beliau.Saya baru sadar walaupun sudah menjadi menteri selama sepuluh tahun lebih dalam dua masa kerja kabinet, saya tidak pernah dan bahkan tidak tahu bagian kediaman pribadi Presiden. Jam tangan saya menunjukkan waktu sekitar pukul 22:15 hari Rabu 20 Mei 1998. Presiden Soeharto mempersilakan saya duduk di sebelah beliau. Kursi hanya ada satu, di situ Presiden Soeharto duduk. Saya dipersilahkan beliau menggeser puff, sebuah tempat duduk empat persegi, agar bisa lebih dekat.Setelah hening sejenak, kemudian Presiden Soeharto mengatakan: Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa. dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal. 8 Undang-Undang Dasar 1945.“ Sebagai Menteri Sekretaris Negara, saya diminta untuk:1. Mempersiapkan konsep Pernyataan Berhenti dari jabatan Presiden RI2. Memberitahu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa permintaan pimpinan DPR untuk bertemu dan melakukan konsultasi denganPresiden akan dilaksanakan hari Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:00 di ruang Jepara Istana Merdeka. 3. Memberitahu Wakil Presiden B.J.Habibie agar hadir di Istana Merdeka hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09:00 dan agar siap untuk mengucapkan Sumpah Jabatan Presiden di hadapan Ketua Mahkamah Agung. 4. Memohon kehadiran Ketua Mahkamah Agung di Istana Merdeka hari Kamis 21 Mei 1998 pukul 09:00. Memberitahu Pimpinan DPR, Wakil Presiden dan Ketua Mahkamah Agung saya lakukan melalui telpon. Malam sudah larut menjelang tengah malam. Bersama-sama staf saya segera mulai melakukan penyusunan naskah Pernyataan Berhenti Presiden. Setelah mendapatkan pokok-pokok dan arahan, Saudara Bambang Kesowo, waktu itu Wakil Sekretaris Kabinet, dan Saudara Soenarto Soedharmo, ketika itu Asisten Khusus Menteri Sekretaris Negara mulai menyusun konsep awal. Saudara Yusril Ihza Mahendra, ketika itu Pembantu Asisten (Banas) Menteri Sekretaris Negara memberikan masukan-masukan terutama dari segi hukum tata negara.Konsep disusun secara bersama-sama, sebagaimana layaknya suatu pekerjaan staf. Bukan hasil kerja orang perorangan. Setelah konsep diteliti dan dikoreksi beberapa kali, pada pukul 03:00 menjelang subuh tanggal 21 Mei 1998 naskah Pernyataan telah siap untuk diajukan kepada Presiden. Naskah diajukan melalui prosedur yang sudah baku pada Sekretariat Negara. Konsep yang sudah diketik rapi diserahkan kepada Ajudan. Naskah tidak dibawa langsung oleh pribadi saya sebagai Menteri Sekretaris Negara. Saya tidak menyerahkannya secara pribadi kepada Presiden. Saya serahkan kepada ajudan. Ajudan yang menaruh naskah itu di meja kerja Presiden. Jadi tidak ada kontak dan hubungan yang bersifat pribadi. Semuanya berjalan secara institusional.Oleh karena itu adalah tidak benar sama sekali, apabila ada cerita-cerita yang beredar dalam beberapa tulisan yang mengisahkan bahwa waktu naskah diajukan ke tangan Presiden Soeharto, wajah beliau nampak berubah. Tidak ada yang tahu bagaimana warna wajah beliau ketika membaca naskah di meja kerja beliau pribadi, kecuali Allah yang Maha Tahu. Setelah sembahyang subuh, pagi-pagi hari Kamis tanggal 21 Mei 1998, saya terima naskah Pernyataan Berhenti Dari Jabatan Presiden melalui Ajudan. Saya tidak menerimanya langsung dari tangan Presiden. Pada bagian akhir naskah ada tambahan-tambahan dengan tulisan tangan Presiden. Tambahan dengan tulisan tangan itu tidak pernah diketik, langsung saja dibacakan oleh Presiden. Pada hari Kamis, 21 Mei 1998 sekitar pukul 10:00 pagi di ruang upacara Istana Merdeka, yang lazim ketika itu disebut ruang kredensial, Presiden Soeharto menyampaikan pidato Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia.Dalam pidatonya itu Presiden Soeharto antara lain menyatakan: “saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan Nasional VII. Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka: perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.“ Mulai saat itu Pak Harto bukan lagi seorang Presiden. Saya temani Pak Harto meninggalkan Istana Merdeka pulang ke kediaman di Jalan Cendana 8. Ketika sampai di kediaman, sebelum duduk di ruang keluarga, beliau mengangkat kedua belah tangan sambil mengucap: “Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundakku selama berpuluh-puluh tahun.“ Putera-puteri dan kemudian keluarga menyalami Pak Harto. Setelah ada kesempatan, saya menyampaikan kepada beliau: “Mulai saat ini hubungan saya dan Bapak adalah hubungan orang yang lebih tua yang saya hormati dengan saya sebagai orang yang jauh lebih muda. Bapak bukan lagi seorang Presiden. Saya bukan lagi seorang Menteri Sekretaris Negara, karena tadi di Istana Merdeka saya telah menyampaikan surat kepada Presiden B.J Habibie menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sekretaris Negara terhitung sejak hari Kamis tanggal 21 Mei 1998jam 12:00 WIB.“ Pak Harto menjawab: “Mulai sekarang, kalau ada waktu, kamu datang-datang ke rumah saya. Tidak perlu lagi harus mendaftar untuk meminta waktu. Hubungan kita selanjutnya adalah dalam ikatan silaturrahmi dan persahabatan.” Silaturrahmi dan persahabatan. Ketika dialog dengan Pak Harto terjadi waktu itu, saya tidak mampu memahami arti kata silaturrahmi dan persahabatan itu dengan baik. Suasana ketika itu diliputi rasa bercampur antara keharuan, terkejut, tidak menduga dan lain sebagainya. Tetapi ketika waktu terus berjalan, saya menyadari bahwa dialog dengan Pak Harto di hari Kamis 21 Mei 1998 itu adalah tonggak perubahan dalam perjalanan hidup saya. Selama ini hubungan saya dengan Pak Harto amat formal, sebagaimana layaknya hubungan seorang Menteri dengan Presidennya. Sebelum mulai menjadi Menteri Muda Sekretaris Kebinet tahun 1988, saya memang tidak pernah bertemu secara pribadi dengan Pak Harto. Saya hampir bisa memastikan beliau juga tidak mengenal saya. Bagaimana Pak Harto bisa mendapatkan nama saya dan memasukkan saya dalam Kabinet Pembangunan V tahun 1988, hanya Allah SWT yang mengetahuinya.Sebagai Menteri. saya ketemu Presiden hanya apabila saya dipanggil. Atau kalau ada sesuatu yang perlu dilaporkan. Permintaan waktu melalui ajudan Presiden, sesuai prosedur. Saya berusaha memisahkan antara tugas jabatan dan hal-hal yang bersifat pribadi. Kalau Presiden pergi memancing saya tidak pernah ikut. Ketika Pak Harto naik haji, saya tidak masuk daftar rombongan yang turut serta, walau terus terang saja kepingin sekali ikut. Ketika Pak Harto ulang tahun, saya tanya ajudan apa saya sebaiknya datang ke kediaman untuk mengucapkan selamat. Saya akhirnya tidak jadi datang, ketika ajudan mengatakan bahwa acara ulang tahun Pak Harto terbatas pada lingkungan keluarga terdekat saja.Beberapa contoh kecil itu sekadar mengingatkan saya kembali, bagaimana saya telah berusaha untuk memusatkan pelaksanaan tugas saya dalam batas-batas kedinasan. Menjadi Menteri Sekretaris Kabinet yang paling pokok adalah mengurus kantor kepresidenen agar berjalan dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin.Manakala Pak Harto bukan Presiden lagi, maka hubungan menjadi ikatan silaturrahmi dan persahabatan. Silaturrahmi, ikatan tali kasih sayang. Persahabatan, menyertai dan mendampingi perjalanan hidup seseorang dalam suka dan duka. Kalau suatu ketika Kiai atau Ustaz yang seyogianya memimpin pembacaan doa berhalangan, saya siap menjadi tukang baca doa bersama Pak Harto. Kalau keadaan memaksa, sekali-sekali saya menjadi khatib menyampaikan khutbah pada shalat Jumat di rumah Pak Harto, kadang-kadang bahkan merangkap menjadi imam. Saya sadar terhadap kemampuan saya yang amat terbatas dalam ilmu agama Islam. Yang ada pada diri saya sekedar sisa-sisa masa kecil ketika diasuh almarhum orang tua saya. Beliau adalah seorang ulama. Saya juga sadar, sama sekali tidak memiliki latar belakang pengetahuan di bidang ilmu hukum. Karena itu ketika Pak Harto harus menghadapi proses hukum, itu adalah bagiannya Pak Is. Saya paling-paling ikut-ikutan di belakang.Kemudian barulah sesudah Pak Harto berhenti dari jabatan sebagai Presiden, ketika beliau belum jatuh sakit, saya diajak beliau ikut memancing ke laut. Itulah pengalaman pertama kalinya memancing ke laut lepas dalam hidup saya. Ketika Pak Harto sudah berbilang tahun tidak memegang jabatan Presiden, hati nurani saya merasakan sentuhan yang dalam. Ada doa harapan muncul dalam lubuk hati saya, kiranya dengan memelihara silaturrami dan persahabatan dengan Pak Harto, Allah SWT akan menerimanya sebagai wujud melaksanakan perintah-Nya untuk memelihara hubungan silaturrahmi dan persahabatan (Al Qur‘an; Surah Ar Ra‘ad ayat 20 dan 21).Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang jabatan Presiden, selalu mendekat-dekat, menjilat dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto tidak lagi menjadi Presiden orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat, mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto. Kelompok orang-orang seperti itu memperoleh kutukan Allah dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk, jahanam (Al Qur‘an, Surah Ar Ra’ad ayat 25).Cuplikan di atas adalah sekelumit dari rangkaian peristiwa yang begitu banyak sambung bersambung di sekitar Pernyataan Berhenti Presiden Soeharto Dari Jabatan Presiden Republik Indonesia. Mungkin suatu ketika akan datang saatnya untuk memaparkan fakta sejarah menurut apa adanya, apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi. Pemaparan fakta tanpa terkontaminasi bumbu-bumbu khayalan.Pada hari ulang tahun Pak Harto ke-82, 8 Juni 2001, saya memohonkan doa, kiranya Allah SWT mengkurniakan kepada PakHarto husnul khatimah, perjalanan hidup yang hingga akhir penuh kebajikan. Semoga Allah SWT menganugerahkan kepada Pak Harto panjang umur, usia yang panjang dengan diberikan kurnia kesehatan yang penuh dengan iman dan taqwa.Amin ya Allah, ya mujibassailin. (SMC, Dipetik dari sambutan pada buku: Proses Peradilan Soeharto (Ismail Saleh)

PAK HARTO SELAMATKAN BANGSA INDONESIA DARI KEHANCURAN

Prof.Dr.H.Emil Salim:
Sejarah pertumbuhan ekonomi di awal era Orde Baru, sebetulnya patut diacungi jempol. Jika toh sekarang rezim Soeharto dituding hanya mewariskan utang bertumpuk-tumpuk atau sisa kebobrokan sistem ekonomi mikro dan makro yang menyesakkan, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran.Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI contohnya, bisa dibilang edan. Jangan kaget, indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Nah, sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp.160 saja menjadi Rp.120 ribu! Itu semua agaknya menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Belum lagi persoalan ekonomi yang mencabuti satu per satu ajal rakyat Indonesia ini masih harus dipinggirkan oleh drama pergulatan politik nasional. Selepas pecahnya gerakan 30 September, panggung politik nasional memang diwarnai intrik-intrik dahsyat merebut tampuk kekuasaan pemerintah. Di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politis. Maklum dua kekuatan besar -- kelompak komunis dan anti-komunis (digalang ABRI) -- sama-sama bertarung menunggu tangkat estafet kekuasaan dari Presiden Soekarno. Desakan hebat untuk membubarkan PKI -- yang disebut-sebut kurang digubris Bung Karna -- memaksa Proklamator RI itu harus lengser dari Istana. la diganti Soeharto, yang sukses menumpas PKI. Demikian Prof.DR.H.Emil Salim mengemukakan pada kuliah program sejarah lisan Indonesia (1965- 1971 ), Kamis, di CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Jakarta. Sanering Pada awal-awalnya, menurut ekonom Emil Salim dan Frans Seda, pemerintahan Orde Baru diakui cukup progresif. Pemerintahan yang dikomandoi Pak Harto ini mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional. Misalnya saja sanering rupiah atau menghapus tiga nol di balik angka ribuan tanpa mengusahakan rencana pengendalian defisit anggaran. Meski dinilai konyol, langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi kontrol kelompok PKI yang menggondol kantung-kantung rupiah. Kecuali itu, upaya lain yang sempat digalang kelompok ekonom adalah membuat alternatif seperti menaikkan harga bensin atau tarif angkutan umum, serta menaikkan gaji pegawai negeri. Pintu masukan bagi pemerintah, juga dikukuhkan dalam hasil sidang MPRS Juni 1966. Di sini mulai dibuka kran masukan untuk merumuskan landasan komprehensif mengenai kebijakan ekonomi baru. Ambil contoh, Ketetapan MPRS No. 23/66 tentang pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Ketetapan ini memberi dasar bagi Kabinet Ampera (25 Juli 1966) dan Dewan Stabilisasi Ekonomi (11 Agustus 1966) untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional. Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru itu, paling tidak mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Kebijakan jitu lainnya yang digulirkan pemerintah saat itu adalah deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing, meski dilakukan secara bertahap.Liang KuburHasilnya, laju inflasi mulai jinak. Dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966), melunak jadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969). “Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu," ujar Emil Salim. Ada pertanyaan dari floor, yang menyebutkan kelompok ekonom macam Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Frans Seda hanya dimanfaatkan pemerintah Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. "Sebagai intelektual, saya hanya memanfaatkan ilmu untuk kepentingan rakyat Indonesia. Terserah orang mau bilang apa,” ujar Emil Salim, menjawab pertanyaan tersebut. Emil Salim juga mengakui bahwa di era 60-70an Pak Harto begitu piawai memadukan komponen bangsa, sampai-sampai republik ini bisa selamat dari liang kubur di pertengahan tahun 60-an. Bahkan Frans Seda berpendapat, “Memang setelah anak-anaknya (Soeharto) gede, kebijakan ekonomi jadi bias. Setelah merasa memperoleh personalized power, Pak Harto memborong semua sejarah. Seolah-olah, keberhasilan pemerintahan Orde Baru adalah berkat srateginya sendiri!“ Frans Seda berani menilai bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Itu sebabnya ia memisahkan dua kekuatan, yakni pemerintahan Orde Baru dan rezim Soeharto. Pemerintahan Orde Baru yang membawa semangat murni dan konsekuen dalam menjalankan amanat Pancasila serta UUD 1945, katanya, hanya berkibar sampai 1975/1976. Sedangkan rezim Soeharto bangkit 1983. Golkar dan ABRIDi antara 1975 sampai 1983 ini, terjadi proses transisi yang ditandai dua macam krisis. Krisis politik diledakkan oleh peristiwa Malari, sementara krisis ekonomi diwakili oleh kasus Pertamina. Soeharto, memenangi kedua krisis tersebut. sampai kembali terpilih tiga kali berturut-turut dengan dukungan riil Golkar dan ABRI. “Jadi keliru kalau ada yang menyatakan semua komponen pemerintahan Orde Baru itu salah,” katanya menegaskan. Terlepas dari itu, Emil Salim menggarisbawahi lima butir hikmah yang harus selalu dijadikan pedoman oleh pemerintahan pasca Orde Baru. Pertama, gagasan-gagasan ekonomi harus sederhana dan bisa menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Kedua, mengembangkan jaringan ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan gagasan-gagasan pembaharuan. Ketiga, bekerja dalam skala prioritas, misalnya membuat evaluasi kerja per 1OO hari, 1000 hari atau sejuta hari. Keempat, alur fragmatisme harus dijadikan acuan untuk mencari jalan keluar. Dan yang kelima, orientasi tanpa pamrih demi rakyat kecil. Catatan lain menyibak sosok Presiden Bung Karno sebagai pemimpin yang tidak mau dipusingkan oleh urusan ekonomi, alias cuma mau mengurusi politik tok. Sebab itu, ia lantas menunjuk Mohammad Hatta. Padahal, kebijakan ekonomi tanpa diimbangi oleh kebijakan politik yang padu, adalah sebuah ketimpangan. Dan, akankah ketimpangan serupa juga bakal dijalankan oleh pemerintah mendatang? (Soeharto Media Center, Sumber Hasyim, Suara Karya 27 Agustus 1999)

REFLESIKAN PENGALAMAN ORDE BARU! "Sebaiknya Bangsa Indonesia Tidak Melupakan Orde Baru dan Soeharto".


Oleh :Robert E Elson:
Indonesianis asal Australia Prof Robert E Elson mengemukakan, masyarakat Indonesia sebaiknya tidak melupakan Orde Baru dan Soeharto begitu saja, tetapi sebaliknya merefleksikan dengan serius pengalaman yang baru saja lewat. Orde Baru tidak diragukan lagi memberikan banyak hal kepada masyarakat Indonesia, seperti stabilitas, keamanan, kesejahteraan, dan bisa diprediksi (predictability).
"Sekarang ini seolah-olah ada perasaan di Indonesia bahwa Orde Baru dan Soeharto merupakan sebuah kesalahan besar, sesuatu yang harus disingkirkan dan dilupakan," kata Elson pada acara peluncuran bukunya Suharto: A Political Biography di Jakarta, Senin
Hadir sebagai pembahas dalam acara peluncuran buku yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies itu mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia Sabam Siagian dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Mochtar Pabottingi.
Buku biografi ini menceritakan tentang perjalanan Soeharto yang berusaha mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah negara bangsa yang kuat, bersatu, dan sejahtera, namun setelah hampir setengah abad pengaruhnya, ia hanya diingat sebagai seorang yang melakukan kejahatan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Elson mengungkapkan alasan menulis biografi Soeharto karena Soeharto dapat bertahan pada kekuasaannya selama 32 tahun dan tertarik untuk melihat apa pengaruh kekuasaannya bagi Indonesia kini dan di masa mendatang. Ia bahkan sempat diingatkan oleh seorang koleganya bahwa menulis biografi Soeharto bisa menghancurkan reputasinya sebagai ilmuwan. Namun, seperti dikemukakan Mochtar, Elson menulis buku biografi Soeharto itu dengan tanggung jawabnya yang penuh sebagai seorang ilmuwan. Buku biografi itu, kata Elson, ditulis untuk khalayak di Indonesia dan Australia.
Negara yang diinginkan Elson mengemukakan pentingnya bangsa Indonesia untuk tidak melupakan begitu saja Orde Baru dan Soeharto sebagai pengalaman yang baru saja lewat. Masyarakat Indonesia perlu merefleksikan mengapa kekuasaan Orde Baru bisa bertahan begitu lama, tetapi sekaligus jatuh demikian cepat dengan berbagai persoalan sosial dan ekonomi yang diakibatkannya. Orde Baru dan Soeharto, kata Elson, memberikan banyak hal kepada Indonesia, baik dalam hal stabilitas, keamanan, kesejahteraan, dan kemudahan untuk diprediksi. Namun, harga yang harus dibayar untuk semua itu adalah berbagai persoalan hak asasi manusia dan lemahnya institusionalisasi. Menurut pendapatnya, refleksi tentang masa yang baru lewat itu diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tetang Indonesia baru macam apa yang ingin diciptakan.
Elson juga mengemukakan isu yang penting berkaitan dengan masalah kepemimpinan, yakni perlunya pemimpin yang kuat dan mampu mengambil keputusan, tetapi sekaligus tidak menyebabkan lemahnya institusi-institusi yang ada. Kekuasaan perlu dihindarkan dari kecenderungan tersentralisasi secara berlebihan, namun juga jangan sampai seluruh kekuasaan didesentralisasikan sehingga kekuasaan negara menjadi lemah.
Perlu ada keseimbangan antara kebutuhan individu dan kebutuhan sosial, tanpa harus menonjolkan yang satu dengan mengorbankan yang lain. Perlu ada identitas nasional yang kuat, tetapi sekaligus menghargai kebebasan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan etnis dan keagamaan.
Bahaya seumur hidup Mochtar mengemukakan, pelajaran berharga yang dapat ditarik dari Soeharto adalah betapa besar bahaya menjadi presiden seumur hidup. Bahaya presiden seumur hidup, kata Mochtar, praktik itu akan menyebabkan irasionalitas dalam politik. Persoalan sekarang ini, antara lain perpecahan partai politik, merupakan akibat dari praktik presiden seumur hidup.
Dalam hubungan dengan Islam, kata Mochtar, Soeharto melakukan kesalahan dalam memilih kelompok Islam yang diajak bekerja sama. Hasilnya adalah konflik di berbagai daerah. Golkar oleh Soeharto diidentifikasi sebagai partai yang mewakili republik demi mempertahankan kekuasaannya.
Pelajaran berharga yang bisa ditarik dari Soeharto dan Orde Baru, menurut Sabam Siagian, bila demokrasi dikembangkan dengan baik, kebutuhan terhadap orang kuat akan berkurang. (SMC, sumber Kompas)

WAWASAN POLITIK PAK HARTO

Oleh : Sarwono Kusumaatmadja
Untuk mengenang satu tahun wafatnya mantan Presiden RI, H.M. Soeharto, redaksi menurunkan tulisan Sarwono Kusumaatmadja yang pernah menjabat sebagai menteri dalam dua periode kabinet berturut-turut, yaitu Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan VI (1993-1996), masing-masing sebagai Menteri PAN dan Menteri LH, selain pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Golkar (1983-1988).
Tulisan ini dimaksudkan semata–mata untuk mengenang Pak Harto sebagai pribadi, terutama dalam hubungan kerja saya sebagai Sekjen DPP Golkar 1983-1988, pada waktu Pak Harto menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar. Saya tidak berselera ikut polemik masalah hukum menyangkut diri beliau. Saya yakin betul dengan berjalannya waktu beliau akan dikenang sebagai seorang tokoh besar yang memiliki banyak jasa.
Hukum perlu ditegakkan untuk memberi efek jera terhadap para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, siapapun orangnya. Pak Harto adalah seorang yang berani. Andaikata beliau masih hidup dan sehat jasmani, beliau akan menaati apapun keputusan hukum. Itulah yang beliau katakan kepada Jaksa Agung Andi Ghalib ketika masa kepresidenan B.J. Habibie.
Saya juga ingat betul ketika zaman era Demokrasi Terpimpin berakhir. Caci maki terhadap Bung Karno bergelora ketika masa kepemimpinannya berakhir. Pada saat yang sama keadaan Bung Karno lemah dan tidak berdaya karena sakit. Sekarang Bung Karno telah kembali dihormati sebagaimana layaknya seorang pendiri bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangan. Bangsa kita masih harus belajar bahwa menghargai seorang pemimpin tidak perlu dipertentangkan dengan penegakan hukum.
Pertama kali saya bertemu Pak Harto saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1983 berakhir. Munas ini menempatkan Pak Sudharmono sebagai Ketua Umum dan saya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Menjelang penetapan personalia DPP Golkar, saya adalah calon Sekjen yang tidak diunggulkan dan hanya didukung oleh almarhum Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI pada waktu itu, dan beberapa teman seperti Jusuf Wanandi.
Saya sendiri tidak merasa diunggulkan dan ketika pengumuman susunan DPP Golkar dibacakan, saya hanya memakai pakaian kerja lusuh yang saya gunakan seharian karena tidak menyangka saya akan menjadi Sekjen. Tetapi saya kaget bukan alang-kepalang ketika Pak Benny mengatakan kepada saya bahwa dia melakukan silent operation untuk menjadikan saya sebagai Sekjen atas perintah Pak Harto.
Ketika bertemu pertama kali dalam rapat gabungan Dewan Pembina dan DPP Golkar di Jalan Cendana, Pak Harto tidak menyinggung sponsorship beliau terhadap saya. Kami membicarakan perlunya Golkar mempunyai majalah yang diberi nama oleh beliau Media Karya, yang kemudian saya secara ex-officio menjadi pemimpin redaksi.
Selanjutnya perkembangan Media Karya beliau ikuti betul dengan berbagai komentar, kritik dan usulan-usulan. Keberadaan saya yang seorang sipil (bukan dari militer seperti masa sebelumnya) sebagai Sekjen adalah momen penting karena dalam berbagai kesempatan lain beliau mengatakan bahwa Golkar harus dipersiapkan sebagai organisasi politik sipil yang tidak tergantung dari militer maupun birokrasi, dan harus siap bersaing dalam era multipartai. Program kerja DPP Golkar waktu itu yang disebut Tri Sukses adalah persiapan untuk era demokrasi hari ini dan di masa yang akan datang.
Yang menarik, dari mana beliau tahu tentang diri saya, Akbar Tandjung, Siswono Yudohusodo, Rahmat Witoelar, Jakob Tobing, Djoko Sudyatmiko, dan politisi sipil lainnya yang kemudian memegang peran di dalam politik, walaupun kami semua waktu itu tidak mengenal beliau secara pribadi.
Ternyata, beliau mengikuti kiprah kami dari surat-surat kabar, dari tokoh-tokoh Golkar, dan dari laporan intelijen. Peran kami kaum muda waktu itu amat kontroversial karena sering tidak sejalan dengan para senior yang banyak di antaranya berlatar belakang militer. Tetapi berbagai sumber mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa pendirian Pak Harto tentang peran kaum muda tegas: sangat mendukung.
“Wajar kalau mereka berbeda dengan kita-kita para senior,” demikian kata Pak Harto sebagaimana dikutip oleh Pak Sugiharto, Ketua Fraksi Golkar di Parlemen waktu itu. “Mereka memikirkan masa depan bangsa pada saat kita-kita yang lebih tua tidak akan ada lagi di situ.“
Banyak cerita yang patut diterangkan tentang beliau, dan saya memang sedang menyiapkan semacam memoar, di mana hal-hal yang menyangkut beliau akan saya tulis, siapa tahu ada gunanya bagi bekal pengetahuan bagi generasi muda. Bung Karno dan Pak Harto adalah tokoh besar, tentu jasa mereka besar. Tetapi karena memimpin bangsa dalam masa-masa sulit, tentu mereka juga menghadap risiko membuat kekeliruan besar. Bagaimanapun, harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Tidak mungkin kita tumbuh kuat dengan hanya menghadapi masalah-masalah kecil dan dipimpin oleh orang-orang biasa yang hanya mau mengambil risiko kecil.
Ada saatnya kelak Indonesia akan tumbuh makmur dan berkeadilan dengan sistem politik yang mantap. Pada saat itulah Indonesia akan siap menerima orang biasa sebagai pemimpin. Tugas kita adalah untuk mempercepat masa transisi politik ke arah pematangan demokrasi, dan tidak pernah melupakan jasa para pendahulu kita.
Sekarang, kita juga harus membiasakan diri dengan berbagai wacana pro dan kontra terhadap Pak Harto. Kesempatan untuk berbeda pendapat memang tersedia luas dan mengecam seorang mantan pemimpin sekarang tidak memerlukan keberanian.
Secara ironis, Pak Harto telah merintis jalan era reformasi, baik secara terencana seperti tadi saya uraikan, juga secara tidak diniatkan karena beliau dibiarkan berkuasa terlalu lama. Alhasil, momentum demokrasi demikian besar terbangun dan memberikan kita kesempatan menjalani masa transisi yang kompleks, tapi sekaligus merupakan bagian penting dari masa depan bangsa yang cerah di kemudian hari. (Sumber: http//sarwonokusumaatmadja.multiply.com / 30 Januari 2008)

NASIONALISME PANGAN PAK HARTO

Oleh : Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo)
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan dan irigasi dibangun, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga program listrik masuk desa. Selain itu, diperkenalkan manajemen usaha tani seperti Panca Usah Tani, Bimas, Operasi Khusus dan Intensifikasi Khusus. Pabrik pupuk Petro Kimia, Pupuk Sriwijaya dan Asean Aceh Fertilizer dibangun.
Kenangan yang paling membekas pada saya tentang Pak Harto adalah penghargaan Upakarti yang diberikan pada 1989 atas prestasi kami di Bukaka dalam membuat barang-barang yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pembangunan seperti pompa angguk, mesin pembuat jalan raya, dan gangway untuk pesawat terbang.
Beliau sendiri yang memberikan nama Indonesia yang sangat bagus, yaitu “Garbarata”. Penghargaan ini merupakan bentuk kepercayaan beliau terhadap orang muda. Jika diberi kesempatan, orang muda mampu berprestasi dan menghasilkan produk yang tidak kalah dengan buatan luar negeri.
Rasa bangga terhadap prestasi anak muda Indonesia tidak sebatas pada pemberian penghargaan, tetapi diikuti dengan kebijakan yang memberikan ruang yang leluasa untuk berprestasi melalui kompetensi. Untuk meningkatkan penggunaan produk yang sudah dapat dibuat di dalam negeri oleh putra-putra terbaik Indonesia, beliau mengangkat Ginanjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda UPDN.
Kebijakan inilah yang kemudian melahirkan pengusaha-pengusaha tangguh tamatan perguruan tinggi yang mampu bersaing di kancah internasional seperti Arifin Panigoro melalui Medco, Aburizal Bakrie melalui Bakrie Brothers, Iman Taufik melalui Tri Patra, dan masih banyak lagi. Prestasi aksi dan prestasi hasil yang ditunjukkan oleh anak-anak muda menjadikan kami kerap diajak ngobrol santai untuk masalah yang serius. Beliau menekankan pentingnya visi pembangunan yang jelas dan operational.Topik kesukaan beliau adalah pertanian.Beliau tahu dengan detil masalah pertanian dan merupakan obsesinya untuk menjadikan petani Indonesia makmur dan mampu menikmati hasil pembangunan. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani yang berkategori peasant, yaitu yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri (petani subsisten) bukan farmer, petani yang berorientasi komersial. Meski demikian, petani Indonesia merupakan soko guru sejati pembangunan.Mereka memiliki tugas mulia menyediakan produk pangan dengan harga terjangkau agar semua lapisan masyarakat dapat mudah mengakses sumber pangan. Nasihat Pak Harto yang terus kami ingat adalah jangan lupakan petani karena jasa merekalah maka kita yang hidup di kota menjadi lebih nyaman.Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahannya, langkah darurat yang diambil adalah membuka keran impor beras dan mencari bantuan luar negeri untuk impor beras. Setelah kepercayaan diraih, stabilitas teraih. Pak Harto mulai melakukan revitalisasi sektor pertanian dan mendirikan Bulog sebagai penyangga harga beras agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.Pada awal 1970-an, ketika minyak dijadikan senjata diplomasi oleh negara-negara Timur Tengah dalam menekan Amerika dan Eropa agar lebih fair dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah, Indonesia kebagian rezeki minyak akibat kenaikan harga yang cukup signifikan. Rezeki minyak ini dimanfaatkan dengan saksama oleh Pak Harto untuk membangun sektor pertanian.
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Bendungan Karang Kates di Jawa Timur, Waduk Mrica, Gajah Mungkur dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di Kalimantan, Bendungan Asahan di Sumatra, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga program listrik masuk desa.
Selain itu, diperkenalkan manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.
Langkah pembangunan pertanian yang dilakukan Pak Harto dikenal dengan nama "revolusi hijau". Dari revolusi hijau ini dihasilkan peningkatan produksi beras secara besar-besaran. Produksi beras nasional praktis dapat memenuhi permintaan dalam negeri.
Pada puncaknya, pada 1984 Indonesia berhasil meraih surplus produksi beras. Bahkan, dapat membantu Afrika yang kala itu sedang dilanda kelaparan. Di saat yang sama, pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antarmasyarakat desa dan kota di Indonesia walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian.
Prestasi aksi dan prestasi hasil di bidang pembangunan pertanian telah mengantarkan Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO pada 21 Juli 1986 di Roma. Ini adalah magnum opus Pak Harto yang sulit ditandingi. Setelah Pak Harto menarik diri dari pemerintahan, terjadi titik balik dalam prestasi pengelolaan pangan. Sejak akhir 2006, harga beras mulai merangkak naik.Belakangan minyak goreng dan kacang kedelai sebagai bahan baku tempe naik lebih dari dua kali lipat. Ketahanan pangan kita demikian rapuh karena petani tidak diberi insentif yang menjamin keberlangsungan usahanya. Lebih ironis lagi karena euforia reformasi, jabatan penyuluh pertanian oleh beberapa pemerintah daerah dihapuskan. Kalau begitu jangan heran bila kita sekarang sulit menaikkan produktivitas pertanian.
Kita masih belum terlambat merevitalisasi sektor pertanian. Pemberdayaan petani melalui pendekatan budaya wirausaha adalah sebuah keharusan. Ini dilakukan dengan penguatan SDM petani melalui pelatihan dan bimbingan yang berkesinambungan. Selain itu, perlu sertifikasi aset petani agar bankable. Ini akan membantu penguatan modal petani.
Semangat swadaya petani perlu dibangkitkan. Titik masuknya adalah melalui dana bergulir yang dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Jika ini dilakukan, impian Pak Harto menjadikan petani makmur dan bermartabat adalah suatu keniscayaan. Selamat jalan, Pak Harto. Semoga mendapat kemuliaan di sisi Allah. (Sumber: www.okezone.com/2008/01/30)

Caleg Stress Pemilu 2009

Saya sedang “menginventarisir” daftar para caleg yang stress gara-gara gagal tak terpilih pada pemilu legislatif (pileg) April 2009 yang lalu dan apa yang dia kerjakan gara-gara kegagalannya tersebut. Karena korban-korban caleg stress terus bertambah, maka daftar berikut akan terus diupdate setiap ada perkembangan baru. Tujuan saya adalah untuk diambil pelajaran bagi siapapun yang dapat mengambil hikmahnya. Daftar nama dan info diambil dari berbagai sumber media cetak maupun online.1. Caleg SK di Dapil I Kabupaten Sumbawa menarik kembali bantuan sebuah mesin genset yang di sumbangkannya ke mesjid. Selain itu, ia juga menarik bantuan dana sebesar Rp 1 juta yang disumbangkannya ke dua mushallah.
2.Caleg AH di Dapil I Kabupaten Sumbawa, sebelumnya ia menyumbang 100 buah kursi plastik dan 25 zak semen ke sebuah MTS di Kecamatan Labangka, Namun karena kecewa tidak meraih suara yang diharapkan, AH menarik kembali kursi dan semen tersebut.
3.Oknum caleg di Kota Sumbawa Besar yang tidak disebut nama dan parpolnya, meminta kembali uang sebesar Rp 20 ribu per orang yang diberikan dengan target 50 hingga 60 suara. Namun di pemilu, perolehan yang ada hanya ada saksi dan keluarga tim sukses.
4.Caleg nomor urut 9 dari Partai Golkar dari Kota Bogor,Yuniar, melalui tim suksesnya berinisial SB, menarik kembali ratusan buku tabungan masing-masing senilai Rp50.000 bertuliskan Karya Nyata Sejahtera yang dibagikan saat kampanye di Kampung Muara, RW 11/14, Kelurahan Pasirjaya,Kecamatan Bogor Barat.Namun saat hasil suara dihitung, dari jumlah DPT yang jumlahnya sekitar 900 suara,nama Yuniar hanya memperoleh di bawah 10 suara di RW 11 dan 14.
5.Caleg Partai Golkar dari Daerah Pemilihan I Dumai Timur Aswin memalui tim suksesnya mencabut kembali lima tiang listrik yang telah dipasang untuk menyalurkan listrik kewarga setempat.
6.Caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Banjar, Jawa Barat, Srihayati, 23, ditemukan tewas gantung diri sekitar pukul 07.30 WIB Selasa (14/4).Ibu muda yang mencalonkan diri untuk daerah pemilihan (dapil) I Kota Banjar dengan nomor urut 8 itu ditemukan tewas di sebuah saung bambu di Dusun Limusnunggal RT01/01, Desa Bangunjaya,Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis.
7.Seorang calon legislatif (caleg) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Pahala Sianipar ditemukan tewas di kediamannya, Senin (19/04) malam. Ia tewas bunuh diri akibat menenggak obat pembasmi serangga di dalam kamarnya. Di kediamannya Jalan Pintu Air, Kecamatan Medan Kota.
8.Tim Sukses (TS) Caleg pun bisa stres bahkan mengakhiri hidupnya. Itu dibuktikan Muhammad Iqbal (28), TS seorang Caleg yang kalah. Lelaki yang menetap di Jalan Eka Surya, Gang Pribadi, Kelurahan Gedung Johor, Medan Johor ini nekat gantung diri di kediamannya, Jumat (10/4). Iqbal adalah TS seorang Caleg untuk DPRD Medan. Sejak dua bulan lalu dia aktif menjadi TS Caleg sebuah Parpol. Karena kesibukan sebelum dan saat kampanye. Lelaki dengan pekerjaan serabutan ini dikabarkan sering tak pulang ke rumah untuk ngurus kemenangan Caleg jagoannya. Karena itu, dia acap bertengkar dengan istrinya.
9.Lazuardi, seorang caleg DPRD Kota Pontianak, Kalimantan Barat, meninggal Senin (13/4) malam lalu. Ia meninggal beberapa jam setelah mengikuti penghitungan suara pemilu. Diduga caleg dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) ini meninggal karena terlalu lelah dan stres mengikuti rangkaian proses pemilu. Ditambah perolehan suara tak cukup untuk menjadikannya legislator.
10.Sri Sumini, caleg dari Partai Demokrat di Solo, Jawa Tengah, meninggal akibat serangan jantung dan lever pada hari Minggu (12/4). Menurut keluarga, sejak masa kampanye hingga usai pencontrengan sang caleg lebih pendiam dan terkesan menyimpan beban pikiran.
11.Di Cirebon, sebanyak 15 orang caleg mengalami depresi dan memilih melakukan pengobatan spiritual untuk menyembuhkan depresi kepada Ustaz Ujang Bustomi di Desa Sinarancang, Mundu, Cirebon.
12.Seorang calon legislator daerah pemilihan Tangerang, di perumahan elit Alam Sutera Kunciran, stres dan marah-marah karena kalah dalam pemilu legislatif 9 April lalu.Sekitar pukul 17.00 WIB (9/4) saat penghitungan suara dilakukan, seorang pria (40) yang merupakan caleg dari partai tertentu, terlihat frustasi saat mengatahui kalah dalam perolehan suara. Dia merangkak di pinggir jalan dengan membawa-bawa cangkir sambil meminta-minta uang kepada orang yang berlalu lalang, katanya kembalikan uang saya, kata caleg itu.
13.Salah seorang caleg Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dari Bulukumba; Andi Langade Karaeng Mappangille Minggu (12/4) bersama tim suksesnya nekat melakukan penutupan jalan sepanjang 3 km. Tindakan tersebut diduga akibat perolehan suaranya yang tidak mencukupi menjadi caleg terpilih.
14.Di Ternate, Maluku Utara, seorang caleg berinisial HT meminta kembali televisi yang sudah disumbangkan ke warga. Ini dilakukan karena perolehan suara sang caleg sangat rendah. Kejadian ini terjadi di RT 02 Kelurahan Falawaja II, Kota Ternate Selatan.
15.Seorang caleg di Cirebon, Jawa Barat, kini sering melamun dan mengurung diri. Nasib ini menimpa Iwan Setiawan, caleg Partai Patriot asal Kabupaten Kuningan. Apa yang dialami Iwan ini bisa jadi hanya satu dari banyak kasus yang bakal terjadi. Setelah mengetahui hasil penghitungan suara tidak sesuai harapan, pria berusia 29 tahun ini mendadak menjadi pendiam dan sering mengurung diri di kamar. Keluarganya menduga, perilaku Iwan Setiawan terjadi karena kekalahannya dalam pemilu 9 April lalu. Iwan Setiawan memang telah menghabiskan uang yang banyak untuk kampanye. Setidaknya Rp 300 juta ludes dibuyurkan.
16.Ni Putu Lilik Heliawati (45), caleg nomor tiga Partai Hanura untuk DPRD Buleleng, meninggal dunia secara mendadak di rumahnya Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng.Musibah terjadi Kamis (9/4) malam sekitar pukul 23.30 Wita itu. Heliawati diduga meninggal akibat serangan jantung setelah menerima telepon dari tim suksesnya bahwa perolehan suara yang bersangkutan tidak memenuhi harapan.
17.Caleg nomor urut 15 Daerah Pemilihan (Dapil) berinisial S Sirimau untuk DPRD Kota Ambon, hendak menarik kembali karpet yang telah disumbangkan kepada ibu-ibu pengajian setempat.
18.Caleg DPRD Kulon Progo menarik kembali sejumlah hadiah dan sumbangan yang pernah ia berikan kepada warga Desa Karangsari, Pengasih, Kulon Progo. Caleg yang menarik kembali sumbangan kampanyenya itu, S, caleg perempuan.Saat masa kampanye, S cukup sering memberikan sumbangan dan hadiah kepada warga. Di Dusun Kamal, Karangsari, misalnya, ia memberikan 14 zak semen untuk pembuatan jalan konblok. Menurut warga, S juga memberikan bantuan alat musik drumband dan uang tunai Rp 2,5 juta.
19.Di Kalimantan Tengah muncul dua caleg dan tiga simpatisan partai yang mengalami tekanan psikis. Dua dari lima orang itu mengalami gangguan jiwa ringan atau stres, seorang gangguan jiwa sedang atau depresi. Dua lainnya mengalami gangguan jiwa berat: terus mengoceh, murung, serta tak mau makan serta Minum. Kelimanya kini dirawat di Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat Kalawa Atei, Kalteng.
20.Dahlan, caleg DPRD Bulukumba dari Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN). Caleg nomor urut tiga yang bertarung di Dapil I Kecamatan Herlang, Bonto Tiro dan Kajang ini, melakukan aksi penyegelan gedung SDN 225 Kajang-Kajang, Desa Borong, Kecamatan Herlang.Dahlan mulai menyegel sekolah ini sejak Sabtu (11/4) malam lalu dengan cara mengikat pintu gerbang sekolah menggunakan tali. Ia menyatakan, lahan yang ditempati gedung sekolah itu adalah miliknya.
21.Caleg EP dari partai RepublikaN menggusur 42 KK dari lahan tempat mereka tinggal di kawasan Daeo, desa Gura, kecamatan Tobelo, kabupaten Halmahera Utara (Halut). Tergusurnya warga itu dikarenakan ada pengusiran dari pemilik lahan yang beralasan bahwa tempat tinggal warga “menumpang” itu akan dibangun tempat usaha. EP yang merupakan caleg dari partai RepublikaN tak memperoleh satupun suara dari TPS para warga berdomisili, yang menjadi pemicu dari penggusuran tersebut.
22.Tim sukses salah satu caleg dari partai Golkar di Dapil I Ternate (Ternate Selatan-Moti) yang menarik televisi yang diberikan di pangkalan ojek Falajawa II, Kelurahan Kayu Merah, termasuk merusak pangkalan tersebut hanya beberapa jam setelah penghitungan suara berakhir.
23.Tim sukses Caleg berinisial MG di Kelurahan Jati Ternate melakukanpenarikan televisi dan bantuan semen. Hal ini dilakukan karena suara yang diperolehnya tidak sesuai dengan harapan.

Rabu, 22 April 2009

Parpol Kecil Minta Batas 2,5% Ditunda

Oleh : Ramadhian Fadillah - detikPemil

Jakarta - Sebanyak 29 parpol berperolehan suara kecil dalam Pemilu 2009, menggalang aksi bersama. Mereka mendesak ketentuan parliamentary threshold (PT) sebesar 2,5% ditunda pemberlakuannya agar calegnya tetap bisa melaju di parlemen.Pertemuan berlangsung di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (23/4/2009). Bertindak sebagai juru bicara dari kelompok tersebut adalah Sys NS dari Partai Persatuan Daerah (PPD)."Kan sayang kita sudah dapat suara, tapi tidak bisa masuk parlemen," ujarnya.Demi tercapainya cita-cita para calegnya menjadi anggota DPR, parpol-parpol berperolehan suara minim itu mendesak agar ketentuan PT baru diterapkan mulai 2014. Untuk itu mereka berencana menggelar pertemuan dengan Presiden SBY, MK dan mengundang kalangan DPR."Jangan diterapkan sekarang lah 2,5% itu, kalo bisa mulai 2014 agar kita bisa siap-siap," ujar Sys.Saat pertemuan tertutup itu dimulai pada jam 13.00 WIB, perwakilan 29 parpol yang diundang sudah hadir di lokasi. Selain PPD, beberapa di antaranya adalah dari PPRN, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor, Pakar Pangan, PPIB dan Partai Buruh.Rencananya pertemuan juga akan dihadiri juga oleh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tapi hingga pertemuan dibuka bakal capres tersebut belum juga terlihat di lokasi.( lh / iy )

Artikel

MENCIPTAKAN DEMOKRASI YANG DAMAI
Oleh : Suherman*)
Dalam waktu tidak terlalu lama, tepatnya tanggal 9 April 2009 bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi atau pemilu. Pesta demokrasi yang dilaksanakan 5 tahunan tersebut, tentunya dapat berlangsung aman dan damai. Meskipun masa-masa kampanye waktunya cukup panjang dan melelahkan, bangsa Indonesia menganggap pemilu sudah merupakan kegiatan rutin dan hal biasa untuk disikapi. Nampaknya dengan belajar dari pengalaman sejarah dan semakin cerdasnya tingkat kesadaran yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, ke depannya (meskipun ditingkat lokal masih terjadi anarkis) proses peralihan kepemimpinan nasional dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya akan berlangsung dengan aman dan damai.
Kesadaran dan Kecerdesan
Mengkondisikan pentingnya pesta demokrasi berjalan secara aman dan damai, sebenarnya tidak terlepas dari kontek pemahaman dan kesadaran bangsa Indonesia itu sendiri yang telah dikuatkan oleh pelajaran sejarah masa lalu. Tuntutan kesadaran bahwa pesta demokrasi harus dijalankan layaknya sebuah pesta pada umumnya, ditingkat nasional pesta demokrasi mulai disikapi sebagai suatu perayaan dengan segala kemeriahan didalamnya dalam suasana yang damai dan harmoni. Para elit politik yang bertarung memperebutkan kekuasaan dalam berinteraksi satu dengan lainnya haruslah berlangsung penuh dengan sukacita dan kehangatan. Keteladanan para elit politik dalam meraih kekuasaan melalui dukungan simpati para pemilihnya sudah saatnya menciptakan suatu sikap emosi yang bernilai positif dalam berpesta demokrasi.
Mendambakan sebuah pesta demokrasi dalam suasana yang tidak mencekam penuh ketakutan tidak lagi menghantui bangsa Indonesia. Sebuah gambaran pesta demokrasi yang rusuh antar peserta pesta demokrasi, terutama di tingkat lokal (pilkada provinsi dan kabupaten/kotamadya) memang seringkali terjadi. Perkelahian antar peserta pesta demokrasi sampai berdarah-darah hanya membuat ongkos politik yang mahal disamping menjadikan sambutan masyarakat terhadap pesta demokrasi ditanggapi negatif. Masyarakat menjadi semakin apatis dalam memahami dan memaknai pentingnya pesta demokrasi dilaksanakan.

Sebuah Keteladanan
Suasana atau iklim yang kondusif jalannya pesta demokrasi tidak terlepas yang pertama dari sikap para penguasa, elit politik atau pemimpin bangsa itu sendiri dalam memberikan contoh atau keteladanan yang baik kepada masyarakat. Para elit politik yang ikut bertarung dalam pesta demokrasi untuk meraih simpati sebaiknya jangan hanya pandai membuat slogan. Seringkali antara slogan dengan realita di lapangan tidak sejalan. Dengan semakin tinggi tingkat kecerdesan dan kesadaran masyarakat dewasa ini sesungguhnya slogan yang ditawarkan tidaklah memberikan pengharapan yang kosong.
Pengakuan secara jujur dan objektif bahwa negeri ini mengalami banyak kemajuan ketika diangkat dalam tema-tema kampanye oleh para peserta pesta demokrasi (di luar pemerintah) seringkali terabaikan. Memang disadari terkadang untuk menselaraskan antara sikap objektivitas dengan subjektivitas itu terkadang jauh bertolak belakang. Namun para elit politik harus mampu bersikap arif dan bijaksana saat mengkritisi berbagai pencapaian kemajuan yang diraih oleh suatu fase pemerintahan.
Sikap yang kedua adalah kaum intelektual atau para mahasiswa ketika menyuarakan pendapatnya dibanyak kegiatan demontranstrasi sering terperangkap dan terjebak pada pola-pola pemikiran yang anarki. Kesadaran bahwa dirinya adalah mahasiwa sebagai calon-calon pemimpin masa depan saat berorasi dan berprilaku berdemostrasi tidak mencerminkan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berbudaya, beragama dan berbudi pekerti. Nilai-nilai luhur terkandung dalam Pancasila seringkali tidak teraktualisasikan. Tolok ukur arti dan peran pendidikan bagi mahasiswa tidak lebih hanyalah sekedar mengejar kelulusan ujian. Tidak memikirkan bahwa dirinya harus menjadi bagian yang menginternalisasikan. Adanya suatu perubahan dari sikap mental dan prilaku mahasiswa ketika berbicara dan melibatkan diri dalam kancah demokrasi.
Perubahan mental tersebut memang ini bisa ditafsirkan adanya suatu kelemahan dari bagian atau institusi pendidikan negeri ini dalam mencetak calon-calon pemimpin masa depan. Banyak para elit politik, mahasiwa dan pemimpin hanya pandai beteriak demokrasi, tapi pengertian demokrasi pada dirinya bagaimana tampil atau meraih untuk menang. Sikap seperti ini adalah sikap para pemimpin tidak mau kalah dan mengakui kemenangan orang lain. Padahal konsekuensi berdemokrasi, setiap pertarungan akan muncul yang menang dan ada yang kalah.
Berpolitik Bukan Pekerjaan Biasa
Suatu gejala yang tidak mengenakan dan mengkhawatirkan ketika melihat kenyataan dari para calon legislatif (caleg) yang ikut Pemilu 2009. Mereka berpolitik menganggap sebuah lahan pekerjkaan biasa layaknya di sebuah kantoran. Gejala ini bisa lihat ketika suatu berita surat khabar yang memberitakan ada ratusan caleg dengan tiba-tiba mengundurkan diri karena diterima sebagai pegawai negari. Kalau berita itu benar, tentu saja sungguh jelak dunia perpolitikan bangsa ini. Terkesan orang yang masuk partai politik, bukan karena ideologi. Tapi karena masalah kebutuhan akan pekerjaan. Ikut mencalokan diri sebagai caleg merupakan pilihan terpaksa daripada tidak ada pekerjaan. Dunia politik itu sendiri bukan merupakan ruang pekerjaan biasa, tetapi sebuah sebuah kendaraan yang memiliki kekuatan yang sangat penting dalam mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam dunia politik terkandung adanya sebuah keinginan untuk meraih kekuasaan, sehingga pekerja politik itu bukan sama seperti pegawai negeri biasa. Bagi orang yang ingin memasuki dunia politik harus mempunyai ideologi, bukan untuk kepentingan masing-masing.
Tidaklah heran apabila partai politik bila merekruit kadernya hanya sekedar untuk menang. Apa yang terjadi, tidak sedikit partai menampilkan atau rekruitmen caleg hanya dilihat dari kepopulerannya dan penampilan fisik saja. Tidak heran hampir disetiap sudut jalan terpampang para caleg dari sisi tampilan bukan karena kemampuan menjabarkan visi dan misi yang akan diembannya apabila menjadi anggota parlemen. Populer memang penting, tapi politik juga tidak sekedar hanya popularitas, tetapi caleg harus memiliki kemampuan yang sudah teruji. Dalam daftar caleg yang terpampang saat ini tidak saja dihiasi oleh para artis, tetapi juga caleg-caleg yang kental dengan nepotisme dan oligarki. Padahal apabila perhatikan bahwa sesungguhnya apabila seorang caleg dengan adanya sandaran orang lain di belakangnya, sesungguhnya menunjukkan bahwa caleg tersebut tidak mempunyai atau adanya rasa percaya diri.
Padahal ketika seseorang menyatakan diri masuk partai politik, berarti dirinya harus faham dan mengerti ideologi partai politik yang akan dimasukinya. Sebab hanya dengan ideologi akan memberikan arah bagi dirinya di dalam garis perjuangan partai. Sebuah kecenderungan apabila masuk partai itu lebih dianggap sebuah perbuatan pragmatis aja. Maka tidak heran kalau dalam pertarungan pesta demokrasi merebut kekuasaan itu bisa menghalalkan segala cara.
Sesungguhnya pemilu yang damai bisa diciptakan apabila semua petarung yang ikut dalam pesta demokrasi mau mematuhi dan kembali kepada aturan main yang diciptakan, dibuat dan disepakati bersama. Berdemokrasilah sesuai dengan aturan yang dibuat dan disyahkan bersama.