Sabtu, 04 Juli 2009

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita
Rabu, 10 Juni 2009 - 10:08 wib
Barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam Sutera, Banten, Tangerang saat ini susah mengaso.Kasus Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu saja dengan tendensi negatif dan destruktif. Saat ini bisa kita lihat dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya.Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan recovery karena kini RS itu menjadi musuh publik. Tingkat kepercayaan tentu langsung turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut. Bayangkan ini: orangtua sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu.Salah LangkahSejak awal RS Omni memakai paradigma yang salah dalam menangani persoalan, yaitu dengan paradigma palu dan paku. Oleh RS Omni, pasien hanya dianggap sebagai "paku kecil" yang perlu "digetok" lantas beres masalahnya. Kesalahan ini bisa dianggap makin fatal jika benar dalam menggetok itu RS Omni mendapatkan masukan dari penasihat hukum atau dukungan aparat penegak hukum.Kasus ini sebenarnya tidak perlu berujung menistakan RS Omni jika RS itu punya manajemen komunikasi (public relation/PR) yang berjalan dengan baik karena bagaimanapun layanan jasa itu menyangkut kepuasan orang. Di sini bisa kita lihat bukannya fungsi PR yang mengemuka, melainkan fungsi hukum. Padahal harusnya keduanya berjalan bersama jika terjadi krisis komunikasi. Wajar RS Omni tidak bisa menghitung ancaman yang bakal terjadi jika sampai memasukkan Prita ke penjara. Pikirannya pun sederhana, dengan mengirim Prita ke penjara, semua orang akan jera dan tidak akan main-main lagi menistakan RS Omni.Pendekatan yang dipakai Omni juga lebih terasa kental sebagai pendekatan perusahaan daripada pendekatan RS yang lebih mementingkan servis dan pelayanan yang excellent. Maka harus dimaklumi jika publik kemudian marah. Bisakah Anda bayangkan, besarnya impact yang ditimbulkan dari siaran langsung televisi yang mengetengahkan Prita yang menangis karena kangen anak-anaknya? Dahsyatnya pula, TV menayangkan gambar dua anak itu yang seperti itik kehilangan induk. Hati siapa yang tidak tergedor, siapa pula yang tidak mengumpat RS Omni? Pada kasus ini, jangan membicarakan yang rasional. Karena rasionalitas pasti tidak jalan.Publik sudah marah dan ketika marah, publik kehilangan rasionalitasnya, yang ada hanya satu kata: "lawan". Karena itu, sikap gagah-gagahan dengan menyerahkan semuanya kepada hukum untuk menindak aparat yang terbukti tidak profesional sama dengan penyataan bunuh diri. Suasana makin buruk ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga tidak membela RS Omni karena rekam jejak kesehatan adalah hak pasien. Dalam kondisi krisis seperti ini, komunikasi yang terjadi menjadi invalid sehingga perlu penanganan khusus.Misalnya RS Omni sangat yakin bahwa pihaknya berada dalam posisi yang benar, padahal sebagai dokter yang juga manusia, masih mungkin mereka salah. Ini yang membuat publik makin geregetan. Mereka hanya menyerahkan masalah ini pada hukum yang berlaku. Tidak ada sifat rendah hati dan maaf yang tecermin dalam klarifikasi di media (atau mungkinkah media juga marah)? Antipati publik merupakan respons alami yang bisa dijelaskan. Publik seketika akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Prita yang merupakan cerminan warga kebanyakan.Dapat kita lihat betapa banyak ibu-ibu penggemar Facebook yang merasa terancam. Berbagai pertanyaan membayangi pikiran mereka seperti apakah saya dan keluarga saya aman bila berobat ke sana? Apa yang bisa saya lakukan untuk melindungi diri dan keluarga saya? Siapa yang menyebabkan semua ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk Prita?Krisis KomunikasiJika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di RS itu, kasus semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun ikon kebesaran RS tersebut. Biayanya tentu jauh lebih murah daripada beriklan.Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan RS melihat bahwa Prita bisa menjadi "agen kebaikan" dari RS tersebut. Tetapi ini memang tidak mudah karena diperlukan kecerdasan PR, sebuah kecerdasan yang dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan memecahkan masalah yang paling pelik pun. Ujungnya tentu saja melindungi imej perusahaan dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya RS melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi PR berjalan, yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi persoalan agar tidak sampai membuat imej atau nama baik perusahaan terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus dijalankan. Pada saat itu "teman" terdekat seorang PR adalah media.Karena media berhubungan langsung kepala publik, itulah pintu yang paling lebar yang harus dijaga. Dari pintu itu pula semua persoalan di-manage sedemikian rupa sehingga semua under control. Tantangan bidang kerja PR dan fungsi PR bisa amat sangat berat. Karena targetnya mengacu pada membangun image dan mempertahankannya. Bagi perusahaan yang mapan dan sadar imej, apa pun dilakukan untuk menyelamatkan imej korporasi mereka.Karena mereka sadar, bila sudah jatuh, akan sulit membangunnya kembali. Sering kali di sinilah dibutuhkan pemikiran yang lateral tadi, pemikiran yang tidak biasa dan terobosan-terobosan untuk sebuah kemenangan branding. Contohnya, bagaimana KPK yang superbody itu goyang dihantam krisis Antasari. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda melihat KPK masih sama seperti dulu atau sedikit berubah? Kasus-kasus krisis komunikasi semacam ini memang perlu ditangani secara extra-ordinary. Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis komunikasi.Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi seharusnya adalah orang-orang yang sangat paham dengan media, punya keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap perubahan mendadak di lingkungannya. Konsultan komunikasi sama pentingnya dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu. Ada sebuah cerita. Suatu saat maskapai penerbangan Jepang Japan Airlines (JAL) mengumumkan membatalkan penerbangan dari San Fransico, AS, ke Jepang karena pesawat rusak oleh badai salju.Semua penumpang dipindahkan dan hampir semua penumpang menerima dengan senang hati. Namun ada seorang ibu yang tidak mau dan ngotot akan menunggu perbaikan pesawat JAL hingga selesai. Akhirnya manajemen mengabulkan penerbangan ibu yang dari muda selalu naik JAL itu. Hanya saja sekarang dia di-upgrade di kelas bisnis sambil ditemani wartawan! Bayangkan apa yang terjadi.(*)Luthfi SubagioPR Consultant, Tinggal di Jakarta(//mbs)

Tidak ada komentar: