Kamis, 28 Mei 2009

Gubernur Jangan Dipilih Rakyat

Banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu segera diperbaiki. Salah satunya mengepras tingkatan birokrasi administrasi yang dianggap terlalu panjang. Selain itu, keberanian kepala daerah berinovasi juga menjadi salah satu kuncinya. Topik tersebut dibahas dalam seminar nasional bertajuk Menata Kembali Desentralisasi: Apa Agenda Berikutnya” di The Empire Palace Surabaya kemarin. Seminar itu menghadirkan pembicara Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi, dan Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Askolani. Dari dialog kemarin disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi perlu ditata kembali. Salah satunya menentukan arah baru hubungan pusat dengan daerah untuk meningkatkan kinerja pemda. Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi lebih banyak menyoroti masalah tidak efektifnya keberadaan gubernur. Menurut dia, jika ada daerah yang berhasil, bukan karena provinsi yang berperan besar. Sebab, ada kewenangan bupati dan wali kota yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dia menegaskan, peran provinsi terlalu kecil. Semua perizinan ada di kabupaten/kota kecuali yang lintas wilayah. Karena itulah, peran provinsi selama ini hanya mengoordinasikan. Padahal, menemukan sosok gubernur mengeluarkan biaya yang tidak kecil.
Dia mencontohkan pemilihan gubernur Jatim yang memakan anggaran Rp 800 miliar untuk posisi yang kewenangannya kecil. “Saya menyarankan gubernur dihapus saja. Sumbar bisa diberlakukan yang pertama,” tuturnya yang disambut tepuk tangan peserta. Namun Gamawan kemudian memperlunak usulnya dengan mengatakan, bahwa lebih baik gubernur ditunjuk presiden. Karena, undang-undang menyebut gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Selanjutnya, gubernur menjadi perwakilan pusat di daerah untuk meminimalkan tumpang tindih kewenangan provinsi dan daerah. Salah satu contohnya, sekolah internasional menjadi kewenangan provinsi. Tapi, guru di bawah kendali kabupaten/kota. Selain itu juga mempermudah verifikasi RAPBD yang selama ini dilakukan pusat, padahal jumlahnya sangat banyak. “Sebenarnya itu cukup dilakukan di provinsi,sebagai wakil pusat,” katanya. Agenda selanjutnya adalah meluruskan kembali penyempurnaan undang-undang pemda. Selain itu, perlu batasan yang tegas antara kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad mengatakan, ukuran kinerja pemda harus terlihat. Dia mencontohkan ada gubernur yang mengklaim telah berhasil membangun daerahnya. Untuk membuktikan hal itu, indikatornya tentu saja bukan pembangunan gedung dan sebagainya. Menurut dia, seharusnya tolok ukurnya adalah human development index (HDI). “Kalau tidak ada itu, tidak ada gunanya,” katanya.
Fadel mengatakan, untuk mengukur otoda harus ada variabel. Salah satunya kapasitas manajemen. Menurut dia, 45,5 persen keberhasilan ditentukan oleh kemampuan manajemen pemda. Selain itu, pengaturan budaya organisasi di lingkungan pemerintahan menjadi salah satu variabel yang porsinya mencapai 20 persen. “Bayangkan jika tidak ada budaya birokrasi. Seperti bekerja dengan taat,” tuturnya.
Pria yang telah berkali-kali mendapat penghargaan itu bahkan menegaskan bahwa dari variabel tersebut, yang terpenting adalah kapasitas manajemen. Sebab, hal itu menyangkut pengelolaan keuangan, sumber daya aparatur, dan penggunaan teknologi informasi.
Hanya, ada kekurangan yang harus diperhatikan dan dibenahi. Salah satunya pengelolaan keuangan daerah sering tidak maksimal, baik itu disebabkan penyerapan yang minim ataupun sasaran yang tidak tepat. Meski demikian, pemerintah pusat tetap mengucurkan dana dengan nilai serupa, bahkan lebih tinggi pada tahun berikutnya.
Menurut Fadel, seharusnya uang itu diberikan dengan jumlah lebih besar kepada daerah yang benar-benar bisa mengelolanya. “Seperti yang dilakukan pada manajemen perusahaan. Kalau laporannya kurang lengkap, dananya dikurangi,” ucapnya.
Dia menambahkan, dalam era otoda kepala daerah harus berani berinovasi dalam mengembangkan daerahnya. Salah satu yang dia lakukan di Gorontalo adalah tidak membeli mobil dinas untuk eselon III. Mobil dinas disewa dari pihak ketiga. Ternyata, cara tersebut bisa menghemat hingga 60 persen. Sebab, instansi daerah tidak mengurus perawatan mobil.
Uang penghematan itu dikumpulkan dan dijadikan sebagai bonus bagi pegawai yang berprestasi. “Istilahnya TKD, tunjangan kinerja daerah,” ucapnya. Dia mengakui bahwa kebijakan itu sempat ditegur Men PAN (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara). Tapi, ada aturan yang menyatakan bahwa kepala daerah berhak mengeluarkan kebijakan yang menyejahterakan rakyatnya dan akhirnya dibolehkan.
Menurut Fadel, desentralisasi perlu membuat arah baru. Salah satunya mengelola pemda seperti halnya korporasi. Bedanya, kalau korporasi mengeluarkan produk yang dijual dan mendapat deviden untuk kepentingan pribadi. Sedangkan birokrasi adalah public service, yang menjual social goods. “Devidennya dalam bentuk kepercayaan,” ujarnya.
Di bidang penggunaan anggaran, daerah juga masih menghadapi kendala. Salah satunya pola belanja anggaran pusat yang dilimpahkan ke daerah lebih dominan ke konsumsi, bukan investasi. “Seperti untuk belanja pegawai dan barang,” kata Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Askolani. Bahkan, lanjut dia, banyak daerah yang dananya belum dibelanjakan. Padahal, pusat telah memolakan pembagian dananya dalam hitungan defisit. Tapi, dana yang ada tidak dioptimalkan untuk pembangunan. Buktinya, setiap tahun selalu ada surplus.
Askolani menilai, kelemahan dan kekurangan dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain, adanya benturan peraturan pusat dan daerah, perbedaan pandangan mengenai kewenangan, dan multitafsir dalam mengimplementasikan kebijakan. “Salah satu jalan keluarnya adalah komunikasi untuk memperbaiki kebijakan yang ada sekarang,” jelasnya. (jpnn)

Tidak ada komentar: