Jumat, 03 Juli 2009

Membangun Peemerintahan Yang Bersih

Membangun Pemerintahan yang Bersih
Di mata masyarakat, keberadaan negara hanya bisa dirasakan jika pelayanan publik tersedia dengan baik dan memadai serta semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat.Pada tahap selanjutnya masyarakat juga merasa adanya jaminan keamanan karena tegaknya law and order serta adanya kebebasan individual yang dijamin dalam batas-batas konstitusi. Tujuan-tujuan bernegara, sebagaimana setiap kali dikumandangkan oleh para wakil rakyat, capres-cawapres, dan calon kepala daerah menjelang pemilu, hanyalah akan menjadi isapan jempol belaka jika tidak diikuti dengan komitmen yang tinggi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Bahkan bagi sebagian masyarakat yang memahami betapa rumit dan buruknya sistem pemerintahan kita, janji para pemimpin tersebut rasanya sulit untuk diwujudkan.Tiga Penyakit UtamaSistem pemerintahan yang bersih dan akuntabel adalah kunci keberhasilan realisasi semua janji yang diucapkan oleh capres-cawapres. Perdebatan antara sistem ekonomi pasar dan ekonomi kerakyatan, seperti yang tengah berlangsung saat ini, tidaklah berarti apa-apa jika kualitas pemerintahan untuk menjalankan sistem ekonomi sangatlah buruk.Bahkan jikalau peran dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan diperbesar di dalam sistem pemerintahan yang buruk tersebut, niscaya justru akan menyebabkan semakin banyak hilangnya sumber-sumber daya bagi kemakmuran masyarakat.Buruknya kualitas pemerintahan di Indonesia disebabkan oleh penyakit korupsi yang sudah mendarah daging dalam semua sistem dan ranah kehidupan anak bangsa ini. Utamanya, penyakit korupsi ini menjalar dalam tiga locus, yaitu korupsi dalam ranah politik, korupsi dalam ranah hukum, dan korupsi dalam ranah birokrasi.Ketiganya bahkan saling berkelindan membentuk simbiosis mutualisme yang sangat sulit untuk dibersihkan. Korupsi politik terjadi karena proses rekrutmen para wakil rakyat dalam pemilu legislatif tidak pernah memperhatikan sistem meritpolitik melalui proses pendidikan kader.Bahkan niat untuk menjadi politisi lebih dilatarbelakangi oleh semangat untuk memperoleh akses dalam mempergunakan sumber daya yang dimiliki oleh negara. Hal ini diperburuk oleh biaya politik yang sangat mahal yang harus dikeluarkan oleh para wakil rakyat tersebut. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang.Hal yang sama terjadi dalam proses pemilihan jabatan-jabatan politik lain. Tidak semua begitu, tetapi pada umumnya hal ini terjadi dalam proses pemilihan dan pengisian jabatan-jabatan politik. Korupsi dalam ranah hukum ditandai oleh rendahnya budaya penegakan hukum. Tidak mengherankan jika masyarakat sebenarnya lebih takut dengan penegak hukum daripada hukum itu sendiri.Hukum hanya dihargai sebatas sanksi, bukan menjadi batas-batas dan standar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lemahnya penegakan hukum sebenarnya bukan tidak bersebab. Patut disayangkan, karena para penegak hukum itu sendiri juga tidak pernah dihargai hak-haknya sebagaimana harusnya.Selain itu, proses rekrutmen, pengukuran kinerja, pengisian jabatan para penegak hukum juga masih tidak berdasarkan kompetensi dan kinerja. Rendahnya remunerasi para jaksa, polisi, dan hakim, serta lemahnya pengawasan kode etik profesi penegak hukum menjadi alasan mengapa penyakit korupsi dalam ranah hukum ini sangat sulit diberantas.Penyakit korupsi dalam ranah hukum sebenarnya sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan efek domino bagi korupsi dalam ranah yang lain. Jika hukum tidak dapat lagi ditegakkan, apalagi yang akan menjadi pilar bagi tegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Penyakit korupsi dalam ranah birokrasi disebabkan oleh ketiadaan kesungguhan untuk mengelola aparatur negara secara baik dan profesional.Penyakit ini sudah dimulai sejak proses rekrutmen PNS yang tidak profesional dan tidak independen, remunerasi pas-pasan yang memaksa setiap PNS untuk mencari tambahan penghasilan dari pekerjaannya, pengisian jabatan yang memaksa PNS untuk membangun afiliasi dan patronase politik, serta tidak adanya ukuran kinerja yang memadai atas prestasi PNS.Dalam peribahasa yang sudah kita kenal, "Pinter-goblok penghasilan sama". Tidak ada penghargaan bagi prestasi dan kinerja, tidak ada pula sanksi bagi pelanggaran dan buruknya kinerja. Bahkan seburuk apa pun kualitas PNS, tidak akan pernah dipensiunkan sejauh tidak adanya pelanggaran-pelanggaran serius seperti pidana dan makar.Tiga penyakit korupsi sebenarnya menjadi lingkaran setan yang saling bersinergi dalam membentuk pemerintahan yang buruk kualitasnya, tidak berkinerja dan korup. Produk pemerintahan yang demikian adalah buruknya kualitas pelayanan dan pembangunan, sikap mental aji mumpung, dan kebiasaan menyalahgunakan wewenang.Keberadaan pemerintah lebih dirasakan memberatkan daripada ketidakberadaannya. Dalam pandangan sehari-hari hal ini menyebabkan korupsi pada tingkat jalanan, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, korupsi dalam penegakan hukum, dan yang paling membahayakan adalah korupsi melalui kebijakan.Menuju PerubahanApa pun agenda yang diusung oleh para capres-cawapres, hanya akan bisa diwujudkan jika adanya upaya sungguh-sungguh dan sistematik membangun pemerintahan yang bersih. Cara paling mudah adalah mengobati sumber asal penyakit terjadinya pemerintahan yang buruk tersebut.Korupsi politik membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya, karena hal ini hanya bisa dilakukan dengan menyederhanakan partai politik dan membangun sistem merit politik yang memadai. Kewenangan presiden terpilih untuk melakukan perubahan dalam sistem politik tidaklah berdiri sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh konfigurasi politik di DPR.Perubahan yang paling mungkin dilakukan oleh presiden terpilih justru pada ranah hukum dan ranah birokrasi. Perbaikan penegakan hukum sejatinya lebih mudah dilakukan karena hal ini masih berada di dalam lingkup kewenangan presiden, paling tidak untuk kejaksaan dan kepolisian.Jika saja presiden terpilih mau melakukan secara sungguh-sungguh proses rekrutmen yang profesional dan independen pada jaksa dan polisi, mengukur kinerjanya secara benar, memberikan remunerasi yang layak dan memadai, melakukan pengawasan dan memberikan sanksi pada setiap pelanggaran tanpa pandang bulu, dan memiliki sistem karier berbasis kinerja, rasanya tidak ada yang mustahil bagi Indonesia untuk memiliki pemerintahan yang bersih.Untuk para hakim, karena kewenangannya berada di bawah Mahkamah Agung, maka presiden bisa menawarkan kepada Mahkamah Agung sejumlah agenda reformasi bagi para hakim. Akan halnya korupsi yang terjadi dalam birokrasi, tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa presiden terpilih harus memberikan komitmen yang luar biasa untuk melakukan reformasi birokrasi.Tidak sulit untuk melakukannya, karena sejumlah substansi instrumen sejatinya telah tersedia. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah komitmen untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda utama pemerintahan yang akan datang. Pemerintahan yang bersih adalah prasyarat bagi kemajuan bangsa ini.(*)Eko PrasojoGuru Besar Administrasi Negara FISIP UI

Tidak ada komentar: