Jumat, 03 Juli 2009

Sikap Calom Pemimpin Bangsa Dalam Bingkai Nasionalisme

Sikap Calon Pemimpin Bangsa dalam Bingkai Nasionalisme
Jum'at, 3 Juli 2009 - 10:13 wib
Naiknya suhu politik menjelang pesta demokrasi pada hakikatnya merupakan hal yang wajar. Saat-saat seperti inilah sejatinya para calon pemimpin bangsa diuji kadar integritas, kapasitas, dan kapabilitasnya.Lebih dari itu, pada momentum pesta demokrasi inilah kita menakar pikiran ucapan dan tata laksana para calon pemimpin bangsa. Bukan rahasia lagi, tingginya suhu politik ada kalanya dikarenakan manuver para kandidat pemimpin, para pendukung maupun tim sukses masing-masing.Dalam kalimat promotif ada kalanya menyindir kompetitor. Dalam lontaran isu dan kabar burung, ada kalanya mendiskreditkan kompetitor. Dalam tendensi black campaign, tidak jarang menjurus pada pembunuhan karakter kompetitor. Satu hal lain yang tak kalah menarik adalah faktor Tentara Nasional Indonesia (TNI).Bisa jadi, hal itu lantaran pada tiga pasangan capres-cawapres yang berkompetisi pada Pilpres 2009 ini terdapat tiga jenderal purnawirawan, masing-masing Jenderal TNI (Pur) Wiranto, Jenderal TNI (Pur) Susilo Bambang Yodhoyono, dan Letjen TNI (Pur) Prabowo Subianto.Karenanya, TNI masih laris manis menjadi dagangan (komoditas) politik. Meski secara kelembagaan TNI berposisi netral, dalam praktik ia menjadi institusi yang mengalami tarik-menarik dahsyat di antara para kandidat yang memiliki latar belakang militer. Bisa dipahami karena para kandidat juga memiliki pengikut dan pembantu yang ada kalanya juga berlatar belakang militer.Dalam keadaan seperti itu, tidak sedikit para purnawirawan TNI yang harus bekerja ekstrakeras menangkis berbagai serangan terkait dengan isu HAM. Tangkisan-tangkisan atas berbagai stigma buruk yang dikhawatirkan bisa merusak reputasi yang sedang dibangun, dilakukan melalui berbagai cara.Salah satunya adalah dalam bentuk publikasi sebuah buku. Tahun 2004, Jenderal TNI (Pur) Wiranto menerbitkan buku Bersaksi di Tengah Badai. Dalam buku itu, Wiranto mengklarifikasi sejumlah isu penting, antara lain terkait hubungannya dengan Prabowo Subianto. Selain itu, meluncur pula buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para-Komando.Buku itu sontak laris karena sebagian isinya memaparkan hal-hal bernada negatif terkait Prabowo Subianto. Alhasil, Prabowo pun meluncurkan buku sebagai counter. Kedua buku terdahulu, Bersaksi di Tengah Badai dan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, secara kebetulan, menyinggung "kasus" yang melibatkan nama penulis di dalamnya.Saat membaca buku pertama, penulis endapkan sebagai pengalaman pahit. Akan tetapi tidak demikian ketika "kasus"yang sama juga disinggung Sintong. Yang kemudian mempersoalkan justru masyarakat Bali dan orang-orang terdekat pada khususnya. Terlebih lagi masyarakat Hindu di Indonesia (khususnya Bali)."Kasus"yang dimaksud adalah perihal intervensi Prabowo Subianto terhadap keputusan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang memutuskan penulis menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Lebih lengkapnya, penulis kutip dari kedua buku di atas.Kutipan dari buku Bersaksi di Tengah Badai (halaman 27): "... Pada saat saya menjabat KSAD, didasarkan suatu proses yang fair melalui persidangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) di tingkat Mabes ABRI telah diputuskan pengganti Danjen Kopassus (Mayjen Prabowo Subianto) adalah Brigjen Suwisma (Mayjen TNI SN Suwisma, ketika itu sebagai Panglima Divisi I Kostrad--pen). Namun keputusan itu sempat gagal ketika Mayjen Prabowo langsung menghadap Pak Harto untuk memberikan masukan lain mengenai calon Danjen Kopassus. Menurutnya, Brigjen Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus (ini menurut penjelasan Pak Harto kemudian kepada saya di lain kesempatan). Selanjutnya, secara pribadi diusulkan Mayjen Muchdi PR yang saat itu menjabat sebagai Pangdam di Kalimantan."Sementara itu, dalam buku Sintong (halaman 28), dipaparkan sebagai berikut. "... Begitu powerfull-nya, Prabowo dapat menggagalkan keputusan rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Sempat tercatat Wanjakti memutuskan Mayjen TNI SN Suwisma diangkat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, tetapi Prabowo memberikan masukan kepada Soeharto bahwa SN Suwisma tidak tepat untuk menduduki jabatan itu karena ia beragama Hindu yang tidak sesuai dengan sebagian besar agama yang dipeluk oleh anggota Kopassus. Akhirnya, pengangkatan Mayjen TNI Suwisma dibatalkan, kemudian diganti oleh Mayjen Muchdi PR.... Menurut Sintong, seandainya pengangkatan Suwisma tidak diintervensi, nasib Muchdi PR tidak seperti sekarang ini."Kedua fakta sejarah yang diungkap para purnawirawan jenderal tadi membersitkan fakta betapa lembaga-lembaga formal di tubuh TNI tidak berdaya karena praktik kekuasaan yang berujung pada kepentingan diri pribadi, kelompok, dan golongan dengan mengorbankan sendi-sendi lain. Bukan saja merugikan penulis pribadi, tetapi juga institusi TNI dan masyarakat Hindu pada umumnya.Terhadap institusi, maka kiprah nepotisme tadi telah merusak tradisi militer. Adapun pada sisi yang lain, betapa seorang Prabowo telah bertindak SARA tanpa berpikir akibatnya. Terlebih, TNI bukanlah institusi agama. TNI adalah alat negara, lahir dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia.Terlebih institusi Kopassus, sebagai pasukan elite, pasukan profesional di tubuh Angkatan Darat, senantiasa mengedepankan profesionalisme. Jauh dari hal-hal berbau SARA. Karenanya, fakta di atas sungguh telah menodai sendi-sendi profesionalisme dan etika dasar di tubuh TNI.***Fakta sejarah tadi tentu saja mengusik rasa masygul yang lama terpendam. Demi Ida Sang Hyang Widi Wasa, demi Tuhan Yang Maha Esa, rasa masygul tadi bukan karena penulis batal menjadi Danjen Kopassus. Sebagai prajurit Sapta Marga, setiap prajurit TNI loyal kepada keputusan pimpinan. Rasa keprihatinan mendalam semata-mata akibat empat hal. Pertama, karena telah terdistorsinya lembaga terhormat sekelas Wanjakti.Kedua, adanya tindakan indisipliner, tidak loyal, dan praktik nepotisme oleh seorang prajurit (Mayjen Prabowo). Ketiga, menggunakan isu SARA guna melegalkan upaya menghambat jabatan seseorang untuk suatu kepentingan. Keempat, menimbulkan pertanyaan banyak orang, "ada salah apa" Mayjen Suwisma sampai dibatalkan menjadi Danjen Kopassus.Insiden yang terpapar dalam kedua buku best seller tadi dengan sendirinya menguak aib ihwal jati diri dan profesionalisme TNI. Terlebih bahwa pada hakikatnya setiap prajurit memperoleh kesempatan kenaikan pangkat dan/atau jabatan berdasarkan prestasinya sesuai pola karier dengan mempertimbangkan kepentingan TNI dan memenuhi persyaratan.Esensi ini telah dilanggar dengan aksi intervensi terhadap keputusan Wanjakti tadi. Penulis masih ingat persis peristiwa menjelang Rapim ABRI, Februari 1996. Ketika itu, KSAD Jenderal (TNI) Wiranto memanggil sejumlah perwira tinggi TNI AD. Pertemuan itu antara lain membicarakan keputusan Wanjakti mengenai rencana mutasi dan promosi jabatan tinggi di lingkungan TNI, khususnya TNI AD.Keputusan Wanjakti itu adalah Jenderal Wiranto (dari KSAD menjadi Panglima ABRI), Subagyo HS (dari Wakasad menjadi KSAD), Sugiyono (menjadi Wakasad), Susilo Bambang Yudhoyono (dari Assospol Kassospol menjadi Kassospol ABRI), Prabowo Subianto (dari Danjen Kopassus menjadi Pangkostrad), SN Suwisma (dari Panglima Divisi I Kostrad menjadi Danjen Kopassus), dan Fachrul Razi (menjadi Kasum ABRI).Ada dua nama lain yang tidak masuk dalam jajaran perwira tinggi mutasi atau promosi, tetapi hadir dalam pertemuan itu, yaitu Sjafrie Sjamsudin dan Jacky Anwar Makarim. Dalam kesempatan pertemuan itu, penulis ingat, sama sekali tidak ada suara keberatan dari salah satu pihak pun terhadap hasil keputusan Wanjakti. Karenanya, menjadi topik yang sangat hangat di lingkungan TNI manakala Prabowo menempuh jalan pintas, menghadap Presiden Soeharto dan menggagalkan salah satu keputusan menyangkut diri penulis menjadi Danjen Kopassus.Selain praktik nepotisme yang dilakukan Prabowo, hal itu juga merupakan tindakan tidak sportif serta pengingkaran nyata jati diri prajurit Sapta Marga. Lebih dari itu, isu SARA (agama) yang dijadikan dasar menghambat hak seorang prajurit memperoleh kesempatan mendapatkan kenaikan pangkat dan/atau jabatan adalah noda hitam di lingkungan TNI yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, di mana semua warga negara memiliki hak sama tanpa memandang asal-usul daerah, agama, ras, dan golongan.***Insiden yang lama penulis pendam, kemudian terkuak secara terbuka oleh dua buku tersebut di atas, dengan sendirinya telah melukai warga negara bergama Hindu khususnya dan minoritas lain pada umumnya. Maka, sudah sepantasnya, demi menjaga citra dan harga diri TNI, para pihak yang terkait kasus tersebut melakukan klarifikasi serta meminta maaf secara terbuka kepada umat Hindu di Indonesia dan dunia.Tulisan ini penulis susun atas dasar desakan umat Hindu di dunia dan umat Hindu di Bali khususnya serta orang-orang dekat agar persoalan di atas mendapat perhatian yang semestinya. Terlebih, pascatereksposnya kedua buku tadi, seorang tokoh agama Hindu berkata kepada penulis, "Jangan menyesal jadi orang Hindu." Kata-kata yang sungguh menusuk. Bukan saja karena sekecil debu pun tidak ada penyesalan.Akan tetapi, jika lantaran kasus tadi berkembang pemikiran bahwa penulis menyesal menjadi orang Hindu atau karena beragama Hindu penulis gagal menjadi Danjen Kopassus, maka tentu saja penulis akan merasa bersalah jika tidak melakukan klarifikasi. Selain itu, kesaksian ini perlu penulis kemukakan, bukan saja demi menjaga citra dan jati diri luhur TNI, tetapi demi menjaga stabilitas dan kerukunan umat beragama yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama.Lebih dari itu, hal ini penulis kemukakan sebagai wujud pertanggungjawaban moral purnawirawan TNI yang tidak ingin lembaga TNI makin kehilangan kredibilitas dan jati dirinya. Ke depan, disertai harapan, tragedi yang menimpa penulis tidak akan pernah terjadi lagi di institusi TNI. Harapan pula, setiap prajurit TNI bisa menyatukan pikiran, ucapan, dan tata laksana dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan profesionalnya.(*)Sang Nyoman SuwismaMantan Wadanjen Kopassus dan Mantan Kepala Staf Kostrad

Tidak ada komentar: