Sabtu, 04 Juli 2009

Cincin Emas Rakyat Bagi DPR RI Purna Tugas

Cincin Emas Rakyat
Jum'at, 12 Juni 2009 - 11:18 wib
Kemarin diberitakan bahwa anggota DPR akan memperoleh cenderamata sebagai tanda penghargaan di akhir masa jabatan mereka (2004?2009).
Cenderamata itu akan berupa cincin emas dan anggaran yang disiapkan untuk keperluan aksesori itu berjumlah Rp5 miliar. Pertanyaan publik adalah berhakkah mereka memperoleh cincin emas di akhir masa jabatannya? Pimpinan DPR tentu akan menjawab, seperti biasanya, bahwa cenderamata itu memang sudah dianggarkan. Masalah kita tentu bukan soal legalitas dari anggaran itu, tetapi moralitas dari pemberian cincin emas.
Cincin emas adalah lambang dari penghargaan publik pada prestasi, dedikasi, dan integritas seseorang. Jadi pertanyaan etisnya adalah layakkah anggota parlemen memperoleh penghargaan itu bila selama lima tahun ini moralitas parlemen justru jatuh di mata publik? Bukankah korupsi dan berbagai skandal anggota parlemen justru mendominasi berita media massa selama ini sehingga publik justru mempertanyakan kapasitas etis dan etos dedikasi mereka?
Survei internasional tentang persepsi terhadap korupsi (Global Corruption Barometer) yang dipublikasikan beberapa hari lalu oleh lembaga Transparansi Internasional memperlihatkan bahwa parlemen kita adalah lembaga yang dianggap paling korup oleh masyarakat. Tentu saja persepsi publik tidak jatuh begitu saja dari langit. Terus-menerus mata publik diarahkan pada parlemen. Yang ditatap adalah perilaku wakil rakyat, yaitu mereka yang dimandati oleh rakyat untuk memperjuangkan keadilan. Terutama dalam soal itulah sesungguhnya demokrasi diselenggarakan.
Artinya, menjalankan politik parlemen, khususnya melalui fungsi legislasi, berarti mengupayakan terjadinya distribusi keadilan bagi rakyat. Inilah sesungguhnya etika tertinggi parlemen. Ia adalah tempat demokrasi diolah secara etis dan dari situ hasilnya didistribusikan secara adil kepada rakyat.
***
Mengolah demokrasi dengan cara etis memerlukan sejumlah prasyarat berat. Sang anggota parlemen sudah harus memahami prinsip tertinggi dari politik representasi, yaitu bahwa dia adalah pelayan rakyat. Bahkan lebih jauh lagi, dia adalah budak dari keadilan. Dengan titik pijak imperatif inilah anggota parlemen bekerja. Pelayan rakyat berarti dia hanya bekerja untuk kepentingan dan demi keadilan bagi rakyat. Demi itu, dia mengabaikan godaan korupsi, kepentingan diri, dan keangkuhan jabatan.
Dipandang dari sudut itu, tuntutan etis adalah primer bagi anggota parlemen. Perilaku dan pikirannya harus mencerminkan kepedulian tertingginya kepada rakyat. Kita harus menagih sikap itu dari mereka karena hanya itu yang menjadi ikatan antara rakyat dan parlemen. Artinya, parlemen memang hanya didirikan untuk mengolah keadilan sosial. Jadi, sikap sosial seorang anggota parlemen harus ditampilkan sebagai sikap publik. Dia harus mampu mengorganisasi kepribadiannya agar mampu menundukkan arogansinya dalam melayani rakyat.
Masalah fundamental kita harihari ini adalah bahwa instalasi demokrasi kita tidak dikelola dengan sikap etis yang otentik. Defisit etika publik secara kasatmata kita saksikan pada kasus-kasus korupsi yang pelakunya justru adalah anggota DPR yang dimandati untuk berbuat adil. Etika publik adalah acuan primer untuk mengukur kepekaan keadilan seorang wakil rakyat. Dalam tuntutan imperatif etis tertinggi, si wakil yang adalah budak rakyat seharusnya tidak boleh lebih berkuasa dan lebih makmur daripada rakyat yang adalah tuannya.
Sayang sekali prinsip utama ini tidak dipahami oleh wakil rakyat. Anggota DPR kita justru menganggap berkedudukan lebih tinggi daripada rakyat. Dia lupa bahwa dia adalah pengemis suara rakyat pada waktu pemilu. Jadi bila arogansi kekuasaan datang menggantikan etika publik,tidak mungkin dapat diharapkan sikap keadilan mengalir dari diri sang anggota DPR.
***
Tentu kita perlu mengusut lebih jauh penyebab defisit etika publik ini. Hal pertama yang segera tampak jelas adalah kondisi sistem kepartaian kita. Partai-partai politik kita memang tidak didirikan atas dasar kesadaran politik publik. Artinya, partai-partai itu memang bukan milik rakyat, melainkan milik pendirinya. Jadi, sejak awal sudah terkandung sifat elitisme dalam kehidupan kepartaian kita.
Sifat elitisme ini tampak jelas dalam struktur kepemimpinan partai: kekuasaan pendiri partai sangat menentukan. Dengan kata lain, elemen feodalisme sesungguhnya masih sangat kuat menentukan proses politik dalam partai.
Akibatnya kaderisasi partai tidak berjalan karena kepentingan elitis para pendiri partai tetap menjadi acuan utama pengambilan keputusan. Dilihat dari aspek feodalisme internal partai ini, mudah dipahami bila anggota DPR memang tidak dilatih berempati dengan kepentingan publik. Kepentingan elite partailah sesungguhnya yang lebih dilayani ketimbang kepentingan publik. Dengan kata lain, kepekaan pada keadilan publik memang tidak diajarkan dalam politik partai. Dalam kondisi semacam inilah perpolitikan koruptif tumbuh.
Artinya, kekuasaan tidak dipahami sebagai alat untuk mendistribusikan keadilan, melainkan alat untuk mengakumulasi kekayaan pribadi. Jadi, parlemen tidak lagi dipandang sebagai asosiasi kepentingan publik, melainkan sekadar sebagai lokasi lobi dan transaksi kepentingan-kepentingan privat. Soal lain yang berkaitan dengan kondisi koruptif dari partai dan parlemen kita adalah tidak adanya politik oposisi yang sesungguhnya.
Politik oposisi yang kita rasakan sekarang lebih sebagai upaya balas dendam politik dari elite yang kalah dalam pemilu dan bukan sebagai upaya mencerdaskan publik. Karena itu kita tidak melihat suatu distingsi ideologi yang ketat dalam praktik oposisi. Artinya, oposisi tidak dijalankan berdasarkan perbedaan garis perjuangan politik. Itulah sebabnya kita menyaksikan kerja sama antara dua partai yang sebetulnya secara ideologis berbeda, tetapi kepentingan kekuasaan telah menyatukannya demi transaksi politik jangka pendek.
Tidak adanya partai oposisi yang sungguh-sungguh mengambil jarak dari kekuasaan mengakibatkan politik kita bekerja secara superpragmatis. Akibatnya, nilai-nilai yang seharusnya menjadi sumber pegangan kebijakan publik diganti oleh kepentingan- kepentingan tukar-tambah kekuasaan jangka pendek di antara elite partai. Dengan kata lain, publik dijauhkan dari pelajaran hak-hak kewarganegaraan dan politik justru dipraktikkan di dalam pasar gelap kekuasaan.
Selama satu dekade Reformasi ini kita sebetulnya baru memiliki peralatan untuk menjalankan demokrasi (partai, parlemen, Mahkamah Konstitusi), tapi belum mempergunakan peralatan itu untuk mendistribusikan keadilan kepada publik.
***
Kebutuhan kita untuk menjadikan demokrasi sebagai percakapan politik warga negara memerlukan pegangan etika publik yang kuat. Hal utama yang kita perlukan sekarang ini adalah pendidikan etika publik bagi anggota DPR sehingga minimal para wakil rakyat itu mau merendahkan hati di depan kepentingan publik. Hanya dengan sikap itu dia berhak secara moral mengenakan cincin emas rakyat di akhir masa pengabdiannya.(*)
Rocky Gerung.Dosen Filsafat Universitas Indonesia(//jri)

Tidak ada komentar: