Sabtu, 04 Juli 2009

Cermin Retak Pemberantasab Korupsi

Cermin Retak Pemberantasan Korupsi
Kamis, 11 Juni 2009 - 09:47 wib
Reformasi sebagai sebuah komitmen politik penataan ulang bangsa ini hanya akan bermakna kalau korupsi diperangi secara sistematis. Sebagai sebuah komitmen bernilai tinggi, segera setelah (reformasi) digulirkan, dibentuklah serangkaian undang-undang.Selain membentuk undang-undang yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan negara, dibentuk juga UU No 31 Tahun 1999 menggantikan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena spektrum korupsi telah sedemikian luas, UU 31 Tahun 1999 itu pun diubah lagi. Lahirlah UU No 20 Tahun 2001. Komitmen ini menggeliat terus dengan dibentuknya UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).Kehadirannya menambah semarak bukan cuma terhadap institusi pemberantasan korupsi konvensional (kepolisian dan kejaksaan), tetapi juga menyemarakkan hiruk-pikuk politik pemberantasan korupsi di Tanah Air.Problem PolitikBerkaca pada postur pemberantasan korupsi sejak 1957 hingga kini, termasuk di belahan dunia lain, tampaknya tidak terlalu keliru untuk berdalil bahwa pemberantasan korupsi di mana pun, dalam kehidupan politik dan sistem hukum apa pun, sepenuhnya merupakan perkara politik dan hukum yang tidak netral.Perkara ini unik karena dapat dijadikan komoditas politik-- yang mungkin paling seksi. Selain itu relasi politik dan hukum dalam lingkungan politik dan sistem hukum yang demokratis sekalipun selalu menghasilkan institusi hukum yang tidak otonom. Kalangan hukum yang kritis tahu bahwa hukum tidak pernah beroperasi dalam lingkungan yang otonom. Betapa pun demokratisnya lingkungan politik selalu ada pengaruhnya terhadap pelaksanaan hukum. Bagi kalangan ini watak substansial hukum boleh saja responsif, tetapi tidak untuk penegakannya.Nixon, Presiden Amerika Serikat yang dituduh terlibat dalam apa yang dikenal dengan Irangate, dan Bill Clinton dalam beberapa kasus beberapa waktu yang lalu menjadi buktinya. Menariknya, korupsi tetap menjadi isu genit bagi segelintir orang politik. Apalagi kalau kenyataannya korupsi berlangsung sedemikian telanjang, sistematis, dan kemelaratan rakyat bergerak ke arah titik nadir serta kebobrokan penegakan hukum sudah sedemikian menjengkelkan.Menariknya pula rakyat banyak tidak akan tergerak dalam memerangi masalah ini. Mungkin tepat tesis Gaetano Mosca bahwa orang-orang yang terbanyak memang terlahir untuk diperintah. Karena itu tidak keliru kalau dikatakan bahwa membayangkan munculnya gairah rakyat untuk menggempur korupsi pasti merupakan sebuah mimpi yang terlalu buruk. Sama buruknya dengan memimpikan uluran tangan politisi dan pengusaha untuk bahu-membahu menggempur korupsi (Ichlasul Amal, 1991). Dalam sejumlah kasus, politisi dan pengusaha justru saling membutuhkan.Apalagi politisi mungkin, karena kodratnya, selalu dibelit kebutuhan-kebutuhan terhadap uang yang tak ada ujungnya untuk membiayai pergerakan politik mereka. Tidak terlalu mengherankan kalau mereka selalu bergairah membangun jalinan persahabatan politis dengan sebagian besar pengambil keputusan dalam birokrasi, termasuk penegak hukum. Koneksi ini selalu indah dan dinanti-nanti oleh mereka. Bos-bos di bawah menteri juga memerlukan koneksi dengan para pengusaha dan politisi untuk berbagai macam alasan dan kebutuhan.Mimpi BurukBangsa ini memiliki catatan sejarah yang menarik tentang pemberantasan korupsi. Sejak 1957, bangsa kita telah berurusan dengan isu busuk ini. Namun isu ini cuma menggeliat sebentar, ditandai dengan beberapa petinggi di kabinet Juanda dibawa ke pengadilan pada akhir tahun 1958.Setelah itu langsung meredup. Berakhirnya politik Banteng salah satunya disebabkan tidak adanya dukungan politis fanatik oleh partai politik dan birokrasi terhadap politik ini. Kegagalan yang sama terjadi dalam politik pemberantasan korupsi pada pemerintahan Presiden Soeharto. Secepat kilat isu pemberantasan korupsi naik tensinya dan secepat kilat pula isu ini menghilang ditelan gegap gempita pembangunan.Sistem hukum yang berinduk pada sistem politik kala itu, dengan presiden di puncaknya, jelas berandil besar terhadap matinya politik pemberantasan korupsi pada masanya. Reformasi boleh saja muncul menggantikan Orde Baru, tetapi politik pemberantasan korupsi tetap saja cuma indah dalam pidato-pidato dan di warung-warung kopi.Korupsi tetap saja sama gilanya dengan masa lalu dan hukum tetap saja tertatih-tatih, persis seperti pada masa lalu, terutama di daerah yang kurang tersorot oleh pers nasional. Terbunuhnya wartawan Radar Bali, demonstrasi yang berujung perkelahian antara demonstran dengan petugas kejaksaan di Kendari, pemblokadean jalan di Situbondo beberapa waktu lalu, tak jelasnya penanganan laporan Agus Condro, tak kunjung tuntasnya penyelesaian RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai kasus lain menjadi contoh tanpa menutup mata terhadap sejumlah kasus korupsi yang telah diungkap.Contoh tersebut cukup untuk menandai kerapuhan politik kita dalam memberantas korupsi. Postur politik hukum pemberantasan korupsi yang demikian itu paralel dengan cermin retak. Cermin, betapapun parah keretakannya, tetap dapat digunakan untuk becermin walaupun pasti tidak dapat memantulkan bayangan kita secara utuh. Cermin ini akan terus berlanjut sampai ada orang yang sangat jujur di panggung politik memimpin perang melawan korupsi.Selama tidak ada orang seperti ini, selama itu pula politik pemberantasan korupsi tetap berkarakter cermin retak-retak. Apalagi kalau politik pengisian jabatan beroperasi dengan biaya tertentu dan kompetisi pengisian jabatan politik juga beroperasi dengan biaya ekstra. Kalau situasi ini menjadi postur asli pemberantasan korupsi, mimpi tentang kesejahteraan rakyat benar-benar merupakan mimpi buruk.(*)Margarito KamisDoktor dalam Bidang Hukum Tata Negara(//mbs)

Tidak ada komentar: