Sabtu, 04 Juli 2009

Pengadilan Tipikor dan Sopir bus PPD

Pengadilan Tipikor dan Sopir Bus PPD
Selasa, 9 Juni 2009 - 10:05 wib
Adalah Sutiyoso, Gubernur DKI ketika itu, yang mengirim 20 sopir bus ke Singapura beberapa tahun lalu. Sutiyoso memenuhi permintaan Perdana Menteri (PM) Negeri Singa itu karena tidak ada warga Singapura yang mau menjadi sopir bus.Beberapa bulan kemudian, Sutiyoso menanyakan, bagaimana kinerja sopir yang dikirim? PM Singapura berterima kasih karena kinerja sopir yang dikirim baik sekali. Tak tahan dengan tingkah laku sopir bus PPD di Jakarta, Sutiyoso meminta PM Singapura, mengembalikan beberapa sopirnya. Maksudnya, dengan sopir yang berperilaku baik di Singapura tersebut, budaya kerja sopir bus PPD di Jakarta bisa diperbaiki yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja BUMD ini.Apa yang terjadi setelah tiga sopir dari Singapura itu bertugas kembali di Jakarta? Ternyata, sikap disiplin, rajin, jujur, dan taat asas terhadap peraturan lalu lintas yang diterapkan sopir tersebut hanya bertahan sepekan. Sesudah itu, mereka kembali melebur dalam tradisi dan budaya kerja sopir bus PPD, sama seperti budaya kerja manusia Indonesia selama ini.Korupsi & Reformasi BirokrasiDilihat dari motifnya, ada tiga jenis korupsi: korupsi karena kebutuhan, korupsi karena serakah, dan korupsi karena peluang. Biasanya, korupsi yang terjadi di lingkungan instansi pemerintah dan lembaga negara 90% disebabkan kebutuhan. Maklum, gaji mereka jauh dari mencukupi. Namun, korupsi yang dilakukan anggota legislatif tergolong serakah karena penghasilan yang diperoleh melebihi keperluan dasar mereka.Namun, baik korupsi yang dilakukan PNS, hakim, polisi, jaksa maupun oleh anggota legislatif menjadi subur karena peluang yang masih menganga di setiap pojok birokrasi. Dengan kata lain, sistem birokrasi yang ada masih koruptif. Reformasi birokrasi masih merupakan obsesi. Bahkan Inpres No 1 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi yang digagas KPK, belum menghasilkan perubahan signifikan. Survei integritas yang dilakukan KPK (2008), menunjukkan hasil yang memasygulkan hati.Lima belas instansi pelayanan publik di pusat menempati peringkat teratas dalam penerapan budaya koruptif. Bahkan MA dan Departemen Keuangan sebagai pilot project reformasi birokrasi mencapai integritas terendah: 4,43 dan 5,06 (nol, terjelek dan 10, terbaik). Menurut survei Transparansi Internasional tahun 2008 tentang BKG (Baromoter Korupsi Global), MA dan kepolisian mendapatkan angka 4,1 dan 4,4 ( 0, bebas korupsi, 5 paling korup).Korupsi & Budaya KerjaMengapa sopir bus PPD yang bertugas di Singapura berprestasi? Budaya kerja di sana jauh berbeda dengan yang ada di Jakarta. Begitu duduk di kursi sopir, semua yang dilakukan sesuai SPO (standar prosedur operasi), yaitu memastikan semua komponen bus dalam keadaan baik, senantiasa mengenakan sabuk pengaman, tidak mengambil atau menurunkan penumpang kecuali di halte bus, penumpang tidak bisa naik dan turun seenak perut karena pintu bus tertutup dan terbuka secara otomatis.Sopir juga tidak bisa mengorup uang tiket karena penumpang menggunakan kartu langganan atau memasukan koin ke kotak yang ada di pintu masuk, sopir juga tidak melanggar rambu lalu lintas karena ada "malaikat" di setiap perapatan yang disebut computerise system. Budaya kerja sopir bus PPD Singapura seperti itu dilakukan juga oleh setiap insan Singapura. Baik karyawan, guru, dosen, mahasiswa, pelajar, pelayan toko, pramusaji maupun clining service.Bagi PNS, sebelum pukul 8 (pukul 7 waktu Jakarta), harus sampai di kantor karena jam kerja dari pukul 08 s/d 16.15.Terlambat 5 menit, gaji bulan berikut akan dipotong. Begitu sampai di ruang kerja, dia langsung mengisi time sheet, apa yang dikerjakan kemarin. Lalu dia mulai dengan tugas rutin. Dia tidak beranjak dari kerjanya kecuali untuk ke toilet sampai tiba waktu istirahat. Tidak ada obrolan sesama teman, kecuali mengenai tugas. Itu pun seperlunya.Dia akan pulang lewat jam kantor kalau tugas hari itu belum selesai, dan tidak dihitung sebagai lembur. Jika dia tidak mencapai kinerja, minimal 40 jam sepekan, promosinya lamban. Insentif akhir tahun tidak akan diperoleh sebesar sebulan gaji. Kalau kinerjanya baik, dia bisa memperoleh lebih dari sebulan gaji. Jadi seseorang dibayar sesuai dengan prestasinya, bukan PGPS (pandai goblok, pendapatan sama). Budaya kerja seperti inilah yang diterapkan di KPKPengadilan Tipikor & Hakim Ad HocSemua terdakwa di Pengadilan Tipikor dijatuhi hukuman. Adapun kasus korupsi yang disidangkan di peradilan umum dari tahun 2005-2008 tercatat 659 dari 1421 kasus (46%), terdakwanya bebas. Penyebab utama adalah pertama, hakim di peradilan umum seluruhnya hakim karier.Di majelis hakim Pengadilan Tipikor, ada 2 hakim karier dan 3 hakim ad hoc. Kedua, hakim ad hoc berasal dari akademisi, aktivis LSM, pengacara, atau aktivis yang memiliki idealisme, hidup bersama masyarakat dan memahami serta selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat. Ada pula pensiunan penegak hukum yang memiliki rekam jejak yang baik, meski jumlahnya terbatas. Adapun hakim karier hakim selama ini terkooptasi oleh pola pikir dan budaya kerja penegak hukum khususnya dan PNS pada umumnya.Ketiga, budaya kerja di jajaran MA masih budaya lama. Kalau ada hakim dan panitera yang jujur, disiplin dan tegas, dia akan dialienasi oleh kawan-kawannya. Hakim seperti ini akan dimutasi ke daerah terpencil sehingga mereka yang tidak biasa hidup jauh dari kota besar akan mengalami konflik batin. Budaya kerja di MA seperti ini akan mendorong seorang hakim untuk kompromistis karena dia tidak mau pensiun dengan golongan yang rendah.Ini karena promosi atau kenaikan golongan tidak didasarkan pada kinerja, tetapi apakah dia menjadi penurut dan anak manis terhadap atasan. Bagi hakim ad hoc, tidak ada beban seperti itu sehingga mereka bekerja sepenuh hati. Kalau harus dipecat, dia akan kembali ke habitatnya sebagai pahlawan. Adapun hakim karier, ketika pensiun, disambut oleh masyarakat sebagai pengkhianat dan kurang laku dalam masyarakat Pengadilan Tipikor tak ubahnya darah bersih bagi KPK.Seperti tubuh manusia, KPK tanpa Pengadilan Tipikor, akan mengalami kejang-kejang, loyo, lemas, bahkan bisa terkena stroke karena kekurangan darah. Memang, jika Pengadilan Tipikor dibubarkan, KPK bisa mengajukan perkara ke peradilan umum. Tetapi, seperti dikatakan di atas, dengan budaya kerja MA dan peradilan umum yang ada sekarang, kinerja KPK akan anjlok.Akibatnya, semangat Reformasi 1998 pudar, efisiensi dan efektivitas dalam pemberantasan korupsi hilang. Pada gilirannya tujuan hukum tidak tercapai, yaitu tegaknya keadilan, adanya kepastian hukum, serta manfaat yang diperoleh rakyat, hanya merupakan utopia. Pemberantasan korupsi kembali pada pola orde baru dan koruptor tampil sebagai pemenangPemerintah Tidak SeriusMengapa Singapura dan beberapa negara Skandinavia bisa minim korupsinya? Penyebabnya, pimpinan memiliki kemauan politik (political will) untuk memberantas korupsi.Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia jauh dari harapan itu. Mereka hanya pandai berwacana, apalagi dalam momen tertentu seperti pilkada, pileg, dan pilpres. Hakikatnya, perilaku mereka masih koruptif. Ketidakseriusan pemerintah bisa dilihat dari dua hal. Pertama, putusan MK terbit tahun 2005. Pemerintah baru mengajukan RUU tahun 2007 sehingga DPR berdalih tidak cukup waktu untuk membahasnya. Jika pemerintah serius, RUU itu bisa disiapkan dalam 3 bulan. Mengapa? Putusan MK hanya menyangkut rumah Pengadilan Tipikor, bukan isinya.Jadi isi dari Pengadilan Tipikor yang ada dalam rumah UU Nomor 30/2002 (bab VII) dipindahkan saja ke dalam undang-undang tersendiri. Kedua, isi Pengadilan Tipikor yang ada dalam UU Nomor 30/200 diobok-obok sehingga menghilangkan prinsip lex specialis yang ada dalam pemberantasan korupsi. Anggota majelis hakim yang tadinya terdiri dari 2 hakim karier dan 3 hakim ad hoc diubah menjadi 3 hakim karier dan 2 hakim ad hoc. Bahkan eksistensi hakim ad hoc nyaris terkubur.Maksudnya dapat ditebak: jika terjadi voting, hakim karier--dengan budaya kerja yang ada--bisa membebaskan koruptor kalau ada order dari penguasa. Baik penguasa eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pengusaha. Tragis!(*)Abdullah HehamahuaPenasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tidak ada komentar: