Jumat, 03 Juli 2009

Peranan Liaison Officer Dalam Penganganan TKI

Peran Liaison Officer dalam Penanganan TKI
Senin, 22 Juni 2009 - 09:42 wib
Berita tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang jadi korban kejahatan, terutama yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT), seakan tidak ada habisnya.Permasalahan yang menimpa para TKI itu mulai dari tidak dibayar gajinya, pelecehan seksual, perkosaan, penyiksaan/penganiayaan sampai kematian. Keprihatinan begitu mendalam, apalagi mengingat betapa kejamnya perlakuan yang harus diterima para TKI tersebut, maka segala potensi yang ada harus dikerahkan untuk melindungi mereka.Apalagi tampaknya tidak satu pun pasangan capres yang berani menyampaikan dalam agenda politiknya untuk menghentikan pengiriman TKI. Artinya pengetatan mekanisme pengiriman dan pengoptimalan perlindungan tak bisa ditawar lagi. Sekalipun keberadaan TKI di luar negeri melalui penyalur jasa (PJTKI), negara tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja meski tentu penyalur tersebutlah yang paling bertanggung jawab. Bila TKI menjadi korban kejahatan, pada umumnya kita saling tuding mengenai pihak yang paling bertanggung jawab.Cara penyelesaiannya-- mulai dari kepulangan baik dalam keadaan terluka maupun meninggal hingga tetek bengek lain--hanya menjadi objek komoditas saling serang. Padahal bila TKI jadi korban, permasalahannya tidak sesederhana itu karena seharusnya penyelesaian masalah lebih dari sekadar memulangkan, tetapi juga ada kaitannya dengan masalah hukum yang tidak mudah. Atas kasus demi kasus yang terjadi tersebut, banyak pihak menanyakan komitmen negara yang dipandang tidak optimal.Bahkan baru-baru ini pemerintah menyatakan tidak punya anggaran untuk menyediakan pengacara bagi TKI yang jadi korban dan akan memerkarakan kasusnya. Alangkah ironis, seharusnya negara bertanggung jawab dalam arti luas, misalnya menekan PJTKI untuk membiayai masalah hukumnya. Selain itu pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana agar para pengacara Indonesia melaksanakan fungsi sosialnya (pro bono), bukannya malah menyatakan tidak ada anggaran.Lihat saja dalam Undang- Undang No 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik jelas dicantumkan tentang kewajiban negara menjamin hak rasa aman bagi warga negara di mana pun mereka berada. Tanggung jawab negara ini bisa dilakukan dengan berbagai mekanisme dengan menggunakan sarana peraturan yang ada untuk penanganan yang komprehensif dan terpadu antara pihak departemen/kedutaan, Dinas Tenaga Kerja, PJTKI, dan Kepolisian RI (Interpol/NCB Indonesia).***Peran kepolisian inilah yang kurang disoroti, padahal mereka telah menyediakan tenaga profesional yang dapat meringankan beban para TKI terkait perlindungan keamanan mereka di luar negeri. Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian RI No 2 Tahun 2002 dinyatakan bahwa fungsi Polri adalah sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, tidak hanya di wilayah RI, tetapi juga di luar negeri. Selain itu pada 2003 dibentuk liaison officer (LO) atau perwira polisi penghubung yang merupakan bagian dari NCB/Interpol Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.Seharusnya keberadaan LO ini bisa dioptimalkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang terlibat perkara pidana dan bisa bersifat preventif, bukan seperti sekarang. Semestinya para TKI bisa meminta perlindungan dan bantuan LO bila keberadaannya disosialisasikan. Tugas pokok LO adalah memfasilitasi penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan lintas negara dengan kepolisian negara setempat serta memelihara dan meningkatkan hubungan/kerja sama antara Polri dengan kepolisian negara setempat.Mereka bisa bertindak sebagai konsultan bidang hukum bila ada WNI yang diadili di wilayah/kawasan konsul di negara penugasan. Berkaitan dengan tugas tersebut semestinya pengertian kejahatan lintas negara juga dalam arti bahwa antara si pelaku dan korban adalah berbeda kewarganegaraan seperti yang terjadi antara TKI dan para majikan mereka di luar Indonesia. Selain itu, seharusnya para LO bukan saja memberikan atau bertindak sebagai konsultan hukum untuk warga negara yang diadili, tetapi juga ketika mereka jadi korban.Hal ini sangat penting sehingga TKI yang menjadi korban bisa mendapatkan haknya dan bisa melakukan sesuatu yang sangat mendasar, yaitu membuat pelaku diadili seadil-adilnya. Sebetulnya peran LO sangat diperlukan, terutama terkait perlindungan TKI dari ancaman kejahatan di luar negeri. Fungsi ini bukan saja dalam hal melakukan penanganan ketika terjadi kejahatan, tetapi juga melakukan tindakan preventif seperti memberikan penyadaran hak-hak hukum mereka/bekal pengetahuan hukum, termasuk langkah-langkah hukum apabila terjadinya suatu kejahatan.***Seharusnya ketika calon TKI akan diberangkatkan, selain diberi bekal keterampilan khusus juga diberi pengetahuan hukum praktis seperti hak tersangka, hak korban, dan informasi hukum negara yang dituju yang sistem hukumnya berbeda. Untuk hal ini seharusnya NCB/Interpol (dalam hal ini terkait tugas LO) melakukan kerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja/PJTKI sejak sebelum diberangkatkan dan selama di luar negeri, terutama bila TKI menjadi korban kejahatan majikan.Misalkan seorang TKI menjadi korban kejahatan di Malaysia, belum tentu mereka mau melaporkan tindak pidana kepada aparat kepolisian setempat karena berbagai alasan. Ketakutan adanya perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum Malaysia atau justru mereka bisa mengalami hal yang lebih buruk (second victimizations). Tentu hal ini perlu dicarikan terobosan dalam penegakan hukum pidananya.Bekerja sebagai pembantu rumah tangga sangatlah rentan dari ancaman kekerasan dan mereka cenderung terisolasi dari akses publik sehingga ketika mereka menghadapi bahaya yang mengancam dirinya sangatlah sulit untuk segera diketahui masyarakat sekitar dan tidak ada perlindungan sama sekali.Sebagai hal yang juga seharusnya disosialisasikan adalah bahwa tugas pokok LO (termasuk adanya jenjang senior liaison officer/SLO) yang lain adalah menyelenggarakan pertukaran data dan informasi kriminal dengan pihak NCB-Interpol negara setempat tentang pelaku kejahatan, modus operandi, jaringan pelaku, dan informasi lain yang diperlukan dalam upaya penanggulangan maupun pengungkapan terhadap suatu tindak kejahatan yang bersifat transnasional.Selain itu terdapat tugas LO, antara lain bertindak sebagai konsultan di bidang hukum bila ada WNI yang diadili di wilayah/kawasan konsul di tempat penugasan dan dapat ditugaskan oleh Pemerintah Republik Indonesia atau badan-badan pengadilan Indonesia bertindak sebagai mediator antara kepolisian di kota penugasan dengan Polri atau bertindak sebagai negosiator antara kepolisian di kota penugasan dan SLO Polri di negara penugasan.Tugas seperti yang telah diatur ini mestinya bisa dimanfaatkan juga ketika TKI di luar negeri menjadi korban seperti yang kerap terjadi. Sejauh ini LO/ SLO Indonesia telah ditempatkan di Canberra, Riyadh, Manila, Kuala Lumpur, Bangkok, Timor Leste, Kuching, Tawau, Penang, dan Washington. Mengingat TKI banyak juga yang dikirim ke Taiwan, Singapura, dan Arab Saudi, semestinya pemerintah segera menempatkan LO di sana. Tentu saja peran dari LO ini akan berjalan dengan baik tidak lepas atas dilakukannya terlebih dahulu langkah kerja sama antarnegara dan ini sangat tergantung pada kesungguhan Departemen Luar Negeri walaupun kerja sama antarpolisi juga bisa saja dilakukan (police to police).Harus ada koordinasi yang bagus antara Deplu dan kepolisian dan ini kadang memang tidak mudah untuk Indonesia. Misalnya saja yang harus dipahami bahwa dalam PP RI No 68 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hubungan dan Kerja Sama Kepolisian Negara RI, terdapat ketentuan dalam hal penempatan perwira Polri di luar negeri dilaksanakan melalui konsultasi dengan Menteri Luar Negeri.Pada akhirnya dalam rangka membenahi kewajiban negara atas terjadinya kejahatan yang menimpa TKI atau TKI yang terlibat sebagai pelaku kejahatan di luar negeri, bukan berarti bahwa tanggung jawab hanya akan diserahkan kepada LO, tetapi tetap harus komprehensif, terutama terkait tanggung jawab PJTKI, jangan hanya mengirimkan saja setelah itu lepas tanggung jawab dan tidak bisa memantau sama sekali.Namun, bagaimanapun juga, tanpa kesungguhan pemerintah, mustahil masalah korban TKI bisa terselesaikan.(*)Dr Yenti Garnasih, SH, MHDosen Hukum Pidana Universitas Trisakti(//mbs)

Tidak ada komentar: