Sabtu, 04 Juli 2009

Kritik Terhadap Pengacara Soeharto

Kritik Terhadap Pengacara Soeharto
Selasa, 15 Januari 2008 - 05:38 wib
Saat mantan Presiden Soeharto menghadapi masalah kesehatan yang sangat kritis, pengacaranya mengajukan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar perkara perdata mantan orang nomor satu Indonesia itu dihentikan. Sang pengacara memanfaatkan momentum suasana sedih yang meliputi keluarga dan peliputan intensif oleh media massa yang mengharukan sebagian anggota masyarakat. Justru pada saat tim dokter kepresidenan sedang berupaya maksimal dan masyarakat memanjatkan doa mengharapkan kesembuhan. Sebetulnya perkara perdata itu sedang berjalan dan akan tetap berjalan, tidak bergantung dengan kesehatan, termasuk seandainya Soeharto meninggal. Strategi yang lihai ini membuahkan hasil.Presiden SBY di Kuala Lumpur "memberi petunjuk"kepada Jaksa Agunguntukmenawarkanperdamaian di luar sidang.Kalau melalui prosespersidangan, hasilnya akanadayang menang dan kalah.Namun dengan alternatif ini diharapkan dicapai "winwin solution". Jawaban dari pihak keluarga yang diwakili Siti Hardiyanti Rukmana bahwa mereka akan memikirkan tawaran tersebut nanti. Bagi keluarga, tentu dalam suasana yang gawat seperti sekarang bukan saatnya yang tepat untuk berbicara soal hukum. Tulisan ini bukan menilai kiat pengacara mantan Presiden Soeharto dari segihukumatauetika.Namun,mencoba melihat dampak dari strategi yang dijalankan itu terhadap sejarah Indonesia pasca-1998.Setelah turun dari jabatan presiden sampai sekarang, Soeharto telah 10 kali dirawat di rumah sakit. Sakitnya yang pertama ketika prosesnya pengadilan dimulai pada 1999. Ketika Soeharto akan diperiksa sebagai saksi di pengadilan Jakarta Selatan, dia mengalami stroke ringan (20 Juli 1999).Pengacara menghadirkan sekian banyak dokter spesialis untuk meyakinkan hakim dan masyarakat bahwa Soeharto betul-betul sakit.Bahkan pada 2002,dokter mengatakan bahwa Soeharto mengalami gangguan otak secara permanen sehingga tidak dapat mengerti dan menjawab pertanyaan yang kompleks. Namun,kenyataan pula publik menyaksikan bahwa dia dapat menghadiri acara pernikahan cucunya dan berziarah ke makam istrinya di Astana Giribangun, Surakarta. Selain itu ditampilkan di televisi,dia sempat menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Malaysia dan Singapura di Cendana. Kalau dia dalam keadaan yang sangat parah, tentu keluarga tidak akan memberikan kesempatan hal ini diketahui tokoh mancanegara. Jadi, tayangan semacam ini yang menyebabkan masyarakat mendapatkan kesan bahwa Soeharto dalam keadaan "sakit tetapi tidak sakit".Maksudnya, secara formal memiliki surat keterangan sakit dari dokter, tetapi dia masih bisa melakukan kegiatan seperti orang yang tidak sakit. KeterangandokterbahwaSoeharto mendapat gangguan otak secara permanen sebetulnya hal yang bersifat pribadi dan tidak perlu diketahui masyarakat luas. Rahasia kesehatan kalau di negeri Barat adalah sesuatu yang amat dijaga.Arsip masa lalu menyangkut kesehatan seorang tokoh termasuk arsip yang lama baru bisa dibuka, mungkin sampai seratus tahun.Kita tahu ada dokumen yang sudah boleh diketahui masyarakat (declassified) setelah melewati tempo 25 tahun.Namun, arsip kesehatan mempunyai tempo paling lama dibanding arsip lainnya. Ada sebuah anekdot di Rusia tentang hal ini. Seseorang ditangkap polisi rahasia karena di lapangan terbuka dia menuding Presiden Krouchef gila. Orang itu diadili dan dijatuhi hukuman berat selama lima tahun karenamenghinapejabattinggidan20 tahun untuk "pembocoran rahasia negara". Jadi,kesehatanpresidenitubukan hanya sekadar rahasia pribadi bahkan sudah dianggap "rahasia negara". Mana ada di Eropa dan di AmerikaSerikatrahasiakesehatanpresiden dibeberkan sedemikian terbukanya bagi umum.Tatkala meninggal, barangkali rakyat hanya tahu bahwa sang presiden wafat karena serangan jantung.Sangat sederhana,tidak sedemikian detailnya seperti yang ditampilkan di layar kaca dalam kasus mantan Presiden Soeharto. Seantero Tanah Air tahu tentang gangguan syaraf, usus, jantung, paru-paru sampai pada alat-alat apa saja yang dimasukkan dalam tubuhnya. Pada 13 Juni 2001 misalnya, dimasukkan alat pacu jantung Pacemaker Single ChamberVVIR buatan Amerika Serikat, berbentuk bulatpipihseberat2gramsehargaRp30 juta yang bisa dipakai selama 20 tahun. Mantan Presiden RI yang berkuasa terlamaituseakanditelanjangididepan publik serta dipreteli daging dan tulangnya, kemudian dianalisis kelemahan organ tubuhnya. Sesungguhnya ini telah melewati batas hak-hak pribadi (dan keluarga).Secara ironis pula, kasus ini mungkin akan muncul dalam Guinness Book the Record,bukan sekadar dalam Muri (Museum Rekor Indonesia). Sebetulnya,jika pengacara Soeharto memberikan kesempatan kepada orang kuat Indonesia itu maju ke sidang pengadilan, tentu hasilnya akan lebih baik. Bila Soeharto diadili,tentu akan muncul demonstrasi baik yang pro maupun yang kontra mantan orang nomor satu ini.Hal ini akan mempercepat proses persidangan. Bila ternyata dia dinyatakan bebas, jelas namanya akan berkibar kembali.Namun seandainya pengadilan memberikan vonis bersalah, niscaya dalam waktu dekat, Presiden RI akan memberikan grasi sesuai desakan masyarakat.Perkara ini akan cepat selesai dan pengacara tidak perlu bertahun-tahun mengurus kasus ini. Apa pun hasilnya akan menguntungkan bagi Soeharto, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Tidak terbentuk stigma "sakit bila perkara diungkit". Kini dalam kondisi Soeharto yang "sakit dan betul sakit", seyogianya yang berbicara hanya tim dokter tentang aspek medis dan anggota keluarga yang meminta masyarakat mendoakan yang bersangkutan agar sembuh. Pihak pengacara silakan berkomentar dan melakukan manuver di ruang pengadilan,bukan di rumah sakit!(*)Dr Asvi Warman Adam Sejarawan, Ahli Peneliti Utama LIPI

Tidak ada komentar: