Rabu, 29 Juli 2009

Melawan Terorisme Global

Opini
Melawan Terorisme Global
Senin, 27 Juli 2009 - 09:50 wib TEXT SIZE : Peledakan bom yang terjadi di Hotel JW Marriott dan Hotel The Ritz-Carlton di sekitar Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009, yang menelan korban lebih dari 52 orang, sembilan orang di antaranya tewas, mengundang kecaman dari berbagai negara di dunia, bahkan juga Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Dugaan sementara, pengeboman dilakukan dengan cara bunuh diri dan pelakunya merupakan bagian dari jaringan kelompok Noordin M Top, yang telah lama beroperasi di Indonesia dan Asia Tenggara. Sebelumnya, dalam operasi intelijen pasukan Densus 88 di Cilacap ditemukan beberapa peralatan perakitan bom di sebuah rumah yang sangat terkait dengan peristiwa pengeboman di dua hotel tersebut.
Sementara motif peledakan bom bisa berbagai macam, tetapi motif klasik bisa diartikan sebagai rasa benci kelompok ini terhadap perilaku hegemoni Amerika Serikat dan simbol-simbol Barat, termasuk di Indonesia. Berkali-kali disebutkan, jaringan militan teroris ini siap menyerang kepentingan AS dan sekutunya di mana pun.
Dari Tragedi ke Tragedi
Tragedi bom di depan Kedubes Australia di Jakarta 9 September 2004 yang menewaskan sembilan orang mengingatkan tragedi serupa yang terjadi di Bali Oktober 2002, dengan korban tewas lebih dari 200 orang dan Hotel JW Marriott Jakarta Agustus 2003, dengan korban tewas 13 orang. Jauh sebelumnya, tragedi serupa juga terjadi di Amerika Serikat, yang dikenal dengan tragedi WTC New York September 2001, menewaskan sekurang-kurangnya 3.000 orang.
Selain tragedi tersebut telah menelan banyak korban, juga melukai ribuan orang lainnya. Kerugian lain seperti gedung, mobil, sepeda motor dan sejumlah fasilitas juga hancur. Tragedi serupa terjadi di Spanyol atas peledakan bom kereta api di Madrid, Maret 2004, dengan jumlah korban tewas 202 orang dan mencederai lebih dari 1.500 orang. Masih segar dalam ingatan kita tragedi di Hotel Taj Mahal India yang juga menewaskan puluhan orang dan ratusan korban.
Semua itu telah menambah duka bagi kita. Tayangan rekaman video stasiun televisi Arab Al-Jazeera, September 2006, tentang Osama bin Laden dan calon-calon pengebom bunuh diri yang tengah mempersiapkan serangan teroris 11 September 2001 di AS memperlihat kan bahwa kelompok teroris Al Qaeda pimpinan Bin Laden dan jaringannya terus melakukan aksinya.
Dalam perkembangannya, terbongkarnya plot pengeboman pesawat-pesawat yang terbang antara Inggris-AS oleh kelompok teroris pada 10 Agustus 2006 makin menegaskan bahwa jaringan teroris dunia terus bergerak. Meski Pemerintah Inggris terus melakukan investigasi menyangkut berapa pesawat yang terancam dan menjadi target teroris, keberhasilan teroris menyelundupkan bahan-bahan peledak ke pesawat dengan menyembunyikan bahan-bahan itu dalam tas tangan merupakan aksi yang cermat.
Komponen bom dalam bentuk bahan peledak cair yang kemudian diaktifkan dengan pemicu yang disamarkan ke dalam bentuk minuman dan peralatan elektronik memungkinkan plot peledakan pesawat digunakan dalam waktu yang sama dengan cara melakukan tindakan bunuh diri, juga aksi yang sangat diperhitungkan.
Skenario ini bukanlah main-main, bukan pula aksi kecil-kecilan. Buktinya, sejumlah petugas keamanan Inggris kalang kabut dan beberapa penerbangan internasional pun mengalami penundaan berjam-jam. Ini menunjukkan satu perkembangan penting dari aksi organisasi terorisme yang semakin baik dan didukung peralatan maupun persenjataan yang semakin canggih.
Di samping itu, aksi terorisme bukan saja menimbulkan masalah bagi suatu negara tertentu, tetapi juga cenderung mengancam keselamatan negara atau warga negara lain. Disebutkan, plot teror tersebut mirip dengan rencana teror kelompok Al Qaeda di Asia pada 1995. Saat itu Al Qaeda berencana meledakkan beberapa pesawat dari Asia ketika tengah terbang di atas Samudera Pasifik.
Namun, rencana yang dikenal dengan "operasi Bojinka" tersebut gagal. Operasi Bojinka itu berencana meledakkan pesawat dari Tokyo, Seoul, Taipei, Hong Kong, Bangkok, dan Singapura. Sementara otak pelakunya bernama Ramzi Yousef kini dipenjara seumur hidup di AS karena terlibat pengeboman Gedung World Trade Center di New York tahun 1993.
Plot pengeboman pesawat merupakan bagian dan rangkaian aksi teroris yang sebelumnya telah mencengangkan dunia dengan peristiwa tragis di Kota London. Belum habis kegembiraan masyarakat Inggris setelah sehari sebelumnya ditetapkan menjadi tuan rumah Olimpiade 2012 oleh IOC, Kota London diguncang serangkaian bom dahsyat di kereta bawah tanah dan bus bertingkat pada 7 Juli 2005 yang memakan 50 korban tewas dan 700 orang luka-luka.
Kegembiraan itu seolah menjadi antiklimaks masyarakat London yang hingga kini beberapa di antaranya mengalami trauma mengerikan atas kejadian itu. Aksi teror yang bersamaan dengan pertemuan G-8 yang berlangsung di Skotlandia juga melumpuhkan transportasi seluruh Inggris. Seorang ahli keamanan, Paul Wilkinson, dari Universitas St Andrews Skotlandia berpendapat, ledakan terkoordinasi di tiga kereta bawah tanah dan bus double decker mempunyai pola yang khas jaringan Al Qaeda.
Penggunaan serangan simultan yang menghasilkan kerusakan parah dan kepanikan termasuk taktik kerap digunakan Al Qaeda sejak peledakan bom Kedubes AS di Afrika Timur tahun 1998 hingga Tragedi WTC September 2001. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia, Kenya, Maroko, Arab Saudi, Turki, dan Spanyol.
Dunia Gagal Antisipasi Terorisme
Dalam pada itu, serangan teroris bukan hanya telah membentuk agenda keamanan baru, tetapi juga telah menciptakan masalah-masalah keamanan baru bagi masyarakat internasional. Dalam dunia yang semakin global, terorisme telah berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dan ini memungkinkan kelompok-kelompok teroris melakukan kegiatan mereka melampaui batas-batas negara tanpa dideteksi.
Terorisme adalah sebuah ancaman dan karena ancaman, masyarakat internasional harus bertindak bersama-sama untuk mempersempit ruang gerak teroris dan mencegah terulangnya tragedi kemanusiaan. Adanya ancaman serangan teroris di Prancis oleh orang nomor dua Al Qaeda,Ayman al-Zawahari, pada 2006 seharusnya dijadikan wake up call negara-negara untuk lebih mengembangkan early warning system dan preventive diplomacy lingkungannya menghadapi aksi terorisme.
Lebih-lebih, kontribusi negara-negara dalam confidence building measures sebagai sarana yang mempertemukan kepentingan keamanan bersama antarkawasan harus dijadikan sarana untuk melawan ancaman terorisme di masa mendatang. Karena gerakan ini semakin memperlihatkan eksistensi gerakan yang membahayakan keamanan dunia, hal itu patut kita kutuk bersama.
Pemerintah pun ikut menanggung akibat dari adanya teroris dan perlu mengambil sikap untuk tidak memberikan pembenaran kepada siapa pun yang melakukan teror dan mempersempit ruang gerak teroris agar dapat mencegah terulangnya tragedi berikutnya. Dunia terorisme berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dan ini memungkinkan kelompok-kelompok teroris melakukan kegiatannya melampaui batas-batas negara tanpa terdeteksi.
Maka serangan teroris di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton 17 Juli 2009 telah menambah agenda keamanan baru Pemerintah Indonesia. Akan tetapi persoalannya bukan sekadar komitmen Pemerintah Indonesia dan negara-negara sahabat, melainkan dibutuhkan sebuah mekanisme yang jelas dan melembaga agar aksi-aksi teror dapat tertanggulangi secara dini. Masalah gerakan radikal dan jaringan Jamaah Islamiyah dan masalah-masalah terorisme yang terkait jaringan Al-Qaeda merupakan salah satu contoh bahwa dunia gagal mengantisipasi gerakan terorisme.
Memerangi Kemiskinan
Tragedi bom di Hotel Marriott dan Ritz Carlton 2009 telah menambah sederetan perkembangan keamanan Indonesia pascatragedi bom Hotel JW Marriott 2003 yang membawa implikasi terhadap perspektif keamanan secara regional. Dalam rangka merespons aksi-aksi terorisme, Indonesia dan ASEAN belum mengintroduksi kebijakan luar negeri dan kebijakan dalam negerinya secara maksimal.
Di tengah krisis keamanan secara regional sebagai akibat dari ancaman terorisme ini, Indonesia dan ASEAN masih menghadapi dilema yang sulit antara harus memenuhi tekanan AS dan koalisi global melawan terorisme maupun penerapan dari langkah antisipasi perang melawan terorisme dari tiap negara anggota ASEAN.
Perlu disadari bahwa lingkungan internasional telah berubah secara dramatis, khususnya setelah tragedi WTC di AS. Berbagai paradigma keamanan yang dianut pada era Perang Dingin maupun pasca-Perang Dingin dekade 1990-an semakin hilang relevansinya. Dengan demikian, situasinya kini dihadapkan pada lingkungan keamanan baru yang jelas memerlukan langkah strategis baru dalam mengantisipasi masalah-masalah keamanan yang sifatnya lintas negara.
Meski demikian, perang melawan terorisme tidak cukup dengan menangkap, mengadili, dan menghukum para teroris, tetapi lebih penting lagi, akar gerakan terorisme itu sendiri perlu dicabut dan dihilangkan. Perlu diketahui bahwa aksi kekerasan dan agresivitas terorisme bisa muncul akibat rasa frustrasi sosial ekonomi. Kesenjangan dalam bidang ekonomi membuat sebagian anggota masyarakat mudah menjadi frustrasi, tertekan, dan mendorong agresivitas.
Maka, kampanye melawan terorisme harus diikuti dengan upaya memperbaiki kesejahteraan dan memperkecil kesenjangan sosial ekonomi. Sekiranya perbaikan ekonomi kurang diperhatikan dan tatanan ekonomi global tidak seimbang, gejala frustrasi dan agresivitas akan tetap muncul.
Secara demikian, komitmen para elite pemerintahan negara-negara dunia akan bermanfaat jika komitmen melawan terorisme diikuti kekompakan kerja sama ekonomi untuk memerangi kemiskinan sehingga tidak menjadi lahan subur kaum teroris untuk melakukan gerakannya secara internasional.(*) Faustinus Andrea Staf Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta (//mbs)

Tidak ada komentar: