Kamis, 20 Agustus 2009

El-Nino, Kekeringan, dan Konsolidasi Kelembagaan

Kamis, 20 Agustus 2009 - 10:00 wib
Menurut Badan Meteorologi dan Klimatologi, El-Nino akan kembali terjadi. El-Nino menguat pada November 2009-Januari 2010.
Dampak anomali cuaca ini berupa kurangnya hujan di wilayah timur, tengah, dan barat Indonesia. Salah satu dampak El Nino adalah suplai air bagi pertanian menjadi amat terbatas. Tanpa antisipasi yang memadai, ritual tahunan kekeringan akibat El-Nino akan selalu berulang. Ketika musim itu tiba, waduk, bendungan,dan irigasi mengering. El-Nino akan memperparah kekeringan karena kondisi waduk-waduk besar di Jawa-Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, dan Bengawan Solo-kian kritis.
Masalah makin runyam karena infrastruktur irigasi banyak rusak. Sekitar 25% jaringan irigasi tak berfungsi dan 35% rusak parah. Tanpa infrastruktur irigasi yang baik, petani akan kesulitan mendapatkan air. Ini dikhawatirkan berdampak pada produksi pangan utama. Di berbagai daerah kekeringan telah menampakkan sosoknya, sebagaimana ditandai kritisnya pembangkit listrik tenaga air, sawah puso, debit air sungai menipis, dan krisis air minum. Setelah itu serial akan berganti dengan rentetan paceklik, rawan pangan, dan busung lapar.
Dari tahun ke tahun,serial ini ditandai durasi, frekuensi, dan cakupan wilayah kekeringan, besarnya kerugian dan jumlah korban yang kian meningkat. Sayangnya serial ini bukanlah sinetron melankolis yang enak dinikmati dan ditonton. Ironisnya, perhatian dan antisipasi pemerintah dan masyarakat tidak proporsional. Penyelesaian kekeringan selalu bersifat reaktif, temporer, ad hoc, parsial, dan berorientasi proyek.
Pendekatan penanggulangan kekeringan tidak berubah dari waktu ke waktu: pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, program padat karya dan rehabilitasi sarana irigasi. Seolah-seolah masalah tidak pernah berubah. Indonesia dengan rata-rata hujan tahunan 2.779 mm termasuk negara nomor lima yang kaya air di dunia. Namun, ketersediaan air yang besar tidak jadi berkah. Bila musim hujan air berubah jadi banjir.
Sedangkan di musim kemarau ketaktersediaan air berubah jadi monster kekeringan. Masalahnya terletak pada ketidakmerataan alokasi air sepanjang tahun. Ini karena 1.832 mm (66%) dari 2.779 mm air hujan berubah jadi air limpasan permukaan (run off), yang tidak termanfaatkan dan menjadi mesin penggerus tanah subur (top soil). Bagi pertanian, tanpa penyelesaian memadai, dampak kekeringan akan berlipat ganda, dari penurunan luas tanam, luas panen, produktivitas sampai kualitas hasil, kebakaran hutan dan lahan, hingga meningkatnya beban perempuan.
Salah satu persoalan yang menuntut penyelesaian segera adalah konsolidasi kelembagaan pengelola air. Di Forum Air Dunia Ke-2 di Den Haag, Belanda, Maret 2000, disepakati bagaimana mewujudkan ketahanan air dengan prinsip dasar pengelolaan sumber daya air secara terpadu. Intinya, keberadaan air tidak saja dipengaruhi kondisi geografis, tapi juga topografi dan geologi. Konsep ini memandang, karakteristik air memiliki keterkaitan antara daerah hulu dan hilir, kuantitas dengan kualitas, dalam aliran dan di luar aliran, antara masa sekarang dan masa mendatang.
Batas-batas hidrologis tidak sama batas-batas administratif. Pengelolaan air harus mempertimbangkan satu kesatuan hidrologis sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan. Prinsipnya: satu sungai, satu perencanaan, dan satu pengelolaan terpadu. Sebagai penanda tangan kesepakatan, Indonesia telah mengeluarkan Keppres No 123/2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan Ketua Harian Menteri Pekerjaan Umum.
Lalu, pada 10 Desember 2001 dibentuk Sekretariat Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang mengemban tugas Kebijakan Nasional Sumber Daya Air yang ditetapkan. Visinya mulia, "Terwujudnya kemanfaatan sumber daya air bagi kesejahteraan seluruh rakyat." Dengan visi ini, air tidak cuma dikelola secara efisien, adil, terpadu dan berkelanjutan, tapi juga memberdayakan warga pemakainya. Namun, sejauh ini visi itu hanya ada di atas kertas.
Contohnya pengelolaan Sungai Citarum oleh Perum Jasa Tirta II Jatiluhur. BUMN ini mengelola seluas 12.000 km2 yang meliputi 11 kabupaten di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berkat waduk, Karawang dan Bekasi tidak kebanjiran. Dengan air irigasi rata-rata 5,5 miliar m3/tahun, waduk mengairi sawah 240.000 ha. Air waduk juga memproduksi rata-rata 850 kwh/tahun dan jadi pemasok bahan baku air minum dan industri ke Jakarta.
Setelah beroperasi 35 tahun, kini fungsi Waduk Jatiluhur meluruh karena dana operasi dan pemeliharaan hanya menutup 30-40% kebutuhan (Hernowo, 2002). Untuk mengembalikan fungsi pengairan perlu dana USD164,71 juta. Masalahnya, sebagai BUMN, Perum Jasa Tirta II mengemban misi sosial juga harus mampu membiayai operasional usaha, bahkan menyetor 55% laba ke negara.
Di sini, Perum Jasa Tirta II hanya berwenang mengelola sumber daya air di aliran sungai (in-stream). Padahal, kondisi di dalam sungai sangat dipengaruhi situasi dari luar sungai (off-stream). Izin pemanfaatan air dan pembuangan limbah cair, termasuk sanksi dan besar iuran biaya operasi dan pemeliharaan, dimonopoli penuh pemerintah (pusat/daerah) selaku regulator. Industri pembuang limbah tak satu pun ditindak regulator. Alasannya, industri menyumbang devisa, pembayar pajak, dan membuka lapangan kerja.
Dampak buruk akibat limbah tak jadi pertimbangan. Dalam mengelola daerah tangkapan hujan, Perum Jasa Tirta II cuma memberi informasi. Padahal, kualitas dan kuantitas air sungai ditentukan wilayah ini. Pendek kata, Perum Jasa Tirta II hanya bertindak sebagai operator. Akibatnya, pasokan tak mampu mengejar pertumbuhan permintaan. Diperkirakan, neraca air Citarum tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pada 2025 (BCEOM, 1990).
Padahal, dari potensi air rata-rata 12,95 miliar m3/tahun, yang dimanfaatkan baru 6,5 miliar m3/tahun. Penurunan fungsi waduk Jatiluhur sudah semestinya dicegah jika kita tak ingin produksi padi, pasokan listrik di Jawa Barat, dan suplai bahan baku air minum Jakarta menurun. Dengan mengairi 240.000 ha sawah, Jatiluhur menjamin wilayah yang diairi memproduksi padi 6% produksi nasional atau 33% dari produksi Jawa Barat.
Kasus waduk Jatiluhur mencerminkan terfragmentasinya pengelolaan sumber daya air. Konsolidasi kelembagaan sesuai prinsip Ketahanan Air masih jauh dari berhasil. Sumber informasi air masih dipegang BMG, penyedia dan pengelola sarana dan prasarana ada di PU, izin pemberian usaha yang memanfaatkan dan memengaruhi kualitas air berada di tangan Departemen Perindustrian, sementara monitoring dan evaluasi kualitas air ditangani oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Departemen Pertanian sebagai wakil konsumen terbesar selalu kebagian masalah air: banjir dan kekeringan. Ketika kewenangan pengelolaan sumber daya air diserahkan ke daerah, akibat euforia otonomi daerah, terjadilah pengaplingan infrastruktur irigasi berdasarkan wilayah administrasi. Petani dekat saluran induk (hulu) terjamin pasokan airnya, sebaliknya yang jauh dari saluran induk (hilir) akan menjerit. Konsolidasi kelembagaan mendesak dirakit.
Jika konsolidasi kelembagaan tidak kunjung berhasil, hal ini menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional, sebab 80% produksi padi ditumpukan di sawah beririgasi. Konsolidasi kelembagaan dilakukan dengan memasukan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di PU ke Departemen Pertanian. Argumennya, pengguna air terbesar adalah pertanian, sehingga akses dan kontrol terbesar harus dilakukan pengguna utamanya (main user), seperti di negara-negara maju Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Penggabungan ini memungkinkan terjadinya efisiensi sistem dan alokasi sumber daya manusia serta pendayagunaan sumber daya alam. Tanpa konsolidasi kelembagaan, prinsip full cost recovery dalam Undang-Undang Sumber Daya Air kian memperumit masalah: air akan mengalir ke pembayar termahal. Akses petani atas air akan semakin tertutup karena mereka kalah bersaing dengan korporasi/industri.(*)
Khudori :Pengamat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

Tidak ada komentar: