Sabtu, 04 Juli 2009

Jalan Ketiga, Bukan sekedar Jalan Tengah

Jalan Ketiga, Bukan Sekadar Jalan Tengah
Jum'at, 5 Juni 2009 - 10:18 wib
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 di Indonesia cukup menarik karena diwarnai perdebatan terkait ideologi ekonomi para pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).Boediono yang berpasangan dengan SBY ditengarai banyak pihak sebagai salah satu pengusung utama ekonomi neoliberal di Indonesia. Tuduhan yang langsung dibantah lewat pidato politik saat deklarasi pencalonannya sebagai wapres mendampingi SBY.Sebagai pemahaman awal, kalau dalam liberalisme klasik manusia dipandang sebagai homo economicus dalam kegiatan ekonomi, dalam agenda neoliberalisme manusia dilihat sebagai makhluk ekonomi dalam semua aspek kehidupan mencakup bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Ketika dibatasi pada bidang ekonomi, neoliberalisme juga disebut sebagai "fundamentalisme pasar".Setahun pasca-Tragedi 11 September 2001 yang meruntuhkan Menara Kembar WTC (sebagai simbol kapitalisme Amerika Serikat/AS) yang menewaskan ribuan korban tak berdosa, di hadapan 25.000 pendukung gerakan perdamaian di Kota Koeln, Jerman, pemenang Nobel Perdamaian Johan Galtung berbicara tentang tiga corak fundamentalisme yang telah menjadikan penduduk bumi sebagai tawanannya.Tiga corak fundamentalisme tersebut, meski berasal dari "kultur" berbeda, memiliki filosofi serupa, yaitu faksi Wahabi Osama bin Laden, faksi puritan Protestan asal Inggris yang kemudian menemukan lahan subur di AS, serta fundamentalisme pasar.Menurut Galtung, pengikut fundamentalisme corak pertama dan kedua adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap perbuatan kriminal di belakang Tragedi 11 September dan pengeboman Afghanistan serta Irak dengan korban puluhan ribu warga sipil tak berdosa. Keduanya merasa sebagai manusia pilihan Tuhan dengan doktrin:"Siapa pun yang tidak ikut saya adalah musuh saya (he/she who is not with me is against me)." Keduanya begitu mirip sehingga Galtung memplesetkan "George bin Laden dan Osama Bush, yang demi keyakinan, merasa bahagia karena mendapat pahala dengan membunuh ribuan manusia." Corak ketiga, fundamentalisme pasar, tak kalah kejam.Para pengikutnya tidak peduli ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap hari, 100.000-an orang mati, terutama karena pasar merampok makanan dan kesehatan mereka. Betapa tidak? Seperempat dari mereka yang mati itu semata-mata akibat lapar.Bagi George Soros, yang mempopulerkan istilah ini, fundamentalisme pasar saat ini demikian berkuasa sehingga siapa pun yang tidak berkiblat pada kebebasan pasar--karena mempunyai gagasan serta cita-cita ekonomi yang lain--bakal dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif.Soros yang sebenarnya memperoleh keuntungan miliaran dolar dari kapitalisme global menyebut fundamentalisme pasar sebagai "ancaman yang jauh lebih besar dibandingkan semua bentuk ideologi totaliter yang pernah ada". Termasuk ideologi Nazi Jerman yang selama ini diakui paling kejam. Soros sendiri nyaris menjadi tahanan Kamp Auschwitz dan hanya bisa lolos karena menggunakan dokumen palsu.***Pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz menyebut fundamentalisme pasar adalah basis teori--Thatcherisme, Reaganomics, dan "Konsensus Washington"-- untuk mempercepat privatisasi dan liberalisasi serta menjadikan bank sentral sebagai lembaga independen dengan satu tugas, yaitu memerangi inflasi.Fundamentalisme pasar juga memiliki keterkaitan sangat erat dengan neoliberalisme, aliran dominan yang menjadi dasar berbagai kebijakan G-8, IMF, dan Bank Dunia. Berbeda dengan klaim pendukung neoliberal, semaraknya perekonomian seusai Perang Dunia II tidak melulu disebabkan liberalisme perdagangan, tetapi juga berkat kebijakan kesejahteraan oleh negara.Ketika itu, sebuah konsep ekonomi (new deal) berlandaskan teori Keynes diluncurkan Pemerintah AS. Sasarannya, peningkatan permintaan pasar dan deficit spending untuk memberantas pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat. Lewat "bantuan pembangunan" (baca: utang), negara-negara berkembang diasumsikan mampu mengatasi ketertinggalannya dari negara kaya.Di satu sisi, konsep fundamentalisme pasar diakui bisa bermanfaat dalam upaya mengurangi mentalitas rent seeking para birokrat. Namun, di sisi lain, fundamentalisme pasar yang sebagai perwujudannya dalam bidang ekonomi meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang gagal memenuhi janjinya.Kesenjangan antara negara kaya dan miskin serta antarlapis sosial dalam sebuah negara semakin lebar. Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu bertumpu pada premis ekonomi pasar. Pertama, asumsi fundamentalisme pasar bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja tidak terbukti.Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar sepekulatif yang digelembungkan (spekulativer marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan kekuatan ekonomi sesungguhnya dari berbagai perusahaan anggotanya. Tanpa regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas ekonomi sebuah negara, kawasan atau bahkan dunia seperti yang diperlihatkan oleh "Krisis Asia" yang dampaknya masih terasa bagi Indonesia hingga saat ini.Kedua, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global. Memang harus pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas. Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang mengeruk kekayaan alam negara berkembang.***Sebenarnya, kita semua berharap negara berperan sebagai "penjaga" konstitusi, mengacu pada Pasal 33 UUD 45 yang dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kasus seperti ini, sosial demokrasi yang menawarkan "jalan ketiga", menurut pemahaman saya, seharusnya mendorong negara untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang condong kepada segelintir perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas penderitaan mayoritas rakyat. Jalan ketiga bukanlah sekadar "jalan tengah".(*)Ivan HadarWakil Pemred Jurnal Sos Dem

Tidak ada komentar: