Sabtu, 04 Juli 2009

Soeharto, Ronodipuro & Amnesia

Soeharto,Ronodipuro & Amnesia
Sepuluh jam setelah Soeharto dinyatakan meninggal dunia,pembaca naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Jusuf Ronodipuro meninggal dunia.Keduanya sama-sama angkatan 1945.Kalau Soeharto pernah bekerja di lingkungan ketentaraan Belanda,Jusuf merintis karier pada lembaga propaganda Jepang.Soeharto masih utuh secara fisik,sementara Ronodipuro harus mengenakan tongkat setelah kakinya patah dipopor Kempetai. Secara pribadi, saya tidak pernah bertemu Soeharto, selain foto-fotonya atau gambar di layar televisi atau suaranya di radio. Dengan Ronodipuro, saya bertemu beberapa kali, tetapi hanya sempat berbicara agak panjang di rumahnya.Kala itu kami,Yayasan SET, sedang mempersiapkan film dokumentasi tentang Konferensi Asia Afrika. Ronodipuro adalah republiken sejati. Di ruang tamunya, terdapat foto Soeharto yang sedang menandatangani letterofintent(LoI) sambildisaksikan oleh Michael Camdessus,Managing Director International Monetary Fund (IMF).Di mata Ronodipuro, LoI itulah bentuk penyerahan Republik Indonesia kepada kolonialisme utang dan modal. Dalam perspektif Ronodipuro, penyerahan total seperti itu akan menciptakan ketergantungan.Dia merasa perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh generasi penguasa setelah itu, terutama pada era Soeharto. Soeharto dimakamkan di Astana Giribangun. Dia sudah menyiapkan makamnya sendiri,sementara Ronodipuro diistirahatkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Usia keduanya hanya berbeda setahun, Soeharto memasuki 87 tahun, sementara Ronodipuro 88 tahun, saat ketuanya pergi selama-lamanya. Sampai setua itu Ronodipuro tetap seorang perokok aktif.Badannya kekar,tepatnya liat.Itu tanda dia rajin olah fisik. Ronodipuro masih aktif dalam kegiatan intelektual.Dia hadir dalam diskusi- diskusi penting yang menurutnya mampu memikirkan apa yang dipikirkan oleh generasi kini.Dia tak hendak banyak bicara,kecuali kalau ditanya. Seorang yang disipliner, tetapi tetap gelisah atas kegagalan bangsa ini memelihara ingatan. Ya, ingatan, sesuatu yang banyak dihancurkan oleh bangsa ini.Lewat s i m b o l - s i m - bolnya yang paling otentik. Buku- buku, gedunggedung kuno, arca batu, daun-daun lontar, sampai sekolah-sekolah yang kehilangan perpustakaan. Ingatan yang bernilai mahal,digantikan oleh kepercayaan kepada sesuatu yang bernama kuasa, kekuasaan, jabatan, atau apa pun yang menihilkan ingatan. Padahal, dengan ingatan, ilmu pengetahuan diwariskan. Kebudayaan dijelajahi.Pikiran dan perasaan menemukan ujud yang lebih nyata. Kebenaran dan pembenaran menemukan ruang perdebatan.Tidak akan ada doktrinasi, apatah lagi hegemoni.Ruang dan waktu menjadi bermakna.Hidup lalu menemukan dimensi kemanusiaan, mengingat hewan dan tumbuhan hanya mengandalkan apa yang ada dalam diri,tanpa inovasi.Memang ada evolusi, tetapi membutuhkan waktu berabad-abad. *** Soeharto dan Ronodipuro, bagaimana menempatkan keduanya dalam ingatan bangsa ini? Ataukah kita akan segera melupakan apa-apa yang buruk, lantas mengingat segala sesuatu yang baik-baik saja? Janganjangan yang ada hanya bibir sinis dan ucapan nyinyir demi kebanggaan dan kepentingan diri sendiri,tanpa harus memikirkan apa pun dan siapa pun? Artinya, silakan cerna Soeharto, pikiran, ucapan dan tindakannya, lantas tafsirkan sendiri-sendiri.Juga, silakan lacak suara-suara bergema Ronodipuro, taruh dalam sebuah cakram, lantas dengarkan sambil berteriak-teriak membusungkan dada sendiri. Ada dua lapis manusia Indonesia yang kini merasakan betapa Soeharto adalah pahlawan. Pertama, generasi yang berusia 20-an tahun. Mereka berusia 10 tahun ketika Soeharto diminta mundur oleh gelombang aksi mahasiswa dan rakyat. Lalu, selama 10 tahun ini mereka menemukan keadaan hidup yang pahit, kebebasan yang luar biasa, juga disajikan tentang cara cepat menjadi terkenal dan kaya raya. Kedua,generasi yang lama mendapatkan trickle down effect, yakni lapisan masyarakat miskin yang tergantung kepada swasembada pangan dan model-model pembagian kue pembangunan ala Soeharto.Kue yang begitu besar itu dimakan terlebih dulu oleh kelompok konglomerat binaan Soeharto, atau apa yang disebut sebagai kroninya dalam kerangka Tap MPR No XI Tahun 1999. sisanya, dibagikan ke kalangan petani, nelayan, pekerja, atau pembantu rumah tangga.Juga dibagikan lagi kepada pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara. Kenyamanan ala Soeharto telah menciptakan kecintaan yang dalam bagi generasi lama.Kebobrokan ala pemerintahan hari ini telah memunculkan kebencian generasi baru atas siapa punyangmenjaditokohdanpemimpin masa kini.Sebagai masyarakat pascakolonial dan pascadiktatorial, selalu saja masa lalu dianggap lebih baik dari masa kini.Beragam mitos berusaha diciptakan untuk menunjukkan bahwa zaman ini adalah zaman edan, sementara zaman dulu adalah zaman kejayaan yang berlimpah kekayaan. Lalu, adakah yang mengingat Ronodipuro? Perjuangan yang diam-diam? Individu yang tenggelam dengan kerja-kerja profesional dan kecintaan yang dalam atas nasib stasiun radio? Manusia yang melihat betapa hidup terlalu cepat melompat pada sesuatu yang sulit tergapai oleh manusia Indonesia sendiri, yakni pembangunan yang menjangkau langit, modernisme yang angkuh, serta teknologi yang didapat dengan pinjaman utang luar negeri yang bertumpuk? Mana yang mau kita pilih, pendekatan ala Soeharto yang lebih melihat ?'badan''-kalau kita ingat bait Indonesia Raya-atau pendekatan Ronodipuro yang lebih melihat ?'jiwa"? Tentu yang terbaik adalah menggabungkan keduanya, tetapi yang terjadi kedua tokoh ini meninggal dalam hari yang sama dengan perlakuan berbeda atas jasa yang masing-masingnya begitu dahsyat. Kita harus memilih tidak akan melupakan apa pun. Kita memilih ingatan,bukan amnesia atas ingatan. Karena tanpa itu, kita bukan manusia.(*) INDRA JAYA PILIANG Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Tidak ada komentar: