Senin, 18 Mei 2009

Pilih Boediono, SBY Harus Bangun Citra

Jumat, 15/05/2009 02:37 WIB
Yogyakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu membangun citra dan memperkuat mesin politik bila benar-benar akan menggaet Boediono. Sebab resistensi dari partai politik pendukung koalisi Partai Demokrat (PD) terhadap Gubernur Bank Indonesia (BI) itu cukup besar. "Pasangan ini harus bekerja keras agar mampu meraih kemenangan, terutama meraih simpati pemilih di luar Jawa. Tingkat elektabilitas pasangan SBY-Boediono masih membutuhkan mesin politik yang tangguh," kata pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim saat diskusi dengan wartawan di kampus UGM, Sleman, DIY, Kamis (14/5/2009).
Menurut Gaffar, pilihan SBY terhadap Boediono sebagai cawapres memang mengundang resistensi dari parpol pendukung koalisi. Hal itu terlihat dari penolakan kalangan parpol Islam seperti PPP, PKS dan PAN.
Namun pada saat yang sama, parpol-parpol tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk menekan SBY. Mereka tentu masih berharap mendapat jatah kursi menteri di kabinet.
"SBY dan PD memang tak perlu koalisi dengan partai manapun untuk syarat mendaftar pilpres. Tapi di parlemen masih butuh mitra untuk mengamankan kepentingan. Itu tantangan yang perlu diselesaikan," kata staf pengajar jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu.
Apabila SBY benar-benar memilih Boediono, kata dia, berarti SBY belajar dari pengalaman pemerintaham sebelumnya yang dipimpinnya. Ia tak mau pemerintahan yang terbentuk justru menjadi ladang pembesaran partai politik di luar Demokrat.
SBY juga memilih figur yang berisiko terkecil dalam konflik antar partai koalisi serta tidak ingin memberikan keuntungan kepada partai tertentu seperti jika dia memilih cawapres dari kalangan partai.
"Saya tidak melihat pemilihan Boediono adanya investasi politik. Menghindari resiko iya. Memilih orang profesional itu diharapkan bisa lebih independen dengan tekanan politik di parlemen," katanya.
Mengenai kritik keras pasangan SBY-Boediono sebagai figur yang mengusung neoliberalisme, Gaffar menilai tak banyak memiliki pengaruh signifikan. Diakuinya, para pengkritik umumnya hanya sebatas wacana dan tidak memberikan alternatif sistem ekonomi yang lebih baik.
"Kritikan terhadap pemerintahan yang menjalankan ekonomi neoliberalisme hingga kini tak memiliki daya tusuk yang kuat. Selalu kritiknya berhenti pada spanduk dan tidak menawarkan pilihan lain," tandas Gaffar. ( bgs / sho

Tidak ada komentar: