Sabtu, 04 Juli 2009

Independent Power Producer Terkendala Masalah Dana

ekonomi
IPP Terkendala Masalah Dana
Jum'at, 17 April 2009 - 16:04 wib
JAKARTA - Realisasi Independent Power Producer (IPP) masih terkendala masalah pendanaan. Hal ini disebabkan karena mayoritas IPP akibat kesulitan untuk memperoleh pendanaan dari perbankan sebagai modal."Selain itu, mereka juga sulit meyakinkan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada mereka. Padahal IPP itu menyediakan 15 persen dari kebutuhan listrik nasional yang sebesar 30 ribu MW," ujar Direktur Perencanaan dan Teknologi PT PLN (Persero) Bambang Praptono, seusai konferensi pers di Kantor Pusat, Jalan Trunojoyo, Jumat (17/4/2009).Lebih lanjut Bambang menjelaskan, supaya IPP tetap eksis dan tidak terkena terminasi, PLN akan memperketat seleksi IPP yang akan menyediakan listrik bagi PLN."Kita akan memperketat prequalification IPP. PLN akan melihat apakah IPP tersebut memiliki modal yang kuat, memiliki pengalamannya dalam mengoperasikan IPP, dan benar-benar IPP player," tambahnya.Untuk menjaga eksistensi IPP dalam menjamin pasokan listrik maka perlu adanya jaminan pemerintah jika terjadi perubahan arah politik yang berpengaruh pada arah perubahan kebijakan, misalnya jika IPP tidak dapat beroperasi lagi karena perubahan kebijakan, maka pemerintah harus melakukan buy out IPP tersebut."Pasalnya kalau PLN yang harus melakukan buy out kondisi keuangan PLN tidak memungkinkan," terangnya.Saat ini sebagian besar IPP ada di Jawa antara lain PLTP Gunung Salak Unit 456, PLTP Drajad Unit 2, PLTP Wayang Windu Unit 1, PLTP Dieng, PLTU Paiton 1, PLTU Paiton 2. Sedangkan di luar Jawa ada PLTGU Palembang Timur, PLTGU Sengkang, PLTD Pare-pare, PLTU Ambalat, dan Kaltim. (ade)

Langgar Wilayah Blok Ambalat

Langgar Wilayah Blok Ambalat
RI Harus Miliki Senjata Canggih Hadapi Malaysia
Rabu, 28 Februari 2007 - 12:38 wib
JAKARTA – Kedaulatan Indonesia kembali diacak-acak Malaysia. Pelanggaran wilayah Blok Ambalat di Laut Sulawesi dilakukan tentara Malaysia pada 24-25 Februari. DPR meminta pemerintah mengambil langkah tegas.
Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, pemerintah harus mengalokasikan dana untuk membeli persenjataan canggih dan melakukan rekrutmen personel tentara. Upaya itu untuk menghadapi berbagai pelanggaran yang dilakukan Malaysia.
“Indonesia harus memiliki tentara dan peralatan perang yang kuat agar disegani negara lain. Berkeliarannya pesawat-pesawat Malaysia merupakan bukti kurangnya sistem pertahanan keamanan Indonesia,” kata Agung di Gedung DPR, Senayan, Rabu (28/2/2007).
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar itu menilai, perilaku Malaysia itu sebagai bentuk sikap yang tidak bersahabat. Soalnya, masalah itu sangat sensistif terhadap kedaulatan negeri ini. Sehingga, pemerintah harus fokus menghadapi berbagai kemungkinan aksi lain yang dilancarkan negeri jiran itu.
Agung menilai, pengalokasian dana untuk membeli persenjataan dan rekrutmen pasukan yang memiliki disiplin tinggi harus segara dilakukan.
“Apa Malaysia berani melakukan aksi serupa terhadap tentara Amerika Serikat?,” tegas Agung.
“Indonesia memang kurang dalam persenjataan. Situasi itu semakin parah dengan kondisi pesawat tempur yang sudah usang. Pemerintah harus mengalokasikan dana agar tidak dipandang sebelah mata oleh Malaysia. (fmh)()

Krisis Listrik, PLTN, dan Panas Bumu

Krisis Listrik, PLTN, dan Panas Bumi
Selasa, 4 Maret 2008 - 10:01 wib
Don't put your eggs in one basket. Jangan letakkan telur-telur Anda dalam satu keranjang. Itulah peribahasa klasik orang Inggris dalam berinvestasi. Sebab, jika keranjang itu pecah, semua telur Anda akan pecah.Ini berbeda bila telur-telur Anda diletakkan dalam beberapa keranjang. Jika salah satu keranjang itu jatuh, maka tidak semua telor Anda akan pecah. Masih ada yang selamat. Penggalan peribahasa Inggris itu tampaknya cocok untuk direnungkan para pemimpin PLN. Gara-gara sumber energinya sebagian besar tergantung pada batu bara, kemudian pelayaran kapal pengangkut batu bara terganggu, aliran listrik pun tersendat. Byar pet aliran listrik itu tak hanya terjadi di kota kecil, tapi juga di kota besar, bahkan di Ibu Kota Jakarta. Akibat terganggunya setrum tersebut, kegiatan ekonomi dan industri nasional menderita kerugian triliunan rupiah.Orang bilang, hanya keledai yang bisa terperosok pada lubang yang sama. PLN memang bukan keledai, tapi kasus rutin yang menimpa PLN itu hampir sama dengan makna peribahasa itu. Bahan bakar lebih dari 75 persen pembangkit listrik di Indonesia tergantung pada solar, gas alam, dan batu bara. Ketiga jenis bahan bakar tersebut membutuhkan transportasi untuk sampai ke lokasi mesin pembangkit listrik. Jika transportasinya terganggu karena cuaca buruk dan gelombang laut besar, operasi mesin pembangkit listrik itu terganggu.Akibatnya, pasokan listrik nasional pun tersendat. Itulah yang terjadi belakangan. Memperhatikan peristiwa tersebut, pemerintah, dalam hal ini PLN, harus mencari terobosan baru yang serius. Salah satunya memanfaatkan panas bumi dan energi nuklir. Bahan bakar kedua sumber energi ini tak membutuhkan transportasi.Panas BumiIndonesia sebagai negeri kepulauan yang terletak dalam ring of fire (cincin gunung api) mempunyai sumber panas bumi yang melimpah. Sekitar 40 persen sumber panas bumi di dunia terdapat di Indonesia. Jika panas bumi di Indonesia dimanfaatkan dengan baik, bisa menyuplai listrik sebanyak 27.000 MW.Jumlah listrik dari energi panas bumi ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia saat ini. Sekarang saja kapasitas daya terpasang listrik di Indonesia baru mencapai 25.000 MW. Ini artinya, potensi energi panas bumi di Indonesia sangat besar. Sebagai gambaran, potensi panas bumi sebesar 27 MW tersebut setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran 12 miliar barel minyak bumi untuk pengoperasian pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) selama 30 tahun.Sayangnya, potensi gigantik itu belum dimanfaatkan. Saat ini, pemanfaatan potensi panas bumi baru 3 persen. Dari kenyataan tersebut, pemerintah baru berencana menaikkan kontribusi panas bumi sebanyak 5 persen dari kebutuhan listrik nasional. Tapi sayang, rencana itu-sebagaimana tertuang dalam Perpres No 5/2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional- belum terlaksana sepenuhnya sampai sekarang. Pengembangan potensi panas bumi di Indonesia ini didasari oleh tiga hal. Pertama, karena potensinya amat besar dan letaknya di daerah yang amat membutuhkan perluasan listrik.Potensi ini sebagaimana terlihat pada panas bumi di Seulawah Agam (NAD), Tampomas dan Cisolok- Cisukarame (Jawa Barat), Gunung Ungaran (Jawa Tengah), Ngebel Wilis (Jawa Timur), dan Jailolo (Halmahera, Maluku Utara). Kedua, karena melambungnya harga BBM yang mencapai USD100 per barel sehingga mendorong penggunaan bahan bakar alternatif. Ketiga, karena isu pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil. Dalam kaitan terakhir, energi panas bumi dapat berperan dalam mengurangi gas rumah kaca tersebut.Di samping menerbitkan Perpres 5/2006, Pemerintah telah menerbitkan pula Undang-Undang No 27/2003 tentang panas bumi, dan Peraturan Pemerintah No 59/2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Undang-undang dan peraturan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan panas bumi. Sampai di sini, lantas bagaimana pelaksanaannya? Tersendat dan berjalan di tempat. Ada yang menduga, hal itu terjadi karena biaya pembangunan pembangkit listrik panas bumi sangat mahal.Namun, dengan kenaikan harga BBM yang mencapai lebih dari USD100 per barel, biaya pembangunannya jadi murah.Selain karena biaya yang mahal, ada pula yang menduga pembangunan pusat listrik tenaga panas bumi itu kurang diminati "petinggi negeri ini" karena tidak menghasilkan rente ekonomi yang panjang seperti halnya pembangunan listrik tenaga uap yang menggunakan bahan bakar batu bara, gas, dan minyak. Mana yang benar, hanya Tuhan yang tahu!PLTN AmanDi samping pengembangan energi panas bumi untuk pembangkit listrik, Indonesia perlu memikirkan pengembangan energi nuklir untuk pembangkit listrik (PLTN - Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir).Sejak 1970-an, Indonesia sudah mulai mengembangkan penelitian energi nuklir untuk kehidupan manusia, jauh sebelum Korea Selatan melakukannya. Kini, pada 2008, Korsel sudah bisa memenuhi 40 persen kebutuhan listrik nasionalnya dari PLTN, Indonesia malah belum apa-apa. Belakangan, masalah pembangunan PLTN ini makin terganggu karena adanya penolakan dari masyarakat dan elite politik.Indonesia seharusnya perlu banyak belajar dari Prancis. Negerinya Zidane itu 80 persen kebutuhan listrik nasionalnya dipasok PLTN. Saat ini, negeri seluas Pulau Kalimantan itu mempunyai 58 PLTN dan akan bertambah lagi di tahun-tahun mendatang. Ke depan, Prancis bertekad akan mengekspor listrik ke negara-negara lain. Itulah tragisnya psikologi masyarakat Indonesia: sumber energi melimpah, malah diabaikan begitu saja.Padahal, krisis listrik tiap tahun melanda. Karena itu, ke depan pemerintah perlu memilih pimpinan PLN yang kreatif, inovatif, dan berani menghadapi tantangan besar untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi dan tenaga nuklir. Tanpa itu semua, bersiap-siaplah menghadapi problem byar pet dan mati listrik yang menjengkelkan. (*)Ir. Wahyudin MunawirAnggota Komisi VII DPR RI

Soeharto dan Reformasi

Soeharto dan Reformasi
Rabu, 23 Januari 2008 - 09:46 wib
Mantan Presiden Soeharto dulu dipuji, tetapi kini "dibenci". Sosoknya sebagai penguasa otoriter di zamannya disegani dan ditakuti oleh kawan maupun lawan. Soeharto kini berbaring sakit untuk yang kesekian kalinya. Setiap berita mengenainya selalu memunculkan pro dan kontra.Pihak yang pro berargumentasi dengan hukum positif, bahwa orang yang sakit tidak dapat diadili. Pihak yang kontra menanggapi upaya pengadilan dapat dilakukan karena persoalan Soeharto adalah persoalan politik,bukan semata-mata persoalan hukum.Dus,ada persoalan "dosa politik"di masa lalu. Lihat saja pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa silaturahminya ke RS Pertamina bukan untuk melindungi penguasa Orba,karena proses hukum, khususnya masalah perdata, akan terus berjalan.Di lain pihak,Partai Golkar mengusulkan pengampunan Soeharto karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Nasib Soeharto sebagai penguasa yang dulu disegani hampir mirip dengan nasib para pemimpin otoriter sezamannya,macam Ferdinand Marcos dan sejumlah pemimpin lain yang dianggap memiliki "dosa-dosa politik" akibat cara dan tindakan mereka selama berkuasa. Tetapi zaman telah berubah.Kesalahan Soeharto yang terus maju sebagai presiden pada detik-detik akhir rezimnya menyebabkan nasibnya "dikuyo- kuyo". Seandainya Soeharto memilih jalur damai dengan mundur sebelum puncak gerakan reformasi membesar dengan memilih Habibie sebagai penggantinya seperti yang dilakukan Perdana Menteri Mahatir Muhammad,mungkin ceritanya akan lain.Tetapi bukankah itu kesalahan Golkar dan para tokohnya yang terus memajukan Soeharto sebagai calon presiden tanpa pilihan? Golkar dalam hal ini turut berdosa karena telah memberikan rekomendasi yang salah, sehingga bukan saja nasib Soeharto yang dipertaruhkan, tetapi nasib seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah suatu konsekuensi perubahan politik yang lahir dari puncak kerusuhan sosial dan gerakan massa. Implikasinya tentu mudah ditebak, pemimpin yang dijatuhkan tidak lagi memiliki tiket atas perubahan yang terjadi.Namun,bila kita melihat arah perubahan politik di Indonesia, kita masih beradab ketimbang perubahan politik di Filipina maupun di Pakistan. Soeharto jatuh dan "hanya" menerima sanksi moral karena secara hukum dan politik kurang memungkinkan. Tetapi sanksi moral ini justru lebih kejam karena dapat menjadi dosa turun- temurun yang harus ditanggung oleh keluarganya. Nasib Golkar agak lebih baik dibandingkan Soeharto, meski Golkarlah mesin politik utama Orde Baru. Golkar dapat bangkit kembali sebagai sebuah kekuatan politik setelah tuntutan pembubaran massa pasca- 1998 dan menjelang Pemilu 1999 berlalu. Saat Pemilu 1999 berlangsung, Golkar masih menduduki urutan kedua,setelah PDIP. Perubahan politik yang dilahirkan oleh reformasi melahirkan kualitas ganda para aktor politik baru. Di satu sisi mereka mengusung agenda reformasi, di sisi lain kekuatan rezim lama terus membayangi. Salah satu dampak dari transisi yang bermodel kompromi antara kekuatan baru dengan kekuatan lama menyebabkan politik yang serbatidak pasti.Kegamangan para penguasa baru terus terjadi, salah satunya sebagai dampak dari masih bercokolnya aktor-aktor politik lama dalam bingkai politik baru yang disebut reformasi.Kekuatan lama- baik jaringan politik Soeharto maupun Golkar-bagaimanapun, telah meracuni upaya penyelesaian masalah politik.Salah satunya mengenai diri Soeharto. Ada gejala politik di balik hukum dan hukum di balik politik. Alasanalasan hukum positif menyebabkan persoalan ini terus berlarut-larut. Pemimpin baru-yang rendah basis dukungan politiknya takut kekuasaannya terancam,dan nasibnya lebih buruk-akhirnya mencari celahcelah kebijakan yang bersifat pembiaran. Biarlah hal itu menjadi masalah hukum dan diserahkan sepenuhnya kepada para penegak hukum. Pada saat yang sama, sudah menjadi rahasia umum lembaga hukum sudah terkontaminasi bukan saja oleh kepentingan, tetapi juga uang. Cara-cara semacam ini menyebabkan tiga dampak yang serius.Pertama, konsolidasi demokrasi sebagai salah satu mode politik untuk menyelesaikan krisis politik tersendat-sendat karena telah terkontaminasi rezim-rezim sebelumnya.Kedua,gagasan reformasi terdekonstruksi kenyataan sosialekonomi bahwa rezim lama ternyata lebih membawa kesejahteraan ketimbang mode politik transisi/demokrasi yang sedang dijalankan. Hal ini tampak dari hampir 10 tahun reformasi/demokrasi yang telah berjalan.Kran perubahan politik, praktik demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.Tak pelak, penyakit transisi kambuh,anganangan kembali ke masa lalu, dulu lebih baik dan lebih enak.Pekerjaan mudah didapat, tidak perlu antre sembako,minyak tanah mudah diperoleh, harga BBM tidak selangit,dan sebagainya. Problem ketiga adalah problem ketakutan para pemimpin baru yang dilahirkan oleh reformasi dalam mengambil risiko politik.Akibatnya, para politisi baru di masa reformasi berpikir dengan cara abu-abu (grey area), bukan berpikir secara hitam putih. Ada gejala mengalihkan tanggung jawab di balik proses-proses hukum kasus Soeharto.Cara berpikir ini tentu tidak pernah akan memberikan kepastian politik dan kepastian hukum. Lebih celaka lagi, ada gejala sebagian elite yang menggiring publik agar melupakan dosa-dosa politik di masa lalu.Wacana mengampuni Soeharto yang digagas Partai Golkar dapat dianggap sebagai mobilisasi wacana terhadap publik. Cara-cara berpikir demikian adalah khas Indonesia, safety, ingin mencari selamat dan takut mengambil risiko yang lebih besar. Kegamangan demi kegamangan terus terjadi. Apakah ini suatu karma politik sehingga kita digiring untuk melupakan peristiwa dahsyat yang terjadi tanpa sanksi hukum dan politik yang jelas yang terkesan "diambangkan"? Bukankah ini akan menjadi bibit politik yang tidak baik, bila para pemimpin reformasi gagal menyelesaikan persoalan "dosa politik Soeharto" ini? Jangan-jangan mode yang sama akan terus terjadi sepanjang waktu sebagai karma politik yang terus berulang-ulang.(*) MOCH. NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (sindo//sjn)

Selamat Jalan HM Soherato

Selamat Jalan HM Soeharto
Senin, 28 Januari 2008 - 07:04 wib
Setelah menderita sakit yang berkepanjangan sejak menyatakan berhenti sebagai Presiden, tadi siang mantan presiden Soeharto mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kita semua kepunyaan Allah dan kepada-Nya jua kita akan kembali).Dengan wafatnya beliau, kita telah kehilangan lagi seorang mantan presiden yang pernah memimpin bangsa dan negara kita dalam kurun waktu yang cukup lama. Presiden Soekarno memegang jabatan presiden selama sekitar 22 tahun. Itu pun silih berganti sebagai Kepala Eksekutif dan Kepala Negara ketika kita menganut sistem parlementer.Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara hanya memegang jabatan kurang dari setahun. Presiden Soeharto memegang jabatan selama 32 tahun,sampaiakhirnya menyatakan berhenti dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Selama memegang kekuasaan, Soeharto telah berbuat banyak dalam membangun bangsa dan negara kita sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa kita menjadi bangsa dan negara yang disegani di kawasan Asia. Di bawah kepemimpinannya pula, pembangunan sosial dan ekonomi kita mulai dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.Banyak kemajuan yang dicapai, baik pembangunan fisik maupun pembangunan nonfisik,seperti peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia bangsa kita. Bangsa kita yang hidup sangat miskin dan terbelakang di masa Orde Lama berhasil memperbaiki keadaan internalnya di masa Orde Baru sehingga kita bergerak maju mendekati taraf negara menengah. Andaikata tidak terjadi krisis moneter pada 1997, pembangunan sosial ekonomi kita mungkin akan bergerak ke arah yang jauh lebih maju.Namun, badai krisis yang begitu dahsyat tidak saja merontokkan sendi-sendi ekonomi, tetapi juga meruntuhkan kekuatan Orde Baru sendiri. Karena Soeharto adalah tokoh sentral dalam Orde Baru, kejatuhannya otomatis meruntuhkan seluruh tatanan yang telah berhasil dibangunnya. Semua ini memang menjadi pelajaran berharga bagi bangsa kita.Tidak ada yang abadi di dunia ini. Jika ada awal,akan ada akhir.Demikianlah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Orde itu berakhir dan kita berada dalam masa transisi untuk memantapkan pola kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang baru di era reformasi. Biaya krisis kita sangat besar. Bukan saja biaya finansialnya, tetapi juga biaya sosial dan politiknya. Kita berupaya untuk bangkit kembali. Sistem kita perbaiki.Konstitusi kita amandemen.Kita melihat kekeliruan masa lalu dan berupaya melangkah ke depan dengan lebih baik. Kita merumuskan kebijakan-kebijakan baru di segala bidang. Hasilnya, belum sepenuhnya memuaskan. Ketika Orde Baru runtuh seiring berhentinya Soeharto sebagai presiden, sebagian masyarakat kita cenderung melihat masa lalu itu dengan pandangan yang kelam. Berbagai hujatan dilontarkan hanya untuk menyebut kesalahan,kekeliruan,dan daftar dosa. Orang tak lagi berpikir jernih untuk melihat sisi-sisi kebaikan dan sumbangan yang telah diberikannya kepada bangsa dan negara. Gejala seperti ini juga terjadi saat jatuhnya Soekarno dari kepemimpinannya. Beliau begitu dipuja-puja, diberi berbagai gelar dan sebutan, bahkan dikukuhkan sebagai presiden seumur hidup.Namun, ketika beliau jatuh, segala kebaikan dan sumbangannya yang begitu besar kepada bangsa dan negara seolah dilupakan. Hal yang hampir sama terjadi pula pada mantan presiden Soeharto. Beliau terus-menerus dipilih menjadi presiden setiap lima tahun,diberi berbagai julukan,tetapi pada saat beliau jatuh, seolah kebaikan dan sumbangannya kepada bangsa dan negara tidak ada artinya sama sekali. Bangsa kita memang harus belajar banyak untuk memperlakukan mantan pemimpinnya.Tidak ada manusia yang sempurna. Sebesar apapun seorang pemimpin,tetap saja ada kekurangan dan kekeliruan. Begitu lama Soekarno dan Soeharto memegang kekuasaan, semuanya berawal dari ketidakjelasan konstitusi kita. Presidennya juga memanfaatkan celah dan kelemahan itu untuk mempertahankan kekuasaan.Kekuasaan itu menggoda dan mudah membuat pemimpin menjadi lupa.Sekarang kelemahan sistem itu telah kita perbaiki. Kita harus berani mengakui bahwa semua ini adalah kekurangan kita sebagai bangsa yang harus kita akui. Kita harus memperbaiki kesalahan itu dan berani melangkah ke depan tanpa harus terpenjara oleh masa lalu. Sikap terpenjara ini akan membuat bangsa kita terus-menerus bertikai, saling menghujat, saling menyalahkan, dan akhirnya tidak siap untuk melangkah ke depan. Kini HM Soeharto telah pergi untuk selama-lamanya. Secara hukum, dengan wafatnya seseorang, segala tuntutan pidana menjadi gugur demi hukum. Dengan demikian, dilihat dari sisi hukum, seseorang haruslah dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berlaku tetap.Upaya peradilan pidana kepada HM Soeharto telah dimulai untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No XI/1998. Proses itu terhenti dengan sakitnya beliau. Kini beliau telah wafat.Persoalan hukum tata negara yang menyangkut beliau sudah lama selesai.Setiap lima tahun, pertanggungjawabannya diterima MPR. Beliau menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998 juga sah dilihat dari sudut hukum tata negara positif yang berlaku ketika itu. Apa yang tersisa kini ialah gugatan perdata oleh Negara Republik Indonesia terhadap HM Soeharto.Gugatan itu tidak hanya ditujukan kepada HM Soeharto sebagai ketua dari beberapa yayasan,tetapi juga ditujukan kepada pribadi beliau,dalam bentuk gugatan ganti rugi. Saya berpendapat, sebaiknya Presiden SBY mencari penyelesaian masalah ini di luar pengadilan. Tentu bukan dengan win-win solution seperti ditawarkan Jaksa Agung Hendarman, tetapi suatu upaya damai dengan pendekatan dari hati ke hati, baik dengan pengurus yayasan yang lain maupun dengan para ahli waris HM Soeharto.Untuk itu,semua pihak harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Jika semua berbicara dari hati ke hati dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, saya yakin pintu penyelesaian akan senantiasa terbuka. Saya ingin mengakhiri tulisan ini, dengan mengembalikan segala sesuatunya kepada perspektif keagamaan. Dari sudut pandang agama Islam, apabila seseorang telah wafat, yang wajib dikenang untuk selamanya ialah amal kebajikan yang dilakukan orang itu. Segala kesalahannya wajib untuk dilupakan. Bangsa kita adalah bangsa yang religius. Sudah saatnya sikap religius itu kita ke depankan, pada saat HM Soeharto telah dipanggil Allah SWT untuk menghadapnya.Segala kebaikan dan sumbangsih beliau kepada bangsa dan negara wajib kita kenang untuk selamanya.Kita wajib untuk belajar dan memetik hikmah atas semua kesalahan dan kekeliruannya agar kesalahan itu tidak terulang. Perjalanan bangsa dan negara kita masih panjang. Kita harus senantiasa menatap dan melangkah ke depan dengan segenap daya dan kemampuan. Selamat jalan Pak Harto! Semoga Allah SWT menerima segala amal kebajikan yang telah dilakukan dan mengampuni segala dosa dan kesalahan.(*) Yusril Ihza Mahendra Mantan Mensesneg (Sindo Pagi//sjn)

Soeharto, Ronodipuro & Amnesia

Soeharto,Ronodipuro & Amnesia
Sepuluh jam setelah Soeharto dinyatakan meninggal dunia,pembaca naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Jusuf Ronodipuro meninggal dunia.Keduanya sama-sama angkatan 1945.Kalau Soeharto pernah bekerja di lingkungan ketentaraan Belanda,Jusuf merintis karier pada lembaga propaganda Jepang.Soeharto masih utuh secara fisik,sementara Ronodipuro harus mengenakan tongkat setelah kakinya patah dipopor Kempetai. Secara pribadi, saya tidak pernah bertemu Soeharto, selain foto-fotonya atau gambar di layar televisi atau suaranya di radio. Dengan Ronodipuro, saya bertemu beberapa kali, tetapi hanya sempat berbicara agak panjang di rumahnya.Kala itu kami,Yayasan SET, sedang mempersiapkan film dokumentasi tentang Konferensi Asia Afrika. Ronodipuro adalah republiken sejati. Di ruang tamunya, terdapat foto Soeharto yang sedang menandatangani letterofintent(LoI) sambildisaksikan oleh Michael Camdessus,Managing Director International Monetary Fund (IMF).Di mata Ronodipuro, LoI itulah bentuk penyerahan Republik Indonesia kepada kolonialisme utang dan modal. Dalam perspektif Ronodipuro, penyerahan total seperti itu akan menciptakan ketergantungan.Dia merasa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh generasi penguasa setelah itu, terutama pada era Soeharto. Soeharto dimakamkan di Astana Giribangun. Dia sudah menyiapkan makamnya sendiri,sementara Ronodipuro diistirahatkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Usia keduanya hanya berbeda setahun, Soeharto memasuki 87 tahun, sementara Ronodipuro 88 tahun, saat ketuanya pergi selama-lamanya. Sampai setua itu Ronodipuro tetap seorang perokok aktif.Badannya kekar,tepatnya liat.Itu tanda dia rajin olah fisik. Ronodipuro masih aktif dalam kegiatan intelektual.Dia hadir dalam diskusi- diskusi penting yang menurutnya mampu memikirkan apa yang dipikirkan oleh generasi kini.Dia tak hendak banyak bicara,kecuali kalau ditanya. Seorang yang disipliner, tetapi tetap gelisah atas kegagalan bangsa ini memelihara ingatan. Ya, ingatan, sesuatu yang banyak dihancurkan oleh bangsa ini.Lewat s i m b o l - s i m - bolnya yang paling otentik. Buku- buku, gedunggedung kuno, arca batu, daun-daun lontar, sampai sekolah-sekolah yang kehilangan perpustakaan. Ingatan yang bernilai mahal,digantikan oleh kepercayaan kepada sesuatu yang bernama kuasa, kekuasaan, jabatan, atau apa pun yang menihilkan ingatan. Padahal, dengan ingatan, ilmu pengetahuan diwariskan. Kebudayaan dijelajahi.Pikiran dan perasaan menemukan ujud yang lebih nyata. Kebenaran dan pembenaran menemukan ruang perdebatan.Tidak akan ada doktrinasi, apatah lagi hegemoni.Ruang dan waktu menjadi bermakna.Hidup lalu menemukan dimensi kemanusiaan, mengingat hewan dan tumbuhan hanya mengandalkan apa yang ada dalam diri,tanpa inovasi.Memang ada evolusi, tetapi membutuhkan waktu berabad-abad. *** Soeharto dan Ronodipuro, bagaimana menempatkan keduanya dalam ingatan bangsa ini? Ataukah kita akan segera melupakan apa-apa yang buruk, lantas mengingat segala sesuatu yang baik-baik saja? Janganjangan yang ada hanya bibir sinis dan ucapan nyinyir demi kebanggaan dan kepentingan diri sendiri,tanpa harus memikirkan apa pun dan siapa pun? Artinya, silakan cerna Soeharto, pikiran, ucapan dan tindakannya, lantas tafsirkan sendiri-sendiri.Juga, silakan lacak suara-suara bergema Ronodipuro, taruh dalam sebuah cakram, lantas dengarkan sambil berteriak-teriak membusungkan dada sendiri. Ada dua lapis manusia Indonesia yang kini merasakan betapa Soeharto adalah pahlawan. Pertama, generasi yang berusia 20-an tahun. Mereka berusia 10 tahun ketika Soeharto diminta mundur oleh gelombang aksi mahasiswa dan rakyat. Lalu, selama 10 tahun ini mereka menemukan keadaan hidup yang pahit, kebebasan yang luar biasa, juga disajikan tentang cara cepat menjadi terkenal dan kaya raya. Kedua,generasi yang lama mendapatkan trickle down effect, yakni lapisan masyarakat miskin yang tergantung kepada swasembada pangan dan model-model pembagian kue pembangunan ala Soeharto.Kue yang begitu besar itu dimakan terlebih dulu oleh kelompok konglomerat binaan Soeharto, atau apa yang disebut sebagai kroninya dalam kerangka Tap MPR No XI Tahun 1999. sisanya, dibagikan ke kalangan petani, nelayan, pekerja, atau pembantu rumah tangga.Juga dibagikan lagi kepada pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara. Kenyamanan ala Soeharto telah menciptakan kecintaan yang dalam bagi generasi lama.Kebobrokan ala pemerintahan hari ini telah memunculkan kebencian generasi baru atas siapa punyangmenjaditokohdanpemimpin masa kini.Sebagai masyarakat pascakolonial dan pascadiktatorial, selalu saja masa lalu dianggap lebih baik dari masa kini.Beragam mitos berusaha diciptakan untuk menunjukkan bahwa zaman ini adalah zaman edan, sementara zaman dulu adalah zaman kejayaan yang berlimpah kekayaan. Lalu, adakah yang mengingat Ronodipuro? Perjuangan yang diam-diam? Individu yang tenggelam dengan kerja-kerja profesional dan kecintaan yang dalam atas nasib stasiun radio? Manusia yang melihat betapa hidup terlalu cepat melompat pada sesuatu yang sulit tergapai oleh manusia Indonesia sendiri, yakni pembangunan yang menjangkau langit, modernisme yang angkuh, serta teknologi yang didapat dengan pinjaman utang luar negeri yang bertumpuk? Mana yang mau kita pilih, pendekatan ala Soeharto yang lebih melihat ?'badan''-kalau kita ingat bait Indonesia Raya-atau pendekatan Ronodipuro yang lebih melihat ?'jiwa"? Tentu yang terbaik adalah menggabungkan keduanya, tetapi yang terjadi kedua tokoh ini meninggal dalam hari yang sama dengan perlakuan berbeda atas jasa yang masing-masingnya begitu dahsyat. Kita harus memilih tidak akan melupakan apa pun. Kita memilih ingatan,bukan amnesia atas ingatan. Karena tanpa itu, kita bukan manusia.(*) INDRA JAYA PILIANG Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

WAWASAN POLITIK PAK HARTO

Wawasan Politik Pak Harto
Kamis, 31 Januari 2008 - 10:59 wib
Tulisan ini dimaksudkan semata-mata untuk mengenang Pak Harto sebagai pribadi, terutama dalam hubungan kerja saya sebagai Sekjen DPP Golkar 1983-1988, pada waktu Pak Harto menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar. Saya tidak berselera ikut polemik masalah hukum menyangkut diri beliau. Saya yakin betul dengan berjalannya waktu beliau akan dikenang sebagai seorang tokoh besar yang memiliki banyak jasa.Hukum perlu ditegakkan untuk memberi efek jera terhadap para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, siapa pun orangnya. Pak Harto adalah seorang yang berani. Andaikata beliau masih hidup dan sehat jasmani, beliau akan menaati apa pun keputusan hukum. Itulah yang beliau katakan kepada Jaksa Agung Andi Ghalib ketika masa kepresidenan BJ Habibie.Saya juga ingat betul ketika zaman era Demokrasi Terpimpin berakhir. Caci maki terhadap Bung Karno bergelora ketika masa kepemimpinannya berakhir. Pada saat yang sama keadaan Bung Karno lemah dan tidak berdaya karena sakit. Sekarang Bung Karno telah kembali dihormati sebagaimana layaknya seorang pendiri bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangan. Bangsa kita masih harus belajar bahwa menghargai seorang pemimpin tidak perlu dipertentangkan dengan penegakan hukum.Pertama kali saya bertemu Pak Harto saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1983 berakhir. Munas ini menempatkan Pak Sudharmono sebagai ketua umum dan saya sebagai sekretaris jenderal (sekjen). Menjelang penetapan personalia DPP Golkar, saya adalah calon sekjen yang tidak diunggulkan dan hanya didukung oleh almarhum Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI pada waktu itu, dan beberapa teman seperti Jusuf Wanandi. Saya sendiri tidak merasa diunggulkan dan ketika pengumuman susunan DPP Golkar dibacakan, saya hanya memakai pakaian kerja lusuh yang saya gunakan seharian karena tidak menyangka saya akan menjadi sekjen. Tetapi saya kaget bukan alang-kepalang ketika Pak Benny mengatakan kepada saya bahwa dia melakukan "silent operation" untuk menjadikan saya sebagai sekjen perintah Pak Harto.Ketika bertemu pertama kali dalam rapat gabungan Dewan Pembina dan DPP Golkar di Jalan Cendana, Pak Harto tidak menyinggung "sponsorship" beliau terhadap saya. Kami membicarakan perlunya Golkar mempunyai majalah yang diberi nama oleh beliau Media Karya, yang kemudian saya secara "ex officio" menjadi pemimpin redaksi. Selanjutnya perkembangan Media Karya beliau ikuti betul dengan berbagai komentar, kritik, dan usulan-usulan. Keberadaan saya yang seorang sipil (bukan dari militer seperti masa sebelumnya) sebagai sekjen adalah momen penting karena dalam berbagai kesempatan lain beliau mengatakan bahwa Golkar harus dipersiapkan sebagai organisasi politik sipil yang tidak tergantung dari militer maupun birokrasi, dan harus siap bersaing dalam eramultipartai. Program kerja DPP Golkar waktu itu yang disebut Tri Sukses adalah persiapan untuk era demokrasi hari ini dan di masa yang akan datang.Yang menarik, dari mana beliau tahu tentang diri saya, Akbar Tandjung, Siswono Yudohusodo, Rahmat Witoelar, Jakob Tobing, Djoko Sudyatmiko, dan politisi sipil lain yang kemudian memegang peran di dalam politik, walaupun kami semua waktu itu tidak mengenal beliau secara pribadi. Ternyata, beliau mengikuti kiprah kami dari surat-surat kabar dari tokoh-tokoh Golkar dan dari laporan intelijen. Peran kami kaum muda waktu itu amat kontroversial karena sering tidak sejalan dengan para senior yang banyak diantaranya berlatar belakang militer. Tetapi berbagai sumber mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa pendirian Pak Harto tentang peran kaum muda tegas:sangat mendukung."Wajar kalau mereka berbeda dengan kita-kita para senior,"demikian kata Pak harto sebagaimana dikutip Pak Sugiharto, Ketua Fraksi Golkar di parlemen waktu itu."Mereka memikirkan masa depan bangsa pada waktu, saat kita-kita yang lebih tua tidak akan ada lagi di situ."Banyak cerita yang patut diterangkan tentang beliau, dan saya memang sedang menyiapkan semacam memoar, di mana hal-hal yang menyangkut beliau akan saya tulis, siapa tahu ada gunanya bagi bekal pengetahuan bagi generasi muda. Bung Karno dan Pak Harto adalah tokoh besar, tentu jasa mereka besar. Tetapi karena memimpin bangsa dalam masa-masa sulit, tentu mereka kekeliruan besar. Bagaimanapun, harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Tidak mungkin kita tumbuh kuat dengan hanya menghadapi masalah-masalah kecil dan dipimpin oleh orang-orang biasa yang hanya mau mengambil risiko kecil. Ada saatnya kelak Indonesia akan tumbuh makmur dan berkeadilan dengan sistem politik yang mantap. Pada saat itulah Indonesia akan siap menerima orang biasa sebagai pemimpin. Tugas kita adalah untuk mempercepat masa transisi politik ke arah pematangan demokrasi dan tidak pernah melupakan para pendahulu kita.Sekarang, kita juga harus membiasakan diri dengan berbagai wacana pro dan kontra terhadap Pak Harto. Kesempatan untuk berbeda pendapat memang tersedia luas dan mengecam seorang mantan pemimpin sekarang tidak memerlukan keberanian. Secara ironis, Pak Harto telah merintis jalan era reformasi, baik secara terencana seperti tadi saya uraikan, juga secara tidak diniatkan karena beliau dibiarkan berkuasa terlalu lama. Alhasil, momentum demokrasi dekian besar pun terbangun dan memberikan kita kesempatan menjalani masa transisi yang kompleks, tapi sekaligus merupakan bagian penting dari masa depan bangsa yang cerah di kemudian hari (*) Sarwono KusumaatmadjaSekjen DPP Golkar 1983-1988Anggota DPD RI