Sabtu, 04 Juli 2009

Kesalahan Dalam Memahami UU ITE?

Kesalahan dalam Memahami UU ITE?
Rabu, 17 Juni 2009 - 10:48 wib
Alhamdulillah permohonan penangguhan terhadap Prita Mulyasari, ibu dari dua orang anak yang didakwa telah mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, dikabulkan.Mulai 3 Juni 2009 lalu, dia bisa lagi berkumpul dengan kedua anaknya yang masih kecil dan butuh perhatian sang ibu. Bahkan kini proses tahanan kotanya pun telah ditangguhkan sehingga Prita sudah dapat kembali menjalani rutinitas pekerjaannya.Terhadap penahanannya yang telah dilakukan sejak 13 Mei lalu oleh pihak kejaksaan itu, sesungguhnya hal tersebut didasarkan pada dakwaan tersier dalam Pasal 27 Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) No 11 Tahun 2008 yang ancaman hukumnya enam tahun penjara, sementara dakwaan primer Pasal 310 dan subsider Pasal 311 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, dengan hukumannya yang kurang dari lima tahun, sesungguhnya tidak akan menyeret Prita untuk merasakan kurungan.Tulisan berikut ingin mendudukan perkara sekaligus menanggapi tulisan Sdr Leo Batubara berjudul: "Prita Korban Pertama UU ITE" (Seputar Indonesia, 16/6/2009). Agak berlebihan jika menyimpulkan kasus Prita sebagai korban dari UU ITE sekalipun jaksa memang menjerat Prita dengan UU ITE.Atas dasar itu, kiranya perlu diberikan penjelasan terhadap UU ITE. Karena jika tidak dijelaskan secara terperinci, dampaknya dapat berakibat pada sinisnya masyarakat kita dalam menilai UU ITE. Padahal UU ini merupakan UU rezim baru yang intinya ingin melindungi masyarakat dari persoalan transaksi elektronik, bukan semata persoalan pencemaran nama baik melalui perangkat komputer dan dunia maya.Tanpa HakTidak salah memang ketika masyarakat memersepsikan dan kemudian media memberitakan bahwa Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik," diterjemahkan akan mengancam kebebasan orang untuk menyampaikan pendapat.Dalam kasus Prita persepsi masyarakat itu seolah menemukan pembenar, sebab faktanya hanya karena menulis dan mengirim e-mail kepada beberapa sahabatnya Prita dimasukkan ke dalam penjara. Padahal jika mau dikaji lebih dalam, kata "tanpa hak" menjadi sesuatu yang sesungguhnya dapat melindungi masyarakat, belum lagi aturan-aturan lain yang ada dalam UU ITE, berkait dengan boleh-tidaknya seseorang ditahan.Menjerat Prita dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE itu memang berlebihan. Kenapa? Paling tidak ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama, kata "tanpa hak" dimaknai sangatlah sempit. Padahal, seorang Prita, sebagai salah satu konsumen rumah sakit, dia memiliki hak untuk menyampaikan apa yang dikeluhkannya itu melalui email yang dibuatnya, hak sebagai konsumen, itu pun dijamin dalam UU Konsumen.Kedua, dalam UU ITE Pasal 43 ayat 6, jelas dinyatakan, dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.Dalam kasus Prita, rasanya untuk menahan Prita tidak ditempuh cara-cara yang sudah ditetapkan dalam UU ITE. Memang atas dasar kekhawatiran masyarakat terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE, telah dilakukan uji materi (judicial review) atas hal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh masyarakat yang diwakili oleh aktivis blogger dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers. Hasilnya, MK tidak dapat menerima judicial review Pasal 27 ayat 3 tersebut. Alasan penolakan itu karena UU ITE adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.Dalam pertimbangannya, MK mengakui hak tiap warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyimpan informasi. Namun, hal tersebut tidak boleh menghilangkan hak orang lain untuk mendapat perlindungan diri, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baiknya.Kewenangan negara untuk mengatur hal tersebut dapat dibenarkan guna menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi terpenuhinya hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik seseorang. Masih menurut MK, Pasal 27 Ayat (3) tersebut hanya membatasi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang memuat unsur penghinaan."Pembatasan itu tidak dilakukan dalam rangka memasung atau membenamkan hak-hak dasar untuk mencari, memperoleh informasi. Adapun pembatasan yang dimaksud juga tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai bentuk penolakan atau pengingkaran nilai-nilai demokrasi.Payung HukumNilai strategis dari kehadiran UU ITE sesungguhnya pada kegiatan transaksi elektronik dan pemanfaatan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebelumnya sektor ini tidak punya payung hukum, tapi kini makin jelas sehingga bentuk-bentuk transaksi elektronik sekarang dapat dijadikan sebagai alat bukti sah.Karena itu beralasan jika dikatakan, dengan kehadiran UU ini, Indonesia kini telah sejajar dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi ke dalam instrumen hukum positif (existing law) nasionalnya.Kehadiran UU ini sesungguhnya didasarkan pada fakta bahwa teknologi informasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula mengakibatkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) serta membawa perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.UU ini sesungguhnya merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan yang jelas dan berkekuatan hukum tetap terhadap berbagai macam transaksi elektronik ke arah negatif. Karena itu, bentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam transaksi perdagangan elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya, yang kini menjadi fenomena yang mengkhawatirkan mengingat adanya tindakan carding, hacking, cracking, phising, booting, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif, telah menjadi bagian dari aktivitas perbuatan perlakuan kejahatan internet.Melalui UU ini, pelanggaran hukum di internet yang selama ini sulit dipecahkan, karena proses pembuktiannya lebih sulit, kini dapat disesuaikan. Itu sebenarnya esensi dari UU ITE. Jadi bukan mengancam kebebasan orang untuk menyampaikan pendapat, apalagi mengancam kebebasan pers.Terhadap adanya pernyataan tentang kenapa pembahasan UU ITE tidak mengundang Dewan Pers dan organisasi pers lain, kiranya perlu dijelaskan, karena memang UU ITE tidak dimaksudkan semata untuk membelenggu kebebasan pers.Hal ini bisa dirujuk pada salah satu dari tujuh klausul menimbang yang dinyatakan bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.Itu artinya memang sejak awal tidak dimaksudkan untuk menghalang-halangi kerja pers dan itu pula sebabnya dalam berbagai pembahasan pemerintah dan DPR tidak mengundang secara khusus Dewan Pers atau organisasi dan asosiasi jurnalis seperti PWI dan AJI karena memang tidak ada pretensi sedikit pun ke arah pemberangusan dunia pers, apalagi faktanya pasal itu tidak diperuntukkan bagi pers atau media massa.(*)SukemiStaf Khusus Menkominfo Bidang Komunikasi Media (//mbs)

Tidak ada komentar: