Rabu, 29 Juli 2009

(Jangan Menjadi) Bonsai Khatulistiwa

Opini
(Jangan Menjadi) Bonsai Khatulistiwa
Selasa, 28 Juli 2009 - 09:17 wib TEXT SIZE : Bagi sebagian orang pohon bonsai adalah seni. Pohon yang seharusnya berdiri besar, rindang, dan perkasa diperlakukan sedemikian rupa sehingga menjadi kerdil tanpa mengurangi keindahan bentuknya.
Ada yang berdecak kagum, ada pula yang menyayangkan pengerdilan potensi pohon besar itu. Tidak ada yang salah dengan bonsai karena terjadinya memang disengaja. Lantas bagaimana apabila ada hal yang menjadi kerdil karena ketidaksengajaan?
Pariwisata, misalnya, dengan menaruh rasa hormat kepada pemerintah atas apa yang telah dilakukan selama ini, kemajuan pariwisata Indonesia dewasa ini hanyalah ujung dari gunung es. Potensi yang amat besar masih tersembunyi dan menunggu untuk ditemukan, diolah, dikemas, dan dikembangkan oleh tangan-tangan ahli anak bangsa.
Jangan seperti pohon bonsai nan indah dan mungil, pariwisata Indonesia tidak boleh kerdil dan mungil karena akan bertentangan dengan "takdirnya" untuk menjadi besar, kokoh, dan mampu menyejahterakan masyarakat.
Pariwisata Indonesia dan Dukungan Pemerintah
Indonesia adalah satu dari sedikit negeri yang diberkati Tuhan. Alamnya memesona, kebudayaan dan adat istiadatnya beragam dan memikat. Tanpa investasi, negeri ini sudah mempunyai modal menggiurkan sebagai destinasi pariwisata dunia. Sayangnya belum banyak yang bisa dijual.
Dari zaman sebelum kemerdekaan sampai hari ini hanya Bali dan Yogyakarta yang diminati pelancong dunia. Permasalahan bukan semata karena minimnya anggaran promosi, tapi lebih pada ketidaksiapan daerah-daerah lain di luar kedua daerah tujuan tersebut. Sebagaimana kodratnya, industri pariwisata terkait erat dengan keindahan, keteraturan, kemudahan, keunikan, kebersihan, dan keamanan.
Tanpa unsur-unsur ini, akan sangat sulit suatu daerah menjadi destinasi. Di sinilah peranan pemerintah pusat dan daerah menjadi krusial dan tak tergantikan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) selaku tangan pemerintah pusat sudah saatnya dikembalikan fungsinya sebagai pengatur kebijakan (policy making body), bukan sebagai operator.
Dengan kewenangan sebagaimana yang diatur undang-undang, Depbudpar harus menjalin kerja sama erat dengan pemerintah daerah dan sektor swasta dan membuka jalan bagi mereka untuk memainkan peran maksimum di industri berbasis kerakyatan ini. Kerja sama lintas departemen dan instansi pemerintah baik yang terkait langsung ataupun tidak sudah tidak bisa ditawar lagi.
Dengan Polri dan TNI misalnya, Depbudpar perlu menggalang usaha bersama dalam menciptakan keamanan nasional yang stabil. Terobosan-terobosan baru di bidang stimulus fiskal perlu dirundingkan lagi dengan Departemen Keuangan. Demikian juga dengan sistem keimigrasian yang menyenangkan dan pengaturan visa on arrival yang efisien karena inilah gerbang pertama industri pariwisata.
Program-program pelestarian dan kebersihan lingkungan serta alam perlu segera digalakkan dalam koridor kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Demikian juga di bidang kelaikan dan kelayakan sarana transportasi baik laut, darat maupun udara. Depbudpar tidak boleh lagi terjebak di hal-hal teknis seperti penyelenggaraan ratusan pertunjukan setiap tahun sebagaimana yang dilakukan selama ini.
Di samping rawan terhadap penyalahgunaan anggaran, pekerjaan itu pun menyita waktu, pemikiran dan energi yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemantapan kerja sama dengan departemen dan instansi lain. Pekerjaan teknis sudah saatnya dialihtugaskan ke Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Kembali ke Konsep Ideal
Setelah tertinggal jauh dari negeri-negeri tetangga, saatnya kita kembali ke konsep ideal industri yang menguntungkan. Harusada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas dan saling menguntungkan antara pemerintah dan pihak-pihak terkait. Intinya kepariwisataan Indonesia difasilitasi pemerintah, bukan dilaksanakan langsung oleh pemerintah.
Pemerintah lewat Depbudpar mengambil posisi sebagai motivator dan fasilitator dengan cara menelurkan kebijakan-kebijakan intra dan interdepartemental yang menjamin situasi kondusif bagi usaha bidang pariwisata di Indonesia.
BPPI sebagai pelaksana teknis akan bergerak fleksibel, terarah, dan tangkas dalam upaya menggairahkan kepariwisataan Indonesia karena tidak terbelit aturan birokrasi, namun tetap merunut kepada garis dan kebijakan yang sudah ditentukan oleh pemerintah (Depbudpar).
Destinasi Baru dan Partisipasi Pemda
Pembukaan destinasi baru harus terus diprogramkan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan kelanggengan sumber daya alamnya. Perlu tetap diingat bahwa pembukaan destinasi baru harus disertai dua "saudara kembar"-nya, yaitu penggabungan destinasi dan penghapusan destinasi.
Artinya, sertifikasi dan standardisasi pengelolaan destinasi tetap menjadi pedoman apakah destinasi itu layak dibuka, memerlukan penggabungan, atau malah dihapus untuk alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kejayaan pariwisata Indonesia hendaknya bukan lagi diukur dari jumlah kunjungan wisatawan semata, namun juga pada kesiapan lebih banyak daerah untuk berbenah dan memiliki kepercayaan diri untuk menerima kunjungan wisatawan dan peningkatan taraf hidup dari masyarakat daerah destinasi.
Persepsi negatif masyarakat terhadap pariwisata hanya bisa dihapus oleh peningkatan partisipasi mereka dalam usaha kepariwisataan. Sinergi harmonis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat di sekitar destinasi menjadi kunci utama pembangunan pariwisata Indonesia di masa depan.
Bonsai memang indah dan menawan, namun pariwisata Indonesia jangan menjadi bonsai hanya karena kurangnya terobosan baru dan lemahnya pemahaman para pemegang kebijakan di pemerintahan pusat atau pemda terhadap pariwisata.
Kejayaan pariwisata Indonesia akan bisa kita raih bila sumber daya manusia, baik pengelola destinasi maupun masyarakat yang tinggal di sekitarnya, mendapat prioritas utama pengembangan dan peningkatan kemampuan kepariwisataan sebelum memoles destinasi. (*)
Tantowi Yahya Pelaku Seni dan Pemerhati Pariwisata Indonesia (//mbs)

Tidak ada komentar: