Sabtu, 04 Juli 2009

HM Soeharto, Manusia Biasa

HM Soeharto, Manusia Biasa
Jum'at, 18 Januari 2008 - 09:38 wib
Suatu sore di bulan Februari 1993 saya dihubungi ajudan Presiden (Soeharto). "Pak Tarmizi, ini dari Cendana, di dekat saya ada Pak Harto."Pak Harto kemudian bertanya kepada saya, "Sedang apa kamu, Tarmizi?" Saya jawab kemudian bahwa saya baru pulang dari takziah. Waktu itu ibunya Syamsul, mantan Gubernur DKI, wafat. Lalu Pak Harto menyambung ucapannya, "Begini Pak Tarmizi, dalam kabinet yang akan datang kamu saya angkat sebagai Menteri Agama RI atas usulan Panglima ABRI dan Menhankam Jenderal Yusuf."Sejak menjabat sebagai menteri agama (menag) pada masa Presiden Soeharto, saya selalu berhubungan dengan beliau sebagai atasan dan bawahan. Pak Harto itu ternyata seorang manusia yang lemah lembut, tetapi sekaligus tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan.Ketika saya menjadi menag, jamaah haji Indonesia melewati kuota, satu fronil dari penduduk dan umat Islam di negara bersangkutan. Saya mengusulkan kepada Pak Harto supaya umat yang ingin naik haji dapat umrah di bulan puasa. "Kok ketika Menag Munawir tak mengusulkan?" tanya Pak Harto.Saya menjawab bahwa umrah di bulan Ramadhan tentu ada risikonya karena jemaah akan menunggu datangnya Hari Raya Haji. Tetapi Malaysia sudah membuka umrah di bulan puasa. Lalu Presiden Soeharto pun setuju. Bila saya menghadap ke Bina Graha, saya tidak langsung bicara soal dinas, tetapi bicara dulu mengenai persoalan keluarga, anak, cucu dan hal-hal lain di luar dinas.Beliau pun tahu bahwa saya adalah mantan aktivis Universitas Airlangga, Surabaya. Jadi, Pak Harto itu orangnya tidak seram seperti yang dibayangkan orang-orang yang dekat dengan beliau. Kalau kita sebagai pembantu (menteri) itu jujur dan terbuka, Pak Harto juga akan demikian. Kalau naik pesawat dengan beliau, kita duduk di depan, berhadapan dengan Pak Harto dan Ibu Tien, tergantung acara apa yang akan kita tuju. Kalau MTQ saya selalu di depan dengan istri menghadap beliau dan Ibu Tien.Kita cerita yang ringan-ringan saja, yang tak memberatkan pikiran beliau. Hubungan beliau dengan menterinya seperti hubungan perwira dengan prajuritnya, sangat akrab dan bermakna. Dalam perkawinan ketiga anak saya semasa menjadi menteri, beliau tak pernah saya undang. Pertimbangan saya adalah supaya tamu-tamu resepsi pengantin anak saya itu tidak terganggu oleh pengamanan dan protokoler.Tetapi saya minta anak saya dan menantu diterima menghadap ke rumah beliau di Cendana. Beliau memberi nasihat kepada anak saya dan menantu sebagai pengantin baru. Memang, mengundang seorang presiden ke pesta perkawinan suatu penghormatan, tetapi sekaligus menimbulkan gangguan yang tak kecil terhadap jalannya resepsi pernikahan. Sebagai seorang atasan, beliau sering cerita pengalamannya dengan para perwira.Saya sebagai generasi muda TNI ketika itu mendengar dengan tekun dan memetik hikmah, betapa seorang atasan TNI sangat memerhatikan bawahannya.Terkadang saya berpikir, kapan masyarakat sipil punya hubungan akrab lahir dan batin dengan atasannya? Suatu ketika saya menanyakan hal-hal yang sensitif kepada beliau. Saat itu saya berjalan dengan Pak Harto berdua saja, dari Istana Negara menuju Istana Merdeka."Pak, apa boleh saya bertanya hal yang serius kepada Bapak?" tanya saya. "Silakan," kata Pak Harto. "Sebagai menag saya acap ditanya oleh ulama-ulama dan tokoh agama lain kapan Bapak berhenti jadi presiden?" Tanpa tersinggung dan dengan raut wajah biasa, beliau menjawab, "Saya juga sudah bosan menjadi presiden, Tarmizi. Tetapi kata Ketua Umum Golkar di mana-mana rakyat meminta saya supaya kembali menjadi presiden.""Selama tiga bulan sejak saya bertanya hal itu, kita sering diskusi mengenai keinginan beliau untuk hidup kembali menjadi orang biasa, tak terikat protokoler dan pengamanan yang luar biasa. Sebagai presiden, beliau tidak pernah memberikan petunjuk-petunjuk. Secara guyon beliau pernah berkata, "Tarmizi, sebagai menteri agama kamu sudah punya petunjuk dari Allah, yaitu Alquran dan Sunnah serta ditambah petunjuk dari negara, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Menteri agama itu tanggung jawabnya bukan hanya kepada saya sebagai presiden, tetapi tanggung jawab yang lebih besar hanya kepada yang di atas (Tuhan)."Demikianlah sekelumit pengalaman saya sebagai menteri agama di era Presiden Soeharto. Saya berharap seluruh masyarakat mendoakan beliau, karena besarnya jasa-jasa beliau di negeri ini. Dan, sebagai manusia biasa yang tak lepas dari salah, memaafkan kesalahan adalah kekuatan yang arif dan bijak. Wallahu a'lam. (*)Tarmizi TaherMantan Menteri Agama RIdan Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia (//mbs)

Tidak ada komentar: