Sabtu, 04 Juli 2009

Harga Minyak & Subsidi BBM

Harga Minyak & Subsidi BBM
Kenaikan harga minyak dunia yang sempat menembus USD97 per barel telah menyita perhatian berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kalangan bisnis dan rumah tangga. Meski pemerintah hingga kini belum berencana mengubah asumsi dalam APBN-P 2007 dan APBN 2008, tetapi hal itu tidak berarti kenaikan harga minyak tidak menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian. Kenaikan harga minyak memengaruhi neraca pembayaran Indonesia, khususnya terhadap pengelolaan anggaran negara (APBN). Sebab kenaikan harga minyak mentah dunia akan mempengaruhi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP). Kenaikan ICP ini memengaruhi APBN berupa kenaikan pendapatan negara sekaligus kenaikan belanja negara. Artinya, kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan migas menjadi meningkat. Bahkan, sasaran dan realisasi penerimaan migas dalam APBN sejak 2000 hingga 2007 selalu terlampaui. Kenaikan pendapatan negara bersumber dari contract production sharing (KPS) atau bagi hasil dari produksi bersama minyak dan gas melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selain itu, meningkatkan pendapatan dari pajak penghasilan migas dan penerimaan lain.Sedangkan di sisi belanja negara,kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan listrik serta dana bagi hasil ke pemerintah daerah. Untuk 2007, apabila harga minyak dunia meningkat sebesar USD1 per barel, defisit APBN diperkirakan akan berkurang sekitar Rp48 miliar-Rp50 miliar. Angka tersebut diperoleh dari adanya peningkatan pendapatan sekira Rp3,24 triliun hingga Rp3,45 triliun dikurangi peningkatan belanja negara sekira Rp3,19 -3,4 triliun. Dengan dasar perhitungan itu, asumsi harga minyak mentah dunia yang tercatat USD96 per barel bahkan diperkirakan bisa mencapai USD100 per barel, APBNP 2007 tidak akan terganggu. Lebih dari itu, bisa memperoleh surplus Rp1,44 triliun hingga Rp1,92 triliun. Bahkan, menurut perhitungan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas DESDM, setiap kenaikan harga ICP USD1 per barel menyebabkan keuntungan tambahan (windfall profit) sebesar Rp3,3 triliun dengan asumsi kurs rupiah setara Rp9.050 per dolar. Namun, keuntungan itu masih harus dipotong dengan biaya subsidi BBM. Kuota BBM bersubsidi dalam APBNP 2007 adalah 36,1 juta kiloliter. Kuota itu terdiri atas kuota premium 16,6 juta kiloliter, minyak tanah 9,6 juta kiloliter dan solar 9,9 juta kiloliter sehingga surplusnya tinggal Rp0,19 triliun untuk setiap kenaikan USD1 per barel. Beban Subsidi BBM Kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan migas dalam APBN meningkat. Pada sisi lain, kenaikan harga minyak juga menyebabkan pengeluaran negara meningkat. Dampak negatif kenaikan harga minyak terutama akibat beban subsidi energi (BBM dan listrik). Apalagi, sejak 2000 hingga 2007 realisasi subsidi BBM selalu lebih tinggi dari target yang ditetapkan dalam APBN. Subsidi dalam APBNP 2007 sebesar Rp105,023 triliun, terdiri atas subsidi energi Rp88,048 triliun dan subsidi nonenergi Rp16,805 triliun. Subsidi energi itu terdiri atas subsidi BBM Rp55,604 triliun dan subsidi listrik Rp32,444 triliun. Sementara subsidi energi untuk APBN 2008 sebesar Rp75,590 triliun. Besaran subsidi tersebut terdiri atas subsidi BBM dan elpiji Rp45,807 triliun dan subsidi listrik Rp29,783 triliun. Jika kebutuhan BBM dan subsidi BBM untuk listrik dimasukkan, dampaknya secara keseluruhan menjadi negatif. Sebab belanja subsidi BBM termasuk BBM untuk PLN membengkak. Setiap kenaikan USD1, ongkos subsidi ke PLN naik Rp600 miliar. Tampak jelas bahwa kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan dari sektor migas meningkat. Pada sisi lain, kenaikan harga minyak menyebabkan beban subsidi BBM dan subsidi listrik dalam APBN menjadi meningkat. Kondisi ini jelas memprihatinkan karena penerimaan yang meningkat dari sisi migas justru harus dikurangi dengan beban subsidi BBM dan listrik yang nilainya cukup besar. Beban subsidi BBM dan listrik telah menyebabkan APBN tersandera sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pengeluaran untuk fasilitas publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi terganggu. Menyadari hal itu, pemerintah sejak 2000 telah melakukan pengurangan volume BBM dan hingga 2007 sudah dilakukan pengurangan volume, sehingga subsidi BBM tinggal 57 persen. Artinya pemerintah telah melakukan penghematan melalui pengurangan subsidi BBM sebesar 43 persen. Jika rata-rata subsidi per tahun adalah sebesar Rp50 triliun per tahun, maka terdapat saving sekira Rp27 triliun per tahun. Bayangkan jika tidak ada subsidi, maka kenaikan harga minyak akan menyebabkan perekonomian kita mengalami bonanza.Kondisi ini jelas tidak bisa dibiarkan terus berlangsung tanpa sebuah solusi. Masalah ini telah menjadi masalah bangsa, sehingga semua pihak harus ikut serta memberikan perhatian secara serius terhadap upaya pengurangan subsidi BBM dan listrik yang telah membebani anggaran negara. Ada beberapa hal penting yang bisa dilakukan agar Indonesia tidak sensitif terhadap dampak fluktuasi harga minyak dunia atau bahkan bisa mengalami oil bonanza. Pertama, mendorong agar kebijakan harga energi sesuai mekanisme pasar. Kedua, mengintensifkan penerapan efisiensi energi. Ketiga, sukses melakukan pengembangan energi alternatif. Untuk mengatasi beban subsidi BBM dan subsidi listrik, pemerintah memiliki beberapa opsi. Pertama, melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM). Kedua, penurunan volume dan penghematan. Ketiga, kombinasi dari opsi satu dan dua. Opsi pertama sangat riskan untuk dilakukan karena penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bisa mendorong gejolak sosial dan ekonomi. Pemerintah juga sudah berulang kali mengemukakan tidak akan menaikkan harga BBM hingga 2009. Opsi yang paling memungkinkan adalah melakukan penurunan volume dan penghematan. Langkah ini terutama fokus terhadap beberapa sektor, seperti sektor rumah tangga, transportasi, listrik, dan industri. Sektor-sektor inilah yang selama ini menjadi konsumen BBM terbesar sehingga harus dilakukan konversi secara mendesak dan penghematan secara menyeluruh dari seluruh pemakai BBM di negeri ini. Penghematan dari sektor rumah tangga, misalnya, mempercepat konversi minyak tanah ke gas. Dalam jangka menengah didorong ke arah penggunaan briket, gas kota, dan biofuel.Sementara untuk sektor transportasi bisa dilakukan dengan menerapkan aturan bahwa SPBU (Premium) hanya diperuntukkan bagi kendaraan roda dua dan angkutan umum dan didorong ke arah penggunaan biofuel. Sementara bagi kendaraan pribadi didorong untuk lebih memanfaatkan jenis BBM dengan RON 92295 (Produk Pertamina menyebut Pertamax dan Pertamax Plus) misalnya. Ataupun pengguna gas bumi pada kendaraan pribadi dan umum. Dari sektor kelistrikan (PLN) bisa dilakukan penghematan dari penggunaan high speed diesel (HSD) ke dalam machine fuel oil (MFO). Dalam jangka panjang, PLN diharapkan menggunakan sumber energi batu bara dan gas yang harganya lebih murah sehingga bisa mengurangi subsidi BBM secara signifikan. Sementara dari sisi konsumen listrik, agar lebih hemat hendaknya menggunakan peralatan elektronik hemat energi seperti lampu hemat energi dan tidak boros dalam menggunakan energi. Di samping itu, serta law enforcement Inpres No 10/2005 dijalankan dengan serius.Dari sektor industri, hendaknya law enforcement terhadap fenomena penyelundupan serta peningkatan efisiensi penggunaan BBM. Dalam jangka panjang, dunia industri juga harus diarahkan menggunakan batu bara dan gas. (*) Fahruddin Salim Kandidat Doktor Manajemen Bisnis Unpad Bandung (//mbs)

Tidak ada komentar: