Sabtu, 04 Juli 2009

Memaafkan Soeharto?

Memaafkan Soeharto?
Rabu, 9 Januari 2008 - 10:21 wib
Beberapa hari lalu, mantan presiden Soeharto kembali masuk rumah sakit. Kondisinya sempat kritis (tak heran kalau Sabtu malam, 5 Januari 2008, sempat beredar pesan singkat yang mengabarkan bahwa mantan orang nomor satu itu sudah meninggal), walau kemudian berangsur-angsur membaik. Tak dapat dimungkiri, apa pun yang terjadi pada diri Soeharto merupakan berita penting. Pertama, karena di satu sisi banyak orang yang mengakui Soeharto besar jasanya bagi negeri ini,namun di sisi lain tak kurang pula orang yang menganggap Soeharto banyak kesalahannya selama berkuasa. Kedua, karena anggapan banyaknya kesalahan Soeharto, maka dirinya dituntut untuk diadili secara hukum.Namun,hingga kini proses hukum atas dirinya tak kunjung tuntas.Hal itulah yang kerap menimbulkan kontroversi sampai sekarang.Selalu saja ada pihak-pihak yang mengatakan, "Soeharto sebaiknya diampuni dan proses hukumnya dihentikan", sementara pihak-pihak lain berpendapat, "Soeharto boleh saja dimaafkan,namun proses hukum atas dirinya harus tetap berjalan." Saat Soeharto diberitakan kritis (5 Januari lalu), misalnya, Ketua DPR Agung Laksono berharap proses hukum orang nomor satu di era Orde Baru itu dihentikan, mengingat jasajasanya selama 32 tahun memerintah negeri ini. "Sesuai Pasal 35 c UU Kejaksaan, Jaksa Agung bisa mengesampingkan kasus Soeharto. Status hukum Pak Harto sampai sekarang adalah tidak layak diperadilankan karena tidak sehat," ujarnya. Sebaliknya, mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan proses hukum terhadap Soeharto harus diteruskan bila dia sembuh dari sakitnya. Lantas, bagaimana kita harus menyikapi persoalan ini? Saya yakin, umumnya rakyat Indonesia ikhlas memaafkan Soeharto. Sebab, rakyat Indonesia adalah orang-orang beragama yang paham betul apa artinya memaafkan, apalagi terhadap mantan pemimpin yang sudah uzur. Jadi, para politisi tak usah repot-repot mengimbau rakyat untuk menghargai Soeharto. Sebaliknya, para politisi hendaknya sadar betul mereka harus memberikan pendidikan politik yang benar kepada rakyat. Jadi, kalau mereka mengatakan "Sebaiknya kesalahan-kesalahan Soeharto dilupakan dan proses hukumnya dihentikan," disadari atau tidak mereka telah membodohi rakyat karena telah memberikan pendidikan politik yang amat jauh dari kebenaran. Mengapa demikian? Pertama, karena di setiap negara hukum (rechstaat) berlaku prinsip "setiap orang sama di muka hukum". Jadi, jika Indonesia betul-betul konsisten sebagai negara hukum, Soeharto dan siapa pun seharusnya diperlakukan sama secara hukum.Artinya, kalau dia bersalah,hukum harus ditegakkan dan karena itu sanksi hukum harus dijatuhkan kepadanya- tak hirau dia pernah berjasa besar bagi bangsa ini.Hanya dengan begitu kepastian hukum dapat terwujud. Dengan demikian pulalah niscaya kewibawaan hukum makin diakui dan dihormati oleh setiap warga negara. Kedua, sebelum sampai kepada pemberian sanksi hukum tersebut, tentu saja orang yang bersangkutan harus diproses secara transparan dan adil oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Terkait kasus Soeharto, ada dua lembaga yang berwenang: kejaksaan sebagai pihak penuntut, dan pengadilan sebagai pihak yang memutuskan tuntutan itu. Di luar itu, baik Presiden,Ketua DPR,dan pihakpihak lain sama sekali tidak berwenang mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Jadi, alihalih melontarkan pernyataan yang berdampak negatif bagi pendidikan politik rakyat, lebih baik pihak-pihak yang tidak berwenang itu menahan diri untuk tidak bicara. Begitulah sikap yang terpuji, meski pasif.Tetapi lebih terpuji lagi jika mereka bersikap aktif, yakni terus-menerus mengingatkan bahwa ada ketentuan hukum setingkat di bawah UUD 45 yang harus ditegakkan: Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.Jadi,kalaupun mereka terdorong untuk bicara, mestinya mereka mengimbau semua pihak yang terkait dalam rangka pemberantasan korupsi untuk bekerja secara maksimal dalam rangka mengusut kasus-kasus korupsi-termasuk kasus-kasus korupsi yang melibatkan Soeharto. Seandainya mereka memperlihatkan sikap seperti itu kepada rakyat, rasanya pantas kita memuji mereka sebagai pemimpin yang baik, pemimpin yang sadar betul akan jabatan publik yang disandangnya. Namun, jika sikap sebaliknya yang diperlihatkan, mereka jelas bukan pemimpin yang baik. Mereka justru patut dicela sebagai pihak-pihak yang kontrapenegakan hukum. Ketiga, secara logika, memaafkan atau mengampuni seseorang harus didahului dengan permohonan maaf atau ampun oleh orang yang bersangkutan. Terkait dengan kasus Soeharto, jika dia sendiri selama ini tak pernah memohon maaf atau ampun, lalu bagaimana kita bisa memutuskan untuk memaafkan atau mengampuni dia? Kalaupun dia mengajukan permohonan itu, seharusnya ada kejelasan perihal kesalahan apa saja yang pernah dia lakukan. Sebab, harus dipahami, dalam konteks ini Soeharto berhadapan dengan negara maupun rakyat Indonesia secara politik.Jadi,jika rekonsiliasi diharapkan terjadi,ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: kebenaran diungkapkan; pihak yang bersalah mengakui kesalahannya, lalu memohon maaf; setelah itu barulah pihak-pihak lain yang pernah dirugikan akibat kesalahan (Soeharto) itu memberi maaf kepadanya. Terkait dengan poin ketiga ini, alangkah absurdnya jika kita secara dini memutuskan untuk memaafkan Soeharto, padahal Soeharto sendiri belum pernah memohon maaf dan sementara itu kasusnya masih sedang diproses secara hukum. Jadi, selain belum jelas betul apakah Soeharto diputuskan bersalah atau tidak oleh pengadilan, kita pun seperti orang yang "gede rasa" karena memberi maaf kepada orang yang belum tentu merasa bersalah kepada kita. Akhirnya, ada dua hal yang teramat penting untuk kita pikirkan terkait kasus Soeharto ini. Pertama, pendidikan politik yang benar harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia yang sedang menantinantikan ujung dari proses hukum atas diri Soeharto. Kedua, di negara hukum ini, setiap putusan hukum haruslah ada dasar hukumnya. Jadi, biarkanlah proses hukum atas diri Soeharto terus berlangsung hingga tuntas. Setelah itu, jika pengadilan memutuskan Soeharto bersalah, barulah kita layak memutuskan untuk memaafkannya. Tetapi, mengingat kesalahan yang dituduhkan kepada Soeharto adalah kasus korupsi, setidaknya sebagian atau entah berapa persen dari harta Soeharto disita oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat.Pemerintah hendaknya tidak ragu melakukan hal ini. Sebab, pada 8 Maret 1998, di tengah krisis moneter yang sangat mengguncang perekonomian Indonesia, Soeharto pernah berkata, "Dengan semangat kejuangan dan Saptamarga, jangankan harta, jiwa pun akan dipasrahkan untuk pengabdian kepada bangsa dan negara ini".(*) Dr Victor Silaen Dosen Fisipol UKI

Tidak ada komentar: