Sabtu, 04 Juli 2009

Menyikapi Imperium Iran

Opini
Menyikapi Imperium Iran
Senin, 15 Juni 2009 - 09:31 wib
Presiden Mahmoud Ahmadinejad kembali memenangi Pemilihan Presiden Iran yang berlangsung pada hari Jumat (12/6/2009). Berdasarkan hasil penghitungan suara yang dilansir Kementerian Dalam Negeri Iran kemarin, calon presiden yang dikenal cukup keras ini berhasil mendapatkan suara sebanyak 62,6% atau 25,5 juta suara.Perolehan suara Ahmadinejad cukup telak dibandingkan perolehan suara tiga calon lain, termasuk pesaing utamanya dari kubu reformis, Mir Hossen Mousavi, yang hanya mendapatkan 34% suara atau 13,2 juta suara. Adapun dua calon lain (Mohsen Rezai dan Mehdi Karroubi) masing-masing mendapatkan 1,73% atau 678.240 suara dan 0,85% atau 333.635 suara (Seputar Indonesia,14/6/2009).Dengan hasil di atas, berakhir sudah "teka-teki" politik terkait dengan politik Iran ke depan. Sebagaimana dimaklumi bersama, tampilnya Mir Hossen Mosavi dalam Pemilihan Presiden Iran kali ini sempat membawa "angin politik baru".Hal ini tak lain karena Mosavi dikenal cukup moderat dan lebih akomodatif, baik dalam konteks politik kawasan pada level regional Timur Tengah maupun dalam konteks politik global. Dalam lima tahun ke depan, Iran masih akan menjalani politik yang berkarakter "Ahmadinejad". Sebuah politik yang identik dengan semangat perlawanan, penuh keberanian, bahkan juga konfrontatif.Politik ImperialisDalam beberapa hal, politik Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad bisa dikatakan sarat dengan gaya "politik imperialis". Pada umumnya, politik seperti ini dimainkan Iran dalam berhubungan dengan dunia luar. Tidak hanya dunia luar dalam arti kawasan jauh seperti Eropa atau Amerika Serikat (AS), melainkan juga dunia luar dalam arti kawasan dekat seperti negara-negara Timur Tengah yang tak lain adalah tetangga Negeri Kaum Mullah itu.Persoalan isu nuklir bisa dijadikan sebagai contoh untuk melihat politik imperialis ala Iran. Sebagaimana dimaklumi bersama, Iran di bawah kepemimpinan Ahmadinejad mengklaim mempunyai hak untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya. Berbeda dengan yang dituduhkan oleh AS dan negara-negara Barat pada umumnya, Iran mengklaim perkembangan uraniumnya untuk kepentingan sipil seperti untuk pembangkit tenaga listrik.Walaupun mendapatkan tekanan keras dari Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Bush dahulu, Iran tak mau "menundukkan kepala". Bahkan Iran menyatakan siap bila harus berperang demi mempertahankan klaimnya di atas. Adanya politik "lunak" dari AS di bawah kepemimpinan Obama semakin mengukuhkan sikap politik Iran.Politik lunak AS yang dimaksudkan Obama untuk mendorong Iran agar lebih terbuka dan jujur dalam persoalan isu nuklirnya (sekaligus untuk menghindari opsi perang) justru dipahami sebagai pembenaran terhadap sikapsikap politik Iran selama ini sehingga inti persoalan isu nuklir (sejauh mana benar tidaknya Iran mengembangkan senjata nuklir) semakin tidak terpotret dengan jelas.Menariknya adalah simpati dan dukungan dari banyak pihak (terutama dari dunia Islam) terus mengalir seolah membenarkan sikap Iran. Negeri ini acap dipahami sebagai pahlawan yang membela hak-hak mereka yang selama ini dirugikan oleh sistem perpolitikan global. Di sini dapat ditarik kesimpulan sementara, sikap politik Iran seperti di atas merupakan "proses menjadi" dari imperium baru yang terbentuk dari kekuatan-kekuatan politik yang berada di belakang Iran.Bisa jadi, hal ini hanyalah kebetulan yang tak pernah direncanakan oleh petinggi-petinggi Iran sebelumnya. Namun juga sangat dimungkinkan, hal ini sudah dirancang secara matang oleh Iran jauh hari sebelumnya. Inilah yang penulis maksud dengan politik imperialis Iran. Dalam konteks politik kawasan Timur Tengah, politik imperialis Iran tampak secara lebih kasatmata.Dalam beberapa waktu terakhir Iran acap bersitegang dengan negara-negara tetangga, terutama negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara-negara Arab garda depan seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania. Gagalnya megaproyek rekonsiliasi dunia Arab dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-21 Liga Arab beberapa bulan lalu cukup menjelaskan tingkat ketegangan yang terjadi antara dunia Arab dengan Iran di satu sisi dan ketegangan antara negara Arab yang loyal kepada Iran dengan negara Arab yang kontra Iran di sisi yang lain.Secara cukup mendadak dan mengejutkan banyak pihak, Presiden Mesir Hosni Mobarak menyatakan tidak akan datang dalam KTT yang berlangsung di Doha, Qatar, itu. Ketidakhadiran Mobarak ini tidak terlepas dari posisi Qatar yang cukup loyal kepada Iran.Dalam keterangan persnya yang dilakukan bersama Sekjen Liga Arab Amru Mosa, Perdana Menteri Qatar Sheikh Hamad bin Jassim bin Jabir at-Tsani secara gamblang mengakui bahwa dirinya "tak dapat mengatakan hubungan Qatar dengan Mesir dalam keadaan sangat baik".Sheikh Hamad bin Jassim melanjutkan bahwa "hubungan yang tak dapat dikatakan sangat baik" ini terjadi lantaran negaranya melakukan hubungan dengan Iran tanpa izin dan kesepakatan terlebih dahulu. Padahal, masih menurutnya, semua pihak melakukan apa pun sesuai dengan kemaslahatannya (As- Sharq al-Awsat, 29/3).Selama ini beredar isu spekulatif bahwa Iran menciptakan faksi-faksi politik yang loyal dan berjuang untuk kepentingan mereka di dunia Arab seperti Hizbulloh di Lebanon, Hamas dan Jihad Islam di Palestina. Bisa dikatakan, ini bukan hanya isu spekulatif. Karena sejauh ini sudah cukup banyak pihak yang mengakui keterkaitan faksi-faksi di atas dengan Iran.Dalam sebuah buku berjudul Blueprint Hizbulloh: Rahasia Manajemen Ormas Islam Tersukses di Dunia, Syeikh Naim Qassem yang tak lain adalah mantan Wakil Sekjen Hizbulloh secara gamblang mengakui hal di atas. Menurutnya, Iran tak hanya mendukung Hizbulloh, melainkan turun langsung dan membentuk Hizbulloh, yaitu melalui Pasukan Garda Revolusi Iran (2008).Bahkan, sebuah surat kabar harian terbesar di Timur Tengah, As-Sharq Al-Awsat, pernah melansir wawancara langsung dengan mantan Dubes Besar Iran di Suriah (Muhamamd Hasan Akhtari) yang mengafirmasi semua informasi tersebut. Menurutnya, pembentukan ini berjalan lancar melalui Suriah yang dimulai semenjak kepemimpinan Hafiz Al- Asad (ayah Bassyar Al-Asad, Presiden Suriah sekarang) mendukung dan menjadi sahabat Iran (edisi 14/5/2008).Di sejumlah tulisannya yang terbit di media-media Timur Tengah, analis politik terkemuka Thariq Al-Hamid menengarai Iran menjadikan isu konflik Israel-Palestina sebagai magnet politik untuk kepentingan mereka. Isu ini dimainkan oleh Iran dengan memosisikan diri sebagai pahlawan yang hendak mendukung dan membela hak-hak Palestina.Untuk kepentingan ini, contohnya, Ahmadinejad sering mengkritik para pemimpin negara Arab yang dianggap tidak melindungi dan membela Palestina. Sejauh ini, isu konflik Israel-Palestina memberikan keuntungan cukup besar kepada Iran. Hal ini terlihat jelas dari dukungan sejumlah pihak terhadap sikap politik Iran.Tak hanya dari rakyat Palestina atau dunia Arab, melainkan juga dari dunia Islam pada umumnya. Hampir sama dengan isu nuklir, Iran berhasil mendapatkan keuntungan besar seperti ini karena dianggap sebagai pahlawan. Padahal, meminjam istilah yang pernah digunakan Thariq Al- Hamid, seberapa banyak korban jiwa rakyat Iran dalam membela hak Palestina? Tidak ada!Sebaliknya, semakin keras suara Iran memprovokasi rakyat Palestina untuk melawan Israel, semakin banyak pula korban jiwa warga Palestina. Dalam hal ini, dukungan terhadap perjuangan Palestina tidak cukup hanya disampaikan dengan cara-cara provokatif. Karena cara seperti ini hanya semakin membuat banyak rakyat Palestina yang menjadi korban.Adalah benar bahwa Palestina harus melawan dan mendapatkan kemerdekaannya.Namun menjadi salah kaprah bila orang luar terus berteriak "dari dalam rumahnya" agar rakyat Palestina terus berperang dan jatuh sebagai korban. Bila sungguh-sungguh dan ikhlas, mestinya orang luar datang ke bumi Palestina dan berjuang sendiri sebagai contoh konkret dari politik perlawanan yang mereka suarakan.Juga benar bahwa Palestina harus merdeka. Namun yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah bagaimana perjuangan rakyat Palestina tidak harus membuat mereka berguguran sebagai korban perang dan konflik. Inilah mungkin yang tak terpikirkan oleh Iran. Karena, bagi mereka, yang terpenting rakyat Palestina terus berperang dan Iran terus mendapatkan keuntungan.Sikap Dunia IslamDalam hemat saya, dunia Islam (termasuk Indonesia) harus mampu menyikapi imperium Iran secara cerdas. Karena, sejatinya, dukungan atau bantuan politik dapat meringankan beban mereka yang dibantu. Bila sebuah "bantuan" malah menambah jumlah korban jiwa (seperti sikap Iran dalam persoalan Palestina), mungkin tidak terlalu salah bila dunia Islam berpikir lebih kritis terkait dengan kepentingan apa yang ada di balik "bantuan" Iran tersebut.Tanpa itu, dukungan yang ada terhadap Iran tak ubahnya "cek kosong" yang bisa digunakan untuk kepentingan apa pun. Tak kalah pentingnya, apa yang dilakukan Iran tak seharusnya dipahami sebagai perwakilan aspirasi dunia Islam. Selain karena adanya perbedaan kepentingan di dunia Islam (seperti antara dunia Arab dan Iran di atas), juga karena ada perbedaan tradisi yang cukup kuat antara Iran sebagai negeri Syiah dengan dunia Islam yang pada umumnya mengikuti aliran Sunni. Berhubungan dengan itu, kita semua sudah selayaknya berpikir secara lebih matang apakah politik imperium Iran ini memang cocok untuk kepentingan semua umat Islam atau hanya satu golongan saja?(*)Hasibullah SatrawiPengamat Politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta(//mbs)

Tidak ada komentar: