Jumat, 03 Juli 2009

Pengaduan Konstitusional Untuk Kebebasan Berekspresi

Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi
Selasa, 23 Juni 2009 - 10:09 wib
Di tengah-tengah dominasi pemberitaan persaingan kandidat calon presiden dan wakil presiden, isu kebebasan berekspresi berhasil mencuri perhatian luas di berbagai media, terutama media informal dunia maya seperti situs-situs jejaring sosial dan blog.Hal ini diakibatkan oleh penahanan Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik. Tuduhan ini didasari laporan RS Omni Internasional atas surat yang dikirimkan Prita ke salah satu mailing list yang kemudian menyebar ke berbagai situs lain. Isu ini juga diwarnai kasus serupa yang dialami Khoe Seng Seng terkait surat pembaca yang ditulisnya di salah satu surat kabar nasional.Kedua kasus ini menimbulkan keresahan, terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang tengah mengalami euforia kebebasan berekspresi yang luar biasa yang tercermin dari ramainya fitur-fitur di dunia maya yang memungkinkan pembaca atau pengguna mengekspresikan komentarnya terhadap berbagai macam hal, termasuk pelayanan konsumen, serupa dengan yang dilakukan Prita.Kebebasan Berekspresi dan BatasannyaMeskipun banyak aspek hukum yang bisa dikaji dalam kasus Prita, inti dari permasalahan Prita sebenarnya terletak pada kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."Jaminan ini diperkuat oleh Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk... menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Prita hanyalah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang gemar berekspresi di dunia maya, baik dalam bentuk keluh kesah maupun kritik tajam.Kasus penghinaan-penghinaan yang cenderung kasar di situs jejaring Facebook terhadap salah satu kandidat calon presiden merupakan contoh bentuk paling ekstrem dari kritik tajam bernada negatif. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah apakah kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi ini memiliki batasan? Jika ya, sejauh mana? Di Amerika Serikat, pembuat ekspresi dilindungi oleh konstitusi AS yang melarang pemerintah melakukan tindakan yang dianggap "abridging the freedom of speech" atau menghalangi kebebasan berekspresi.Namun di negara seliberal AS pun kebebasan berpendapat memiliki banyak batasan seperti tidak dilindunginya "hate speech", ekspresi yang menimbulkan kerusuhan, termasuk ekspresi yang mencemarkan nama baik. Namun, hukum AS telah memiliki batasan jelas mengenai pencemaran nama baik seperti apa yang tidak dilindungi konstitusi atau dengan kata lain dapat dipidanakan.Batasannya antara lain, untuk isu yang menyangkut "masalah publik" dan terkait "tokoh publik" (seperti kasus penghinaan calon presiden di Facebook) harus dibuktikan terdapat kebohongan disengaja terkait dengan ekspresi yang dipermasalahkan dan pihak yang merasa dicemarkanlah yang memiliki beban pembuktian atas kebohongan tersebut. Apabila menyangkut "masalah publik" tapi tidak terkait "tokoh publik" (seperti kasus Prita), pihak yang merasa dicemarkan cukup membuktikan bahwa pihak yang berekspresi itu ceroboh sehingga mengakibatkan terjadinya kebohongan tersebut.Sebagai tambahan, pihak yang dicemarkan harus membuktikan terjadinya kerugian material akibat ekspresi tersebut kecuali bila ekspresi itu tertulis. Indonesia sama sekali tidak memiliki batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi. Hal ini tidak mengherankan karena kedua pasal pelindung kebebasan berekspresi hasil amendemen kedua UUD 1945 ini baru berumur 9 tahun--bandingkan dengan ketentuan serupa di AS yang telah berumur lebih dari dua abad.Satu hal yang patut dicatat adalah AS mampu mengembangkan interpretasi serta batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi-- maupun jaminan konstitusi lain seperti kebebasan beragama-- karena keberadaan pengaduan konstitusional atau constitutional complaint.Pengaduan KonstitusionalPengaduan konstitusional dapat didefinisikan sebagai pengaduan yang diajukan oleh penduduk kepada pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran atas hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi sebagai akibat tindakan pemerintah.Untuk kasus Prita dan Khoe Seng Seng, memang ada kemungkinan mengajukan judicial review atas Pasal 310 KUHP mengenai penghinaan untuk dipertentangkan dengan UUD 1945 Pasal 28E ke Mahkamah Konstitusi. Namun hal ini sangat tidak praktis dan mengabaikan proses hukum yang sedang dijalani keduanya. Upaya ini juga tidak dapat menjangkau isu konstitusi lain seperti represi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang tidak melalui undang-undang seperti kasus penyitaan pengeras suara massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat melaksanakan demo pendudukan Gaza serta SKB Ahmadiyah.Di sinilah perlunya pengaduan konstitusional. Dengan pengaduan konstitusional, Prita dapat mengadukan seluruh tindakan pemerintah yang dialami dirinya, sejak penangkapan hingga penahanan sebagai tindakan inkonstitusional. Dalam mengadili pengaduan ini, dapat sekaligus diputuskan mengenai konstitusionalitas Pasal 310 KUHP. Atau lebih jauh, sebagaimana sering terjadi di AS, penafsiran lebih spesifik mengenai pasal ini, misalnya penambahan syarat-syarat yang lebih jelas mengenai ekspresi seperti apa yang dapat dipidana tanpa melanggar UUD 1945.Hampir seluruh negara penganut demokrasi seperti Indonesia telah memperbolehkan pengaduan konstitusional untuk menangani masalah-masalah seperti kasus Prita. Ini termasuk Jerman, Polandia, Korea, Spanyol, dan tentu saja AS. Pada kebanyakan mahkamah konstitusi di dunia, kewenangan pengaduan konstitusional justru merupakan salah satu fungsi utama mereka. Namun, tentu tidak mudah mewujudkan hal ini karena amendemen UUD 1945 diperlukan. Selain itu, keberatan paling utama terhadap pengaduan konstitusional mungkin adalah beban kerja yang akan diberikannya kepada Mahkamah Konstitusi.Namun, ini dapat diatasi melalui pengadopsian cara Jerman, yaitu dengan kewajiban untuk terlebih dahulu menempuh upaya hukum lain yang tersedia maupun yang mungkin lebih efektif, cara AS, yaitu memberi Mahkamah Konstitusi kewenangan untuk memilih pengaduan mana yang akan diputusnya berdasarkan signifikansi konstitusionalitas isu yang diajukan. Mewujudkan pengaduan konstitusional di Indonesia memang tidak mudah.Namun mengingat besarnya manfaat yang diberikan bagi terjaminnya hak-hak konstitusional warga negara, upaya tersebut patut ditempuh agar di masa yang akan datang, siapa pun presidennya, kita tidak lagi melihat Prita-Prita lain di balik jeruji.(*)Sigit ArdiantoMaster of Laws Cardozo School of Law, New York, AS (//mbs)

Tidak ada komentar: