Sabtu, 04 Juli 2009

Inggris dan Islam Konmopolitan

Inggris dan Islam Kosmopolitan
Jum'at, 2 November 2007 - 10:54 wib
Soal Islam kosmopolitan yang didiskusikan dengan Marie le Guin di parlemen Prancis rasanya relevan juga jika diteropong lewat kehidupan Islam di Inggris.
Pemerintah Inggris tidak mengabaikan sama sekali keberadaan kaum muslimin, tetapi mengajaknya dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Islam kosmopolit yang dibawa oleh Gus Dur seperti yang kami diskusikan di parlemen Prancis tampaknya lebih bersambut di Inggris. Kesan ini diperoleh setelah kami melakukan diskusi dengan Muhammad Bilal Abdallah, seorang tokoh Islam yang juga Direktur Ebrahim Community College, sebuah lembaga pendidikan Islam yang sangat aktif di London. Rombongan saya tiba di London pada Jumat pagi tanggal 19 Oktober ketika Kota London diliputi udara dingin. Saat akan melakukan salat Jumat, ternyata sangat mudah bagi kami untuk mencari masjid. Kuasa Usaha Ad Interim KBRI di London Dewa Made Sastrawan menawarkan beberapa tempat kepada kami untuk melakukan salat Jumat. Di Masjid Sultan Qatar yang kami pilih sebagai tempat salat ternyata salat Jumat diselenggarakan sampai dua gelombang karena masjid berlantai tiga itu tak mampu menampung jamaah jika hanya dilakukan satu gelombang. Di Inggris terdapat tak kurang dari 3.000 masjid yang tersebar di berbagai tempat. Pengalaman ini sangat kontras dengan yang kami lihat di Cordoba, Spanyol, yang ternyata sangat sulit mencari masjid. Padahal, Islam pernah berjaya di Spanyol selama tak kurang dari hampir delapan abad (785 tahun) dan pernah memiliki Masjid Cordoba yang pada masanya merupakan masjid terbesar di dunia. Sekarang ini Masjid Cordoba malah menjadi katedral atau gereja induk yang oleh otoritas pengelolanya disebut The Mother Church of the Deoceses.Statement SBY-Blair Meski dari terminologi politik mungkin kurang tepat, tidaklah berlebihan ketika AM Fatwa mengatakan bahwa masyarakat Inggris tidaklah sekuler karena justru agama Islam berkembang pesat di sana. Umat Islam sebagai entitas dengan jumlah kira-kira 2 juta orang di Inggris tidaklah dipinggirkan oleh pemerintah, melainkan diakomodasi di dalam politik dan pemerintahan. Direktur Ebrahim Community College Muhammad Bilal Abdallah menjelaskan bahwa banyak pejabat Inggris yang sering mengajak tokoh-tokoh Islam untuk membicarakan berbagai persoalan, terutama jika ada kebijakan yang mungkin akan bersinggungan dengan kaum muslimin. Bahkan, pada Lebaran 2007 ini Wali Kota London menyelenggarakan halalbihalal di Trafargal Square. Bukan hanya itu. Ternyata di parlemen Inggris sudah ada wakil rakyat yang beragama Islam, baik di House of Commons (DPR) maupun di House of Lords (Senat) yang jumlahnya mencapai 11 orang. Menurut Muhammad Bilal, hampir dapat dipastikan bahwa pada pemilu yang akan datang jumlah orang Islam di parlemen akan bertambah. Kenyataan ini sangat menarik karena ketika di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini ada satu-satunya orang muslim yang terpilih menjadi senator, itu menjadi berita yang besar, padahal penduduk AS jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Inggris. Perkembangan lebih positif tentang sikap Pemerintah Inggris terhadap umat Islam terjadi setelah dikeluarkannya Joint Statement antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair pada 30 Maret 2006 ketika PM Inggris itu berkunjung ke Jakarta. Setelah pernyataan bersama itu, Pemerintah Inggris mengkreasi pembentukan The Indonesia-UK Islamic Advisory Group (IAG) yang dengannya dibukalah jalur-jalur konsultasi antara umat Islam dan pemerintah, termasuk membicarakan sertifikasi makanan halal bagi umat Islam yang dijual di tempat-tempat umum. Lebih dari itu, berbeda dari masa lalu atau dari sementara negara lain, Inggris tidak pernah lagi mengaitkan terorisme dengan Islam. Ketika beberapa waktu yang lalu terjadi aksi teror yang menggemparkan Inggris, Pemerintah Inggris ternyata hanya menyebut pelakunya sebagai teroris tanpa sama sekali mengaitkan dengan agama yang dipeluknya. Ini sangat positif dalam membangun saling pengertian karena tak ada satu agama pun yang membenarkan terorisme. Teroris bisa muncul dari penganut agama apa pun meski sudah pasti pada dasarnya teror itu dilarang oleh agama yang dipeluk para teroris itu sendiri.Islam Kosmopolitan Melihat hubungan umat Islam dengan pemerintah dan masyarakat Inggris yang seperti itu rasanya menjadi penting bagi umat Islam Indonesia untuk lebih memasyarakatkan penghayatan Islam yang kosmopolit. Sebagai negara bangsa yang begitu majemuk dari segi etnis dan agama, mungkin kita perlu belajar dan meniru Inggris. Kalau kaum muslimin Inggris yang jumlahnya sangat minoritas masih dihargai dan dihormati hak asasinya, umat Islam Indonesia pun seharusnya belajar dari sana untuk menghormati dan menghargai hak asasi pemeluk agama lain yang mungkin minoritas di Indonesia. Tak boleh ada teror atau penghakiman terhadap pemeluk agama lain. Ini sangat penting karena sebagai bangsa kita sudah mempunyai modus vivendi (kesepakatan luhur) untuk hidup bersatu dalam kebinekaan dengan ikatan Pancasila. Modus vivendi itu menuntut kita saling toleran dan beradab terhadap pemeluk agama lain, tanpa melihat besar-kecilnya jumlah pemeluknya karena masalah pemelukan setiap orang terhadap agama itu secara universal merupakan hak yang paling asasi. Secara sederhana Islam kosmopolitan dimaksudkan bahwa Islam itu harus bermanfaat bagi umat manusia, ramah, tak ditakuti, dan menimbulkan rasa damai bagi setiap orang.Yang diperjuangkan dalam Islam kosmopolitan adalah nilai-nilai universal yang inklusif yang pasti diterima oleh setiap orang. Perjuangannya tidak menghendaki formalisasi atau simbol-simbol eksklusif yang memberi kesan mengecilkan kelompok lain, melainkan menekankan diri pada nilai dasarnya yang universal seperti menegakkan keadilan dan hukum dalam bentuk perlawanan terhadap penguasa yang korup dan zalim, pembelaan terhadap kaum lemah, dan sebagainya. Di dalam konsep ini yang diperjuangkan adalah Allah sebagai rabbul ?alamien dan Islam sebagai rahmatan lil ?alamien. Di Indonesia sebenarnya sudah banyak tokoh penggagas dan pejuang Islam kosmopolitan dengan jutaan pengikutnya. Selain Gus Dur, kita masih dapat menyebut nama Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman, dan sebagainya.Tetapi sayangnya ada saja orang Islam sendiri yang usil dengan mengatakan mereka sebagai Islam liberal dalam konotasi yang negatif, bahkan ada yang menyebutnya sesat. (*) Moh Mahfud MD, Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta (//mbs)

Tidak ada komentar: