Jumat, 03 Juli 2009

Dari Lady Di ke Manohara

Dari Lady Di ke Manohara
Kamis, 18 Juni 2009 - 09:33 wib
Kasus Manohara memang fenomenal. Ketika seluruh umat Republik Indonesia sedang termehek-mehek dengan kampanye capres/cawapres, dia tetap bisa berkibar di peringkat teratas media massa (khususnya infotainment).Tentu pula Republik Indonesia ikut bersyukur bersama Mama Daisy setelah Manohara berhasil dibebaskan secara dramatis dari sebuah hotel di Singapura dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Sayangnya, begitu tiba di Indonesia, bukannya simpati dari seluruh bangsa yang berkembang, tetapi malah Manohara dan mamanya membuat banyak musuh di negeri sendiri.Para pembelanya, aktivis perempuan Ratna Sarumpaet dan pengacara OC Kaligis, mengundurkan diri dengan alasan Manohara tidak kooperatif. Dia sudah dijanjikan untuk pemeriksaan dokter oleh pengacara, dokternya pun sudah siap, Manohara dan mamanya malah sibuk wawancara ke sana-ke sini berbagi air mata.Sebuah e-mail dari seorang staf KBRI di Singapura yang terjun langsung dalam proses pembebasan Manohara di Singapura masuk ke e-mail saya lewat sebuah milis. Isinya tentang bagaimana tim KBRI di Singapura bersama staf US Embassy dan polisi Singapura ikut mengevakuasi Manohara.Kontribusi KBRI yang paling vital adalah menerbitkan surat keterangan pengganti paspor untuk Manohara (yang tidak membawa paspor) dan tiket pesawat ke Jakarta--padahal semua pesawat sudah penuh dan Manohara mendesak terus untuk segera dipulangkan. Tanpa dua hal itu tidak mungkin Manohara keluar dari Singapura (walaupun dia juga warga negara Amerika Serikat).Sebelumnya, KBRI Malaysia juga membantah bahwa KBRI sama sekali tidak membantu Manohara dalam urusannya dengan Pangeran Kelantan, suami Manohara. Polda Metro Jaya juga komplain kepada media massa tentang kelakuan Mama Daisy dan Manohara yang tidak mau hadir saat dipanggil (sampai dua kali panggilan) untuk memberi kesaksian tentang laporannya sendiri.Terakhir, dokter ahli forensik yang sudah memeriksa Manohara, yang tadinya sudah memastikan adanya tindak kekerasan, membuat wawancara sendiri dengan media untuk menyatakan bahwa dia hanya dapat memastikan adanya bekas-bekas luka atau kena benda keras pada tubuh Manohara, tetapi tidak bisa menentukan apakah terjadi kekerasan atau tidak.Masih diperlukan penyidikan polisi untuk menentukan adanya pelanggaran hukum di sini. Namun, terlepas dari kontroversi kasus Manohara, saya ingin mengajak pembaca untuk membandingkannya dengan kasus Lady Diana (Lady Di).***Seperti Manohara, Lady Di juga anak orang kebanyakan. Dia menikah pada usia 20 tahun, masih dalam usia remaja akhir, yang masih suka hura-hura, jauh dari adat keraton yang serba mengikat. Dapat dimengerti bahwa Lady Di juga shock ketika memasuki lingkungan Istana Buckingham.Dia sulit menyesuaikan diri dengan ibu mertuanya, Ratu Elizabeth, dan merasa terkekang oleh suaminya, Pangeran Charles, yang tampan tapi kaku itu. Singkatnya, apa yang dialami Manohara dan Lady Di banyak kemiripannya. Keduanya remaja berasal dari keluarga nonbangsawan, tiba-tiba dimasukkan ke dalam kalangan kerajaan yang serbaformal dan serba mengekang (banyak dayang-dayang dan pengawal, banyak peraturan, bahkan untuk difoto pun harus diatur senyumnya).Keduanya mengalami apa yang dalam ilmu-ilmu sosial disebut dengan kejutan budaya (culture shock). Lady Di yang masih doyan berenang memakai bikini dan bertualang naik gunung dan Manohara yang masih suka belanja-belanja ke mal dan bercanda dengan teman-temannya (sebagaimana semua remaja sedunia) tiba-tiba harus kehilangan semua itu. Gelimang harta dan kedudukan serta kekuasaan tidak dapat menggantikannya.Maka frustrasilah kedua putri itu. Namun berbeda dari Manohara, Lady Di menyalurkan frustrasinya ke kegiatan-kegiatan sosial. Dia mengurusi anak-anak korban HIV/AIDS dan anak-anak telantar sedunia. Bahkan dia sempat bertemu dengan Ibu Theresa. Tidak berapa lama, nama Lady Di lebih terkenal daripada Pangeran Charles.Namun tampaknya penyaluran energinya pada kegiatan-kegiatan sosial tidak bisa melepaskan hasrat Lady Di dalam asmara. Dia pun terlibat perselingkuhan dan akhirnya tewas dalam kecelakaan akibat melarikan diri dari incaran wartawan infotainment yang di sana disebut paparazzi.Manohara tidak berselingkuh karena dia memilih cara memberontak sejak awal. Dengan segala cara dia mencoba membebaskan diri dari kekangan perkawinan dengan Pangeran Kelantan itu dan dia berhasil walaupun dengan kondisi babak belur. Pada hari-hari mendatang bahkan sangat mungkin dia harus menghadapi tuntutan hukum dari pihak keluarga Kesultanan Kelantan.Lebih seru lagi, bukan hanya Manohara dan keluarganya yang akan berhadapan dengan keluarga Kesultanan Kelantan, tetapi bisa jadi juga berimbas ke hubungan antara Kerajaan Malaysia dan Republik Indonesia yang akan makin buruk setelah terjadinya berbagai masalah seputar "pencurian" hak cipta batik, reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, serta hak wilayah atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan dan Ambalat.***Perkawinan beda budaya banyak terjadi, apalagi di zaman sekarang sudah dianggap biasa. Tidak semua gagal karena kejutan budaya. Banyak yang berhasil, tetapi untuk itu diperlukan pemahaman dan toleransi yang sangat besar. Perkawinan ditempatkan di atas segalanya, termasuk kepentingan individu, keluarga, etnik, adat, bahkan agama dan rasa kebangsaan.Salah satu "kekeliruan" Manohara dan ibunya, yang juga umum pada sebagian besar orang Indonesia, adalah menganggap bahwa orang Malaysia (khususnya kaum bumiputranya) adalah bangsa serumpun, sebahasa Melayu dan seiman Islam dan sebagainya.Padahal pada hakikatnya kebudayaan kedua bangsa berbeda cukup signifikan. Pandangan orang Malaysia tentang perkawinan, poligami, hak-hak perempuan, hak-hak PRT, feodalisme, dan sebagainya sangat berbeda dari pandangan main stream (arus utama) bangsa Indonesia (karena di Indonesia sendiri sangat banyak ragam pandangan yang berbeda).Tidak berarti orang Malaysia kurang baik dibandingkan dengan orang Indonesia atau sebaliknya, tetapi berbeda (bahasa Indonesia) adalah berbeza (bahasa Malaysia). Jadi waspadalah pada perbedaan atau perbezaan untuk menghindari kejutan-kejutan budaya yang tidak diharapkan, yang akibatnya bisa fatal seperti dalam kasus Manohara dan Lady Di.(*)Sarlito Wirawan SarwonoDekan Fakultas Psikologi UPI/YAI

Tidak ada komentar: