Jumat, 03 Juli 2009

Mempertanyakan Koruptor Yang (Kembali) Kabur

Mempertanyakan Koruptor yang (Kembali) Kabur
Kamis, 2 Juli 2009 - 10:00 wib
Langkah kejaksaan untuk melakukan eksekusi terhadap Joko S Tjandra pada akhirnya kandas. Terpidana kasus korupsi Bank Bali ini pada Jumat (26/6/2009) lalu kembali tidak memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.Mantan bos PT Era Giat Prima (EGP) sebelumnya pernah mengajukan surat meminta penundaan eksekusi sampai satu bulan ke depan (Seputar Indonesia, 23 Juni 2009). Joko diberitakan sudah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum akhirnya ke Singapura pada 10 Juni lalu atau sehari sebelum putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya selama dua tahun penjara.MA menyatakan Joko terbukti melakukan korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia dengan kerugian negara sebesar Rp546 miliar. Setelah gagal melakukan eksekusi, Kejari Jakarta Selatan akhirnya meminta bantuan Mabes Polri untuk membuat red notice (daftar pencarian orang) atas nama Joko Tjandra.Mereka juga meminta bantuan NCB Interpol Indonesia untuk menghadirkan paksa terpidana Joko Tjandra guna melaksanakan putusan MA. Kaburnya Joko pada akhirnya memperpanjang deretan koruptor yang melarikan diri ketika akan dieksekusi. Para koruptor yang kabur antara lain Samadikun Hartono, terpidana kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) di Bank Modern yang merugikan negara sebesar Rp80 miliar.Terpidana lain, Bambang Sutrisno, yang terkait kasus BLBI Bank Surya merugikan negara sekitar Rp1,5 triliun. Oleh pengadilan, Samadikun divonis empat tahun penjara dan Bambang divonis penjara seumur hidup. Selain itu, Andrian Kiki Ariawan, terpidana kasus BLBI Bank Surya Rp1,5 triliun yang divonis seumur hidup, juga dikabarkan berada di Australia pada saat putusan dijatuhkan.Daftar terpidana lain adalah Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi di BPUI yang merugikan negara USD126 juta, Eddy Tansil yang terkait kasus ekspor fiktif senilai Rp1,3 triliun, dan David Nusa Wijaya terpidana kasus BLBI Bank Servitia Rp1,3 triliun dan telah divonis di tingkat kasasi MA selama 8 tahun penjara. ***Dari sejumlah pelaku yang melarikan diri, hanya David Nusa Widjaya yang berhasil ditangkap. Hendra Raharja terpidana seumur hidup BLBI Bank Modern bahkan meninggal dunia di tempat pelariannya, Australia. Selebihnya belum tertangkap dan bahkan masih dapat leluasa menjalankan usahanya dari luar negeri.Indonesia Corruption Watch selama lima tahun terakhir mencatat sedikitnya 45 pelaku korupsi-- dengan status tersangka, terdakwa, dan terpidana--yang telah melarikan diri, baik di luar maupun di dalam negeri. Mereka adalah pelaku kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan, Kepolisian, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Persoalan mengenai koruptor yang melarikan diri tidak hanya menimpa Indonesia.Hal yang sama juga menimpa negara lain seperti China. Kantor berita AFP akhir tahun 2004 pernah memberitakan sebanyak 4.000 pejabat China yang dinilai melakukan korupsi telah melarikan diri ke luar negeri. Mereka membawa serta hasil jarahannya yang mencapai USD50 miliar atau sekitar Rp450 triliun. Tujuan favorit para pejabat China yang korup adalah Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru.Dari sejumlah koruptor yang melarikan diri, Kantor berita China Xinhua belum lama melaporkan, sejak tahun 1989 hingga 2004 lalu China hanya bisa membawa kembali 71 pejabat tersangka kasus korupsi. Dalam hal menghadapi koruptor yang kabur, sesungguhnya negeri ini sudah memiliki tim pemburu koruptor sejak 2005 lalu. Sayangnya kinerja lembaga yang dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung ini jauh dari maksimal.Dari 13 koruptor yang dimasukkan sebagai daftar pencarian orang, hanya satu orang yang tertangkap. Selain itu, tim juga mengalami kendala berupa belum adanya perjanjian ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik dengan negara yang menjadi tempat pelarian atau tempat menyembunyikan harta hasil korupsi.Selain itu Kejaksaan Agung pada 2006 juga mencoba cara konvensional dengan penayangan 12 wajah koruptor baik yang berstatus terpidana maupun tersangka di televisi. Akhirnya program penayangan ini juga berakhir pada November 2007 karena alasan tidak ada anggaran.Tercatat dari 12 buronan, baru 2 orang yang tertangkap, yaitu Dharmono K Lawi (korupsi DPRD) dan Tabrani Ismail (korupsi Exxor Balongan Pertamina).***Berulangnya koruptor kabur sering menimbulkan pertanyaan besar, apakah koruptor sungguh kabur karena kelihaiannya atau memang dibiarkan kabur? Jika dicermati, terdapat beberapa masalah serius yang mengakibatkan koruptor Indonesia melarikan diri ke luar negeri. Pertama, buruknya koordinasi antaraparat penegak hukum.Pasal 170 KUHAP intinya menyebutkan bahwa kejaksaan baru dapat melakukan eksekusi setelah menerima salinan putusan dari Pengadilan. Artinya meskipun telah divonis penjara oleh MA, jika salinan putusan belum diserahkan kepada jaksa sebagai eksekutor, terpidana belum dapat dijebloskan ke penjara.Dalam kasus Joko S Tjandra misalnya, MA menjatuhkan putusan PK pada 11 Juni 2009. Namun eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan baru akan melaksanakan eksekusi pada 16 Juni 2009 atau enam hari kemudian. Adanya rentang waktu yang cukup lama jelas membuka peluang bagi pelaku yang telah dihukum untuk melarikan diri.Sikap kejaksaan yang dinilai sangat kompromis dan ragu-ragu dalam melaksanakan eksekusi terhadap terpidana Bank Bali ini juga patut dipertanyakan. Seharusnya pada saat panggilan pertama tidak datang, kejaksaan bisa langsung menetapkan Joko sebagai buronan. Kedua, muncul indikasi adanya upaya kesengajaan dari pihak-pihak tertentu untuk memberikan kesempatan bagi koruptor melarikan diri.Hasil riset ICW pada 2003 lalu menemukan modus meloloskan koruptor dari pelaksanaan eksekusi penjara. Hal ini dilakukan dengan cara sengaja antara lain membocorkan hasil putusan sebelum resmi diumumkan atau menghambat salinan putusan ke pengadilan negeri tempat terpidana pertama kali disidangkan untuk selanjutnya dieksekusi oleh kejaksaan. Ketiga, kebijakan penahanan dan pencekalan masih simpang siur.Berdasarkan aturan hukum, kebijakan penahanan dilakukan apabila pelaku diduga akan melarikan diri, mengulangi perbuatannya atau menghilangkan barang bukti. Selama ini aparat penegak hukum sering tidak memiliki standar yang jelas kapan pelaku korupsi dilakukan penahanan dan pencekalan. Kadang koruptor ditahan dan dicekal, tetapi banyak pula yang tidak.***Untuk menghindari kejadian berulang koruptor melarikan diri di masa mendatang, terdapat beberapa hal penting untuk dilakukan. Sebagai langkah antisipatif, selama proses hukum masih berjalan pelaku korupsi sebaiknya dicekal dan ditahan hingga pelaksanaan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Selain untuk menghindari pelaku melarikan diri, tindakan ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pemeriksaan.Koordinasi antaraparat penegak hukum untuk melakukan eksekusi bagi koruptor perlu diperbaiki kembali. Seharusnya pada saat pengadilan menjatuhkan vonis bagi pelaku korupsi, pada hari itu juga salinan putusan disampaikan kepada kejaksaan. Selanjutnya kejaksaan mesti segera melakukan eksekusi dan berkoordinasi dengan pihak imigrasi untuk melakukan pencekalan terhadap pelaku ke luar negeri.Terakhir, selain pembenahan administrasi, MA dan kejaksaan harus juga melakukan pemeriksaan dan memproses secara hukum pihak-pihak yang diduga memperlambat proses penyelesaian dan pengiriman salinan putusan atau bahkan membocorkan putusan kepada koruptor sehingga mengakibatkan pelaku melarikan diri. Baik koruptor maupun pihak yang membantu meloloskan diri harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Kita berharap kaburnya Joko adalah kasus terakhir dari upaya pelarian para koruptor.(*)Emerson YunthoWakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tidak ada komentar: