Sabtu, 04 Juli 2009

Runtuhnya Waktu (Penguasa)

Runtuhnya Waktu (Penguasa)
Senin, 8 Juni 2009 - 09:56 wib
Tahun yang terus bergerak maju, 1999, 2000, 2001, 2002,2003... mungkin membuat kita sukar membayangkan bagaimana waktu memiliki sifat yang lain dari itu.Tahun yang bergerak maju membuat kehidupan seakan sebuah perjalanan, menuju ke sebuah titik dengan meninggalkan titik sebelumnya. Entah sejak kapan, perjalanan maju itu tak bisa dilepaskan dari sifat sebagai komoditas politik penguasa. Mungkin sedari awal keduanya tak bisa saling dipisahkan, sebagaimana pada pengalaman kita: imajinasi akan waktu yang dibangun pada periode kolonial persis dengan yang dikonstruksikan kepada kita hari ini, waktu bergerak maju bersama penguasa dan meninggalkan mereka di luar penguasa yang diam, tak sanggup berubah, primitif.Dan saya coba runut (silahkan Anda juga), beberapa upaya memutakhirkan diri itu antara lain: melepaskan diri dari Indonesia lampau yang otoriter, memisahkan diri dari Indonesia lampau yang tak mengalami subsidi beras, melampaui Indonesia lampau yang gagal mengendalikan harga komoditas.Tidak SadarAneka usaha itu berupaya membuktikan diri yang murni dari masa lampau. Waktu yang berjalan maju merupakan penanda paling efektif untuk memagari antara titik yang ditinggalkan, titik lepas landas, dan titik yang dituju. Selanjutnya penguasa tinggal melakukan pengeramatan terhadap titik-titik yang mereka anggap milik mereka dan mendesakralisasi sisanya.Apa yang kemudian terjadi adalah waktu politik menjadi sama absurdnya dengan sebuah tren, digerakkan oleh hasrat semata. Bagaimana seseorang tak pernah menyadari apa yang dikenakannya, apa filsafat dari busananya itu,kecuali betapa yang dikenakannya itu meninggalkan mode lalu yang sudah kuno. Walhasil, tak pernah disadari bagaimana masa lalu mendikte hari ini dan mengendalikan masa depan. Bagaimana kerinduan bawah sadar terhadap sosok orde besar di masa lalu terus-menerus hadir dalam komunikasi politik partai-partai yang selalu memproyeksikan diri sebagai sosok pengayom yang merangkul "semua".Bagaimana apa yang dikatakan sebagai lompatan besar demokrasi meninggalkan masa lalu yang otoriter tak pernah menumbuhkan oposisi yang setia memperjuangkan suatu isu atau kelompok yang tertindas, hanya memecah penguasa ke fragmen-fragmen yang lebih kecil. Bagaimana pula perlakuan buruk yang diterima di masa lalu bukan hanya diampuni, tapi sekaligus dilupakan beserta segenap perbedaan ideologi demi mendirikan suatu koalisi absolut yang tak tertandingi.Deja vu orde totaliter yang dikatakan telah dilewati. Terhadap ambiguitas yang dipegang setia ini, pertanyaanpertanyaan pun meluncur: bila waktu bergerak maju, sejauh apa sebenarnya kita telah bergerak maju? Ataukah kita sedang berjalan maju dengan mata yang tertutup, tak bisa membedakan antara titik yang dituju dengan titik yang ditinggalkan?Substansi PolitikDan waktu yang terus-menerus dimanfaatkan orde kekuasaan itu pun kehilangan kemampuannya melukiskan realitas. Ia tak mampu menanggung realitas getir milik mereka yang dimarginalisasi,yang menjadi korban gerak politik yang tak pernah menengok ke belakang. Kerap, bagi mereka waktu adalah semacam perputaran, siklus, rotasi, bukan perjalanan ke depan.Masa lalu, penggusuran, pelanggaran, penenggelaman, bukan sesuatu yang ditinggalkan, tetapi terus berada-terbayang-bayang- di hadapan mereka dan bisa tiba-tiba menyergap mereka kembali. Dalam abstraksi yang lebih teoretis, pandangan semacam itu dinyatakan Pramoedya Ananta Toer, pengarang yang selamanya dimusuhi oleh orde-orde kekuasaan. "Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala zaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran,orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat," tutur Pram tidak menerima sejarah dipagar-pagari dengan pengeramatan. Sebab implikasi paling segera dari pemotongan sejarah adalah manusia tak bisa mengenali dirinya, pasalnya dia tak dapat mengidentifikasi hal-hal yang membentuk dirinya. Karena itu jangan heran bila akhirnya di dunia politik kita relasi (kekuasaan) menentukan substansi (pendirian).Melalui jeritan-jeritan getir manusia yang tergilas, kita terus menerus diperingatkan bahwa waktu politik yang bergerak maju adalah sebuah kontradiksi: seseorang, atau suatu bangsa, tak bisa sesungguhnya berjalan ke depan dengan meninggalkan masa lalunya. Juga kita diperingatkan bahwa konsep waktu yang lain selalu dimungkinkan: waktu di mana masa lalu selalu siap menyergap di hadapan, seperti siklus, dan politik menjadi prosedur untuk selalu menghadirkan mereka yang terlampaui kembali ke hadapan kita. Bukankah di sana substansi politik sejatinya ditemukan?Selaku prosedur menggali Indonesia sebagai kehidupan bersama yang tak menisbikan manusianya sendiri? Meski begitu substansi politik ini tentu tak dipahami penguasa. Sebab, yang kita ketahui,justru politik yang menjadi tujuan akhir mereka, yang dituju dengan berjalan sambil tertidur, menutup mata, menutup telinga, menutup jalan lain di luar dari jalan mereka. Namun rakyat, di mana substansi politik dijumpai, tak akan pernah bisa dihentikan di bawah sepatu sempit mereka.(*)Geger RiyantoPegiat Bale Sastra Kecapi, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia (//mbs)

Tidak ada komentar: