Senin, 27 Juli 2009

Lemahnya Intelijen RI, Dana cekak, Laporan Intelijen Hanya Mengarang

Kamis, 23/07/2009 16:32 WIB
Lemahnya Intelijen RI, Dana cekak, Laporan Intelijen Hanya Mengarang
Deden Gunawan - detikNews
Jakarta - Meledaknya Bom di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton menjadi sorotan banyak pihak. Mereka menyayangkan lalainya perangkat intelijen mengantisipasi aksi teroris. Padahal dulunya intelijen Indonesia masuk dalam 5 besar negara di dunia yang punya intelijen handal. "Intelijen kita punya reputasi yang bagus sejak lama. Tapi kali ini mungkin jauh berbeda," kata mantan Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) Badan Intelijen Strategis (Bais) Mayjen Purn Abdul Salam. Turunnya reputasi itu bisa dilihat dari beberapa kejadian teror bom di Indonesia sejak tahun 2000. Dalam tahun 2000-2009, tercatat paling tidak dari catatan yang dihimpun detikcom, selama 9 tahun terakhir ada 27 bom meledak di Indonesia. Akibatnya, ratusan nyawa melayang dan ribuan orang terluka karenanya. Belum lagi kerugian materiil yang diderita akibat bom tersebut. Salam mengatakan, bom di kedua hotel bisa tidak terdeteksi karena kinerja intelijen saat ini mulai melemah. Intel-intel saat ini kurang membuka jaringan ke bawah atau rakyat. Mereka hanya menunggu saja laporan yang masuk, bukan menjemput bola.
Ditambahkan Salam, aksi teror itu sebenranya bisa saja diredam, kalau pendekatan kepada masyarakat berjalan baik. Ancaman teror dari para pengacau sudah muncul sejak lama. Hanya saja rencana teror dari kelompok tersebut langsung dapat dicegah. Para calon pelakunya langsung ditangkap dan dibina. "Akhir 1980-an banyak kelompok radikal yang akan membuat kekacauan, misalnya rencana teror bom di Glodok dan titik-titik vital lainnya. Tapi semuanya dapat kita cegah," jelas Salam. Beberapa anggota dari kelompok Islam radikal yang dulu disebut organisasi pengacau keamanan (OPM) itu, kemudian ditangkap dan disidang. Sebagian lainnya dibina oleh lembaga terkait, seperti Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Agama (Depag). Soal kinerja intelijen di Indonesia, seperti Bais, sejak lama memang disegani. Pakar politik Richard Tanter dari Monash University, Melbourne, Australia pernah menulis tentang kegiatan Bais dibukunya "Intelligence agencies and third world militerization: a case study of Indonesia, 1966-1989".
Dalam buku itu, Tanter menulis soal kinerja Bais melumpuhkan gerombolan pengacau keamanan di DI Aceh, juga gerakan antipenyatuan di Timor Timur, maupun penggembosan gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya, dengan mengendalikan beberapa tokoh pemerintahan di Papua Nugini.
Menurut Abdul Salam, keunggulan intelijen saat itu karena pendekatan pertahanan masyarakat semesta (Hankamrata). "Bila intelijen dekat dengan rakyat, informasi apapun dapat kita terima. Dan mudah mendeteksi ancaman-ancaman di masyarakat," kata Salam.
Pendapat Salam diamini Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo. Menurut Salam, pola soft power dalam mengungkap setiap aksi teror terbukti sangat efektif untuk mendapatkan informasi terkait keberadaan otak pelaku yang buron dan pengungkapan jaringan secara keseluruhan. Dia kemudian mencontohkan kasus penanganan jaringan JI angkatan pertama, seperti Nasir Abbas. Agustadi menuturkan, untuk mencegah aksi teror yang akan dilakukan Nasir dan kawan-kawan, intelijen TNI merangkul keluarga Nasir. Misalnya menyekolahkan anak Nasir. Dengan cara itu, sang istri diharapkan bisa memberikan informasi penting.
"Jika mereka merasa dimanusiakan, mereka mau bertukar informasi tentang apa yang diketahui tentang jaringan itu," kata Agustadi. Tapi lain dulu lain sekarang. Saat ini aktivitas intelijen hanya menunggu bola. Akibatnya, banyak informasi intelijen yang tidak akurat.
Malah seorang sumber detikcom mengatakan, kadangkala informasi intelijen yang masuk berdasarkan rekaan saja. Dan kadangkala agen mata-mata mengarang sendiri laporan intelijennya. "Intel kita sekarang sudah lesu darah. Mungkin karena dana yang dikucurkan tidak seperti dulu yang unlimited. Sekarang dana untuk intelijen dibatasi. Padahal ancaman terhadap negara sangat banyak. Apalagi teknologi yang digunakan teroris semakin canggih," jelas sumber tersebut. Soal seretnya dana tersebut dikatakan mantan Direktur Bakin AC Manullang. Menurut Manulang, faktor dana menjadi persoalan penting dalam setiap operasi-operasi intelijen. Kalau dibatasi, maka tidak maksimal hasilnya.
"Sekarang DPR meminta dana operasional intelijen terbatas dan harus transparan. Jadi selain anggaran cekak, operasi intelijen mudah diketahui publik. Anda bayangkan saja bagaimana jadinya intelijen kita," tegas Manullang. Namun selain soal dana, kurangnya koordinasi juga dianggap Manullang sebagai salah satu sebab mandulnya intelijen saat ini. Lembaga-lembaga intelijen yang ada saat ini bekerja sendiri-sendiri. "Kalau dulu, intel militer, intel Depdagri, maupun Bea Cukai, masih dalam satu komando, yakni di bawah Bakin. Kalau sekarang mereka bekerja sendiri-sendiri. Wajar saja kalau kebobolan terus," pungkas Manullang. (ddg/iy)

Tidak ada komentar: