Rabu, 22 April 2009

Artikel

MENCIPTAKAN DEMOKRASI YANG DAMAI
Oleh : Suherman*)
Dalam waktu tidak terlalu lama, tepatnya tanggal 9 April 2009 bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi atau pemilu. Pesta demokrasi yang dilaksanakan 5 tahunan tersebut, tentunya dapat berlangsung aman dan damai. Meskipun masa-masa kampanye waktunya cukup panjang dan melelahkan, bangsa Indonesia menganggap pemilu sudah merupakan kegiatan rutin dan hal biasa untuk disikapi. Nampaknya dengan belajar dari pengalaman sejarah dan semakin cerdasnya tingkat kesadaran yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, ke depannya (meskipun ditingkat lokal masih terjadi anarkis) proses peralihan kepemimpinan nasional dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya akan berlangsung dengan aman dan damai.
Kesadaran dan Kecerdesan
Mengkondisikan pentingnya pesta demokrasi berjalan secara aman dan damai, sebenarnya tidak terlepas dari kontek pemahaman dan kesadaran bangsa Indonesia itu sendiri yang telah dikuatkan oleh pelajaran sejarah masa lalu. Tuntutan kesadaran bahwa pesta demokrasi harus dijalankan layaknya sebuah pesta pada umumnya, ditingkat nasional pesta demokrasi mulai disikapi sebagai suatu perayaan dengan segala kemeriahan didalamnya dalam suasana yang damai dan harmoni. Para elit politik yang bertarung memperebutkan kekuasaan dalam berinteraksi satu dengan lainnya haruslah berlangsung penuh dengan sukacita dan kehangatan. Keteladanan para elit politik dalam meraih kekuasaan melalui dukungan simpati para pemilihnya sudah saatnya menciptakan suatu sikap emosi yang bernilai positif dalam berpesta demokrasi.
Mendambakan sebuah pesta demokrasi dalam suasana yang tidak mencekam penuh ketakutan tidak lagi menghantui bangsa Indonesia. Sebuah gambaran pesta demokrasi yang rusuh antar peserta pesta demokrasi, terutama di tingkat lokal (pilkada provinsi dan kabupaten/kotamadya) memang seringkali terjadi. Perkelahian antar peserta pesta demokrasi sampai berdarah-darah hanya membuat ongkos politik yang mahal disamping menjadikan sambutan masyarakat terhadap pesta demokrasi ditanggapi negatif. Masyarakat menjadi semakin apatis dalam memahami dan memaknai pentingnya pesta demokrasi dilaksanakan.

Sebuah Keteladanan
Suasana atau iklim yang kondusif jalannya pesta demokrasi tidak terlepas yang pertama dari sikap para penguasa, elit politik atau pemimpin bangsa itu sendiri dalam memberikan contoh atau keteladanan yang baik kepada masyarakat. Para elit politik yang ikut bertarung dalam pesta demokrasi untuk meraih simpati sebaiknya jangan hanya pandai membuat slogan. Seringkali antara slogan dengan realita di lapangan tidak sejalan. Dengan semakin tinggi tingkat kecerdesan dan kesadaran masyarakat dewasa ini sesungguhnya slogan yang ditawarkan tidaklah memberikan pengharapan yang kosong.
Pengakuan secara jujur dan objektif bahwa negeri ini mengalami banyak kemajuan ketika diangkat dalam tema-tema kampanye oleh para peserta pesta demokrasi (di luar pemerintah) seringkali terabaikan. Memang disadari terkadang untuk menselaraskan antara sikap objektivitas dengan subjektivitas itu terkadang jauh bertolak belakang. Namun para elit politik harus mampu bersikap arif dan bijaksana saat mengkritisi berbagai pencapaian kemajuan yang diraih oleh suatu fase pemerintahan.
Sikap yang kedua adalah kaum intelektual atau para mahasiswa ketika menyuarakan pendapatnya dibanyak kegiatan demontranstrasi sering terperangkap dan terjebak pada pola-pola pemikiran yang anarki. Kesadaran bahwa dirinya adalah mahasiwa sebagai calon-calon pemimpin masa depan saat berorasi dan berprilaku berdemostrasi tidak mencerminkan sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berbudaya, beragama dan berbudi pekerti. Nilai-nilai luhur terkandung dalam Pancasila seringkali tidak teraktualisasikan. Tolok ukur arti dan peran pendidikan bagi mahasiswa tidak lebih hanyalah sekedar mengejar kelulusan ujian. Tidak memikirkan bahwa dirinya harus menjadi bagian yang menginternalisasikan. Adanya suatu perubahan dari sikap mental dan prilaku mahasiswa ketika berbicara dan melibatkan diri dalam kancah demokrasi.
Perubahan mental tersebut memang ini bisa ditafsirkan adanya suatu kelemahan dari bagian atau institusi pendidikan negeri ini dalam mencetak calon-calon pemimpin masa depan. Banyak para elit politik, mahasiwa dan pemimpin hanya pandai beteriak demokrasi, tapi pengertian demokrasi pada dirinya bagaimana tampil atau meraih untuk menang. Sikap seperti ini adalah sikap para pemimpin tidak mau kalah dan mengakui kemenangan orang lain. Padahal konsekuensi berdemokrasi, setiap pertarungan akan muncul yang menang dan ada yang kalah.
Berpolitik Bukan Pekerjaan Biasa
Suatu gejala yang tidak mengenakan dan mengkhawatirkan ketika melihat kenyataan dari para calon legislatif (caleg) yang ikut Pemilu 2009. Mereka berpolitik menganggap sebuah lahan pekerjkaan biasa layaknya di sebuah kantoran. Gejala ini bisa lihat ketika suatu berita surat khabar yang memberitakan ada ratusan caleg dengan tiba-tiba mengundurkan diri karena diterima sebagai pegawai negari. Kalau berita itu benar, tentu saja sungguh jelak dunia perpolitikan bangsa ini. Terkesan orang yang masuk partai politik, bukan karena ideologi. Tapi karena masalah kebutuhan akan pekerjaan. Ikut mencalokan diri sebagai caleg merupakan pilihan terpaksa daripada tidak ada pekerjaan. Dunia politik itu sendiri bukan merupakan ruang pekerjaan biasa, tetapi sebuah sebuah kendaraan yang memiliki kekuatan yang sangat penting dalam mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam dunia politik terkandung adanya sebuah keinginan untuk meraih kekuasaan, sehingga pekerja politik itu bukan sama seperti pegawai negeri biasa. Bagi orang yang ingin memasuki dunia politik harus mempunyai ideologi, bukan untuk kepentingan masing-masing.
Tidaklah heran apabila partai politik bila merekruit kadernya hanya sekedar untuk menang. Apa yang terjadi, tidak sedikit partai menampilkan atau rekruitmen caleg hanya dilihat dari kepopulerannya dan penampilan fisik saja. Tidak heran hampir disetiap sudut jalan terpampang para caleg dari sisi tampilan bukan karena kemampuan menjabarkan visi dan misi yang akan diembannya apabila menjadi anggota parlemen. Populer memang penting, tapi politik juga tidak sekedar hanya popularitas, tetapi caleg harus memiliki kemampuan yang sudah teruji. Dalam daftar caleg yang terpampang saat ini tidak saja dihiasi oleh para artis, tetapi juga caleg-caleg yang kental dengan nepotisme dan oligarki. Padahal apabila perhatikan bahwa sesungguhnya apabila seorang caleg dengan adanya sandaran orang lain di belakangnya, sesungguhnya menunjukkan bahwa caleg tersebut tidak mempunyai atau adanya rasa percaya diri.
Padahal ketika seseorang menyatakan diri masuk partai politik, berarti dirinya harus faham dan mengerti ideologi partai politik yang akan dimasukinya. Sebab hanya dengan ideologi akan memberikan arah bagi dirinya di dalam garis perjuangan partai. Sebuah kecenderungan apabila masuk partai itu lebih dianggap sebuah perbuatan pragmatis aja. Maka tidak heran kalau dalam pertarungan pesta demokrasi merebut kekuasaan itu bisa menghalalkan segala cara.
Sesungguhnya pemilu yang damai bisa diciptakan apabila semua petarung yang ikut dalam pesta demokrasi mau mematuhi dan kembali kepada aturan main yang diciptakan, dibuat dan disepakati bersama. Berdemokrasilah sesuai dengan aturan yang dibuat dan disyahkan bersama.

1 komentar:

nbalike mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.