Jumat, 18 September 2009

Noordin, 17 Kali Tercium Jejaknya...

Noordin, 17 Kali Tercium Jejaknya...Jumat, 18 September 2009 04:26 WIB

Teroris warga negara Malaysia, Noordin M Top, setidaknya sudah tercium jejaknya sebanyak 17 kali oleh polisi sejak ”perantauannya” ke Indonesia pada tahun 2002. Tim satuan tugas antiteror Polri akhirnya menangkap Noordin di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, pada 17 September 2009, genap dua bulan setelah peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009.

Rabu (16/9) siang, tim satuan tugas antiteror Polri sebenarnya menuju Urwah alias Bagus Budi Pranoto, bekas terpidana terorisme yang pernah ditangkap polisi pada Juli 2004. Urwah lolos dalam operasi di Solo pada 7-8 Agustus 2009.

Setelah menangkap Rohmad Puji Prabowo alias Bejo dan Supono alias Kedu di Solo, Rabu siang, polisi langsung bergerak menuju rumah kontrakan Susilo di Kepuhsari. Berdasarkan keterangan Bejo, Urwah ada di rumah Susilo.

Bejo sendiri merupakan rekan Urwah selama ini. Tak disangka, saat penyergapan yang diwarnai baku tembak, terungkap ada dua buronan penting di rumah Susilo, yakni Ario Sudarso dan Noordin M Top.

Ario Sudarso sendiri merupakan perakit bom yang juga melatih Sugi, perakit bom di Kelompok Palembang yang diringkus pada 2008.

Berdasarkan catatan kepolisian, Noordin M Top bertanggung jawab atas empat peristiwa peledakan bom di Indonesia, yaitu bom Marriott 2003, bom Kedutaan Besar Australia 2004, bom Bali 2005, dan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta, 17 Juli 2009.

Awal tahun 2002 Noordin tiba di Pekanbaru, Riau, dari Malaysia. Di kota ini, Noordin bahkan sempat menikah lagi.

Berdasarkan catatan tim satuan tugas antiteror Polri, mulai dari Pekanbaru, polisi setidaknya sudah 17 kali mencium jejak Noordin sebelum akhirnya terdeteksi kembali di Kepuhsari.

Noordin memang amat licin. Namun, satu hal yang amat menentukan pelariannya adalah jejaring simpatisan yang senantiasa melindunginya.

Pada Januari 2003, misalnya, Noordin tercium di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kemudian, pada Januari 2003, Noordin, Rais, dan Azhari Husin (warga negara Malaysia, sudah tewas) pindah lagi ke Bengkulu. Di Bengkulu inilah Noordin terlecut ide untuk menggelar aksi peledakan bom spektakuler, yang lalu berujung pada sasaran Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003.

Setelah itu, Noordin juga sempat singgah di Lampung (2003), Bandung (2003), Solo (2004), Surabaya (2004), Tangerang (2004), Jakarta (saat bom Kedubes Australia 2004), Cikampek (2004), Semarang (2005), Solo (2005), Temanggung (2005), Cilacap (2006), Palembang (2007), Cilacap (2009), dan Jakarta (17 Juli 2009).

Saat penyergapan di Bandung, Jawa Barat, Oktober 2003, Noordin bahkan sudah sempat berhadap-hadapan dengan polisi, tetapi lolos. Ketika itu polisi sempat khawatir Noordin membawa bom dan nekat meledakkan diri di areal padat penduduk.

Noordin—lulusan Universiti Teknologi Malaysia—selama ini menjalankan aksinya dengan memanfaatkan orang dari organisasi Al Jamaah Al Islamiyah atau Jemaah Islamiyah (JI). Noordin sendiri menganggap dirinya sebagai pemimpin sayap militer JI. Namun, banyak dari anggota JI memandang kelompok Noordin sebagai kelompok sempalan JI. Diperkirakan sejak tahun 2003 Noordin dan kelompoknya merencanakan dan menjalankan aksinya sendiri.

Sejak sekitar tahun 2004, Noordin kerap merekrut orang- orang muda dari organisasi lain ataupun yang tak berpayung dalam suatu organisasi.

Saat bersekolah mengambil gelar sarjana S-1 di Universiti Teknologi Malaysia, sekitar tahun 1995, Noordin mulai kerap bersinggungan dengan Pondok Pesantren Luqmanul Hakiem, yang tak jauh dari kampusnya.

Pondok pesantren ini merupakan salah satu sekolah jaringan JI di Malaysia. Belakangan Noordin telah menjadi kepala sekolah di pondok pesantren itu hingga 2001. Saat Malaysia intensif memberangus jaringan JI, pondok pesantren itu pun berhenti beroperasi tahun 2002. (SF)
Teror Pasca-Noordin M TopJumat, 18 September 2009 04:53 WIB

Oleh Andi Widjajanto

Akhirnya, Detasemen Khusus 88 berhasil menewaskan gembong teroris Noordin M Top. Keberhasilan ini membuka berbagai skenario tentang perkembangan jejaring teror di Indonesia. Skenario ini penting dibangun untuk menentukan arah strategi kontrateror Indonesia.

Skenario terbaik yang bisa dibayangkan adalah tewasnya Noordin M Top sekaligus menjadi akhir dari gerak jejaring teror di Indonesia. Semua anggota jejaring diperkirakan akan mengalami proses demoralisasi. Tidak ada anggota jejaring yang akan mampu menggantikan kepemimpinan Noordin M Top. Jejaring teror di Indonesia tidak lagi mampu untuk melakukan revitalisasi jejaring.

Namun, strategi kontrateror Indonesia harus dibangun untuk mengantisipasi skenario terburuk. Skenario terburuk yang bisa dibangun adalah terjadinya proses metamorfosis jejaring sehingga Indonesia akan menghadapi ancaman teror dengan tingkat eskalasi lebih tinggi.

Balas dendam

Metamorfosis teror di Indonesia akan diawali suatu aksi retaliasi atas kematian Noordin M Top. Aksi retaliasi ini merupakan balas dendam sekaligus pembuktian bahwa jejaring tetap bisa bertahan tanpa kehadiran Noordin.

Pengalaman Kolombia dalam penumpasan gembong-gembong teror menunjukkan, aksi retaliasi ini biasanya tidak berwujud suatu serangan teror dalam skala besar, tetapi lebih ditujukan terhadap individu-individu yang dianggap paling bertanggung jawab atas tewasnya Noordin M Top. Rencana Jatiasih juga menunjukkan bagaimana kelompok Noordin berencana melakukan serangan Cikeas bukan karena Presiden Yudhoyono memiliki ideologi politik yang mengancam mereka, tetapi karena dianggap bertanggung jawab atas pelaksanaan eksekusi mati tiga pelaku teror bom Bali I.

Aksi retaliasi ini sekaligus menjadi titik awal konsolidasi jejaring teror. Pola retaliasi Tentara Republik Irlandia (IRA) menunjukkan, saat melakukan retaliasi, jejaring teror akan menggunakan orang-orang paling militan untuk melaksanakan serangan. Kemunculan semangat militan baru ini akan menjadi landasan bagi jejaring teror untuk melakukan revitalisasi jejaring.

Revitalisasi jejaring teror di Indonesia tampaknya akan sekaligus menjadi kemunculan kelompok Al Qaeda Asia Tenggara. Dokumen Solo yang ditemukan Densus 88 untuk pertama kali mengonfirmasi keberadaan kelompok ini. Dalam dokumen itu, Noordin M Top, Syaifudin Zuhri, dan Syahrir disebut sebagai pemimpin (qo’id) Tandzim Al Qaeda wilayah Asia Tenggara.

Skenario buruk yang bisa diprediksikan muncul adalah Syaifudin Zuhri dan Syahrir akan melanjutkan tandem kepemimpinan dengan cara menjadikan Indonesia sebagai front kedua perlawanan Al Qaeda. Front kedua ini dibutuhkan untuk mengalihkan konsentrasi gelar pasukan AS yang saat ini memprioritaskan penghancuran front Al Qaeda di Afganistan dan Pakistan barat.

Jika front kedua ini tercipta, Indonesia akan melihat suatu eskalasi ancaman teror ke tingkat lebih tinggi. Karakter jejaring teror Noordin M Top, yang selama ini mengandalkan perekrutan-perekrutan lokal dari komunitas Jemaah Islamiyah maupun komunitas Negara Islam Indonesia akan menguat menjadi jejaring teror transnasional. Jejaring teror transnasional ini akan memperkokoh interaksi ad hoc yang sudah tercipta antara front Indonesia-Moro-Pattani.

Sasaran

Kemungkinan terbentuknya jejaring teror transnasional di Indonesia akan secara signifikan mengubah target serangan teror. Sebelumnya, kelompok Noordin M Top melakukan serangan ke sasaran-sasaran biasa, sasaran penting, dan sasaran yang berdampak besar. Karakter sasaran ini dapat berubah dengan melihat pola serangan terorisme internasional.

Dalam enam tahun terakhir, jejaring teroris transnasional cenderung memilih fasilitas-fasilitas bisnis (58 persen) sebagai target serangan utama. Namun, jejaring ini juga menyerang target-target militer dan pemerintahan. Serangan jejaring teroris transnasional yang ditujukan langsung ke fasilitas-fasilitas militer mengambil 1,8 persen kasus dari semua populasi serangan teroris.

Serangan untuk fasilitas pemerintah dan diplomasi juga terjadi, yaitu masing-masing 3,6 persen dan 7,5 persen.

Densus 88

Skenario penguatan jejaring teror di Indonesia harus diimbangi dengan penguatan strategi kontrateror. Tewasnya Noordin M Top seharusnya sudah dapat menepis segala bentuk keraguan tentang kemampuan Densus 88 untuk menggelar strategi kontrateror yang efektif. Untuk mengantisipasi skenario terburuk metamorfosis jejaring teror pasca-Noordin M Top dan sebagai penghargaan atas keberhasilan operasional Densus 88, kapasitas Densus 88 harus diperkuat sehingga unit ini dapat berperan sebagai penjuru implementasi strategi kontrateror di Indonesia.

Penguatan peran Densus 88 sebagai penjuru harus disertai upaya untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap Densus 88 yang saat ini berada di tingkat sangat tinggi. Tingkat kepercayaan publik bisa dipertahankan dengan memberi legitimasi politik bagi tiap gelar operasional yang dilakukan Densus 88.

Legitimasi politik ini akan hilang jika pemerintah berusaha menerapkan paradigma perang dan bukan paradigma pendekatan hukum sebagai landasan operasional strategi kontrateror di Indonesia. Legitimasi ini akan lenyap jika pemerintah berupaya merevisi UU Antiteror tahun 2003 dengan regulasi baru yang memiliki karakter otoritarian. Legitimasi ini pasti pudar jika pemerintah berusaha membentuk badan antiteror nasional yang memiliki kewenangan luas. Legitimasi ini pasti lenyap jika pelaksanaan strategi kontrateror mencabut prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Andi Widjajanto Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: