Sabtu, 04 Juli 2009

Manuver Politisi

Manuver Politisi
Minggu, 4 November 2007 - 10:39 wib
Manuver politik para politisi semakin hari semakin memanas. Bagi politisi,hajatan politik 2009 sudah terasa seperti besok. Kekuasaan segera diperebutkan kembali kendati kekuasaan yang sekarang diraih belum optimal dipergunakan untuk menyejahterakan rakyat. Konsentrasi untuk membangun bangsa ini pecah akibat hasrat untuk mempertahankan, merebut,ataupun menggeser jabatan kekuasaan. Bahkan, bisa pula diibaratkan,banyak politisi berkuasa justru menjadikan kekuasaannya justru sebagai jalan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan.Di dalam berbagai kesengsaraannya menjalani kehidupan seharihari, rakyat dipaksa menonton akrobat politik yang sering tidak menarik. Pemimpin Berwatak Penguasa Begitulah tabiat pemimpin dan elite lainnya yang berwatak sebagai penguasa. Yang dipentingkan lebih pada kekuasaan daripada kepemimpinan.Mereka sering mengabaikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Semua celoteh tentang keadilan dan kesejahteraan hanya merupakan pemanis bibir.Itu tetap dilakukan meski dirinya juga tahu sudah lama rakyat jengkel dengan perilaku seperti ini. Telah lama bangsa ini dipimpin orang-orang yang menderita penyakit asosial dan tidak memiliki kepekaan terhadap rakyatnya.Empati mereka lemah dan sering abai terhadap nasib rakyat. Mereka menutup mata terhadap penderitaan rakyat.Padahal,rakyat ini sungguh-sungguh menderita bukan karena mereka malas bekerja atau tidak mau bekerja.Mereka bekerja ekstra keras tak kenal waktu,bahkan di luar akal sehat,hanya untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar.Bahkan,mereka sering menderita karena sebagian besar kebijakan yang dilahirkan negara ini jarang berpihak kepada mereka. Di dalam lobi-lobi,silaturahmi,pendekatan, penjajakan,ataupun bentukbentuk manuver lainnya,tujuan untuk keperluan persiapan perhelatan kekuasaan lebih kental.Inilah yang sering membuat jengah. Hampir satu periode kepemimpinan yang dihasilkan dari Pemilu dan Pilpres 2004,nasib rakyat tak kunjung berubah lebih baik.Justru makin banyak persoalan baru muncul dan yang lama tak tertangani dengan baik. Janji kesejahteraan di masa lalu hanyalah janji politik.Seolah bukan sebuah amanat yang harus direalisasikan. Janji mereka sulit dipegang karena mereka sekadar mendulang suara dari mereka. Setelah suara diraih,nasib petani, buruh,dan nelayan kerap dicampakkan, bahkan tak jarang direkayasa untuk diinjak-injak. Lingkaran Setan Kekuasaan Ini tragedi yang terus berulang dalam lingkaran setan kekuasaan.Lingkaran itu tak pernah putus karena rakyat hanya dijadikan objek kekuasaan.Mentalitas elite yang seperti itulah yang membuat nasib kaum kecil selalu terpinggirkan dalam sistem kepolitikan bangsa. Karakter politisi yang seperti itu mirip kata-kata puitis Kahlil Gibran, ''Orang yang mendatangkan bencana bagi bangsanya ialah orang yang tak pernah menyebar benih, menyusun bata, atau menenun kain,tapi yang menjadikan politik sebagai mata pencahariannya.'' Tabiat politisi yang demikian membuat nasib orang kecil sulit mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.Perubahan sosial,politik,dan ekonomi memang terjadi sangat drastis dalam berbagai level.Namun,itu tak terjadi dalam perubahan nasib petani dari yang miskin menjadi lebih baik. Politisi memandang politik hanya untuk kekuasaan,bukan untuk menciptakan perubahan menuju kesejahteraan. Sebab,politik hanya untuk mencari kekuasaan,orientasi mereka adalah ''Bagaimana cara saya berkuasa''.Berikutnya lalu sang politisi kerap menggunakan pola yang licik untuk menjatuhkan lawannya.Moralitas tidaklah terlalu penting bagi mereka.Yang penting bagaimana kekuasaan itu bisa direbut. Para pemimpin tidak memiliki tanggung jawab etis terhadap yang dipimpinnya. Mereka hanya dijadikan sebagai pemanis setelah diraup manisnya. Tanggung jawab etis itu hilang dari sanubari pemimpin,seperti kata Habermas, agenda etis hampir selalu runtuh dalam pergolakan kekuasaan politik. Tak mengherankan bahwa hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan popularitas pemerintahan saat ini merosot.Sebanyak 58,4% responden menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintahan saat ini.Angka 58,4% ini merupakan titik terendah tingkat kepuasan publik terhadap kinerja mereka dari berbagai survei yang dilakukan sejak 2004.Survei LSI ini dilakukan pada 9-14 September 2007 di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Pemimpin, Bukan Penguasa Kondisi bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi panjang ke depan.Visi demikian ini mengandaikan seorang pemimpin yang tidak reaktif dalam menjalankan roda pemerintahannya.Pemimpin yang reaktif hanya sibuk membela dirinya sendiri bukan untuk memperjuangkan Indonesia ke depan yang mampu mengangkat imej yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Cita-cita ini bisa tercapai bila pemimpin memiliki virtue (keutamaan). Demikian kata-kata Socrates,bahwa seorang pemimpin harus memiliki keutamaan seperti kebijaksanaan,kebenaran, keberanian,dan keadilan.Socrates, sang filosof ini tidak pernah memimpikan pemimpin yang kuat secara fisik, tinggi besar badannya,penglihatannya tajam secara fisik,tapi buta atas masalah- masalah rakyat karena dia tidak memiliki sikap bijaksana dan adil. Penguasa adalah sosok yang meletakkan kekuasaan semata-mata sebagai target politik yang sudah tercapai dan kurang atau tidak begitu hirau dengan permasalahan yang melilit rakyatnya. Karena itu,penguasa akan identik dengan pemihakan pada kaum yang secara ekonomi mapan guna melanggengkan kekuasaannya. Sementara itu,pemimpin adalah sosok bijak yang berusaha keras untuk selalu memihak pada kaum miskin dan bersikap adil terhadap segala persoalan kebangsaan.Dia akan selalu berhatihati untuk memutuskan kebijakan yang memiliki dampak sosial serius di tengah masyarakat. (*) BENNY SUSETYO PR Pendiri Setara Institute (//mbs)

Tidak ada komentar: