Kamis, 28 Mei 2009

Purnawirawan Di Panggung Pilpres

Kamis, 28 Mei 2009 00:00 WIB
PERPOLITIKAN Indonesia di zaman merdeka, diakui atau tidak, adalah perpolitikan dengan keterlibatan tentara. Perbedaannya hanyalah terletak pada kadar keterlibatan dan pelibatannya. Pergumulannya adalah pada kemampuan dan kemauan menegakkan supremasi sipil. Setelah 30 tahun supremasi sipil dilumpuhkan dwifungsi ABRI di era Pak Harto, kini kita kembali bertekad menegakkan kembali supremasi sipil itu. Wujudnya adalah mengembalikan tentara ke barak, istilah yang terlalu keras untuk mengatakan tentara sebaiknya mundur dari panggung politik praktis.
Itu sudah dan masih terjadi sampai hari ini. Kendati demikian, trauma militerisme sepanjang era Orde Baru menempatkan tentara pada posisi yang dilematis.
Publik, termasuk kalangan elite sipil, masih beranggapan tentara, termasuk mereka yang pensiun, apalagi para pensiunan jenderal, masihlah tentara yang memiliki kekuatan seperti ketika aktif. Mereka dianggap menyimpan kekuatan yang mampu memengaruhi anggota TNI aktif.
Publik belum menerima kenyataan bahwa setelah tidak menjadi tentara lagi, entah karena dipecat atau karena pensiun, mereka adalah warga sipil. Mereka berada di barisan yang berhak atas supremasi sipil.
Karena itu, ketika para purnawirawan kemudian terjun dan terlibat dalam kompetisi pemilihan presiden menjadi anggota tim sukses, tidak ada yang salah sedikit pun. Mereka berhak menjalankannya. Para kandidat presiden pun tidak salah bila melibatkan mereka di panggung ataupun di belakang panggung.
Seorang Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini adalah seorang sipil karena telah pensiun dari tentara dengan pangkat jenderal. Seorang Prabowo juga adalah orang sipil, termasuk Wiranto.
Kalau demikian, di manakah gerangan letak bahaya perpolitikan dan pelibatan para purnawirawan dalam kompetisi presiden sekarang ini? Bahayanya adalah kalau para pensiunan jenderal itu beranggapan atau dengan sengaja merusak netralitas anggota TNI aktif secara kelembagaan.
Bahwa anggota TNI aktif secara individu berbisik kepada keluarganya untuk memilih calon tertentu karena ikatan emosional tertentu tidaklah salah. Di sini tidak ada masalah netralitas TNI yang terganggu.
Yang salah adalah bila seorang komandan kompi atau peleton menggunakan kekuasaannya untuk memaksa keluarga TNI berpihak kepada kandidat tertentu melalui perintah atau komando.
Terus terang, para pensiunan jenderal, yang tidak sedang memerintah, berpeluang paling sedikit untuk mengganggu netralitas TNI. Itu disebabkan mereka tidak memiliki kewenangan struktural apa-apa lagi dalam lembaga tentara aktif.
Perpolitikan kita harus mulai diletakkan secara benar pada koridor supremasi sipil. Tentara setelah pensiun menjadi sipil murni seperti warga lain yang tidak pernah berdinas dengan seragam militer. Mereka tidak boleh dicurigai atau dicemooh ketika menjadi anggota tim sukses pada kandidat.
Analisis yang selalu mengeksploitasi sipil-sipil berlatar belakang tentara adalah analisis bernada curiga. Mungkin itu adalah sisa trauma militerisme masa lalu.
Namun, di sisi lain, perpolitikan yang selalu saja mencari dan mengalah kepada sipil-sipil berlatar belakang militer adalah wujud dari kelemahan sipil Indonesia sendiri.
Trauma militerisme memang dalam. Ironi dalam supremasi sipil kita adalah ketika para purnawirawan merasa masih seperti tentara aktif. Ironi juga ketika sipil-sipil memperlakukan purnawirawan seakan-akan mereka masih memegang tongkat komando.

Tidak ada komentar: