Senin, 17 Agustus 2009

Terorisme dan Intelijen Terpadu

Opini
Terorisme dan Intelijen Terpadu
Rabu, 12 Agustus 2009 - 10:02 wib
Selama 17 jam Tim Detasemen 88/Antiteror Mabes Polri menggerebek rumah sederhana di Dusun Beji (Kedu, Temanggung) yang dicurigai menjadi tempat persembunyian Noordin M Top.Reportase lapangan menyatakan bahwa teroris yang kemudian terbunuh itu adalah Noordin dengan bukti "pengakuan" (teriakan korban) dan "pernyataan" petugas yang pertama kali mengeceknya. Namun banyak yang meragukannya seperti Rohan Guratna (Centre for Violance and Terrorism Singapura), Sidney Jones (International Crisis Group), AM Hendropriyono (mantan Kepala BIN) atau Dynno Chressbon.Alasan penolakan mereka adalah tidak tecerminnya karakter gembong teroris (dalam pemilihan tempat, kesiagaan maupun perlawanan) hingga tampilan korban (yang lebih Jawa, kurus, rambut ikal, berkalung karet di leher) yang dianggap lebih mirip seorang preman pasar ketimbang Noordin.Tentu saja, pihak polisi mengendur dengan kilah menunggu bukti ilmiah dari hasil tes DNA setelah banyak pihak meragukan identitas korban sebagai Noordin M Top. Namun, itu tidak mengurangi kegamangan terhadap "tafsir baru" terorisme versi kepolisian. Itu telah muncul sejak Presiden SBY menuding suicide boomber di Hotel JW Marriott dan The Ritz Carlton 17 Juli sebagai ancaman terhadapnya di samping untuk penggagalan hasil pilpres.Juga adanya pola baru surat pengakuan Noordin akan keterlibatannya dalam peledakan bom "Sariyah Dr Azhari" (JW Marriot) dan "Sariyah Jabir" (The Ritz Carlton), yang begitu "sistematis dan akademis". Puncaknya, temuan bom di kompleks Perumahan Nusapala Blok D No 12 Jatiasih (Bekasi) serta penggerebekan Dusun Beji.Pola baru dan mencuatnya motif-motif domestik merupakan suatu hal yang tak lazim dalam terorisme. Terorisme di Indonesia adalah suatu ekses dari globalisasi yang memiliki implikasi bukan hanya pada ekonomi, tapi juga politik dan budaya yang dikenal sebagai Americanization.Karena itu, seperti pernah dinyatakan Ketua Desk Antiteror Ansyaad Mbai, terorisme merupakan gerakan politis dan ideologis yang merespons situasi yang dianggap salah. Ketidakadilan dalam konflik Timur Tengah dan keterlibatan AS menjadi pembenaran atas aksi mereka. Karena itu, terorisme sangat terkait dengan kondisi sosialpolitik internasional.***Peledakan-peledakan bom yang masih berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa jaringan terorisme masih ada dan menempatkan Indonesia sebagai lahan untuk aksi-aksi perjuangan mereka. Jika pada mulanya para pelaku umumnya adalah kader-kader yang pernah berlatih perang di Peshawar (yang oleh Maftuh Abegebriel disebut sebagai Virtual Universities for Future Isamic Radicalism), pada gilirannya mulai muncul para pelaku baru yang direkrut dan dilatih di Indonesia sendiri.Kalau memang benar, pelaku seperti Air Setiawan atau Eko Joko Sarjono merupakan bagian dari pola perekrutan yang baru. Dalam pelbagai kajian, muncul dugaan bahwa teror bom yang terjadi sejak 2005 disinyalir karya generasi-3 dari kantong-kantong radikalisme domestik, yang lebih independen dan tak banyak taat pada struktur organisasi.Sidney Jones menyebut ada kelompok Thoifah Muqatilah, suatu unit tempur yang belum jelas kedudukannya, yang lahir pasca-Bom Legian. Kelompok ini dipimpin Zulkarnaen alias Arief Sunarso, bergerak melanjutkan misi Imam Samudera, membentuk kembali laskar khos atau laskar asykari (pimpinan Panglima Mustafa) yang bubar pada 2003 akibat aktivisnya ditangkapi polisi.Mungkin mereka yang akhir-akhir ini terembus aparat di kantong-kantong pantura Jawa Tengah (Semarang, Kendal, Pekalongan). Generasi radikal lain muncul dari luar jaringan Azahari-Noordin dengan tokoh Abdullah Sonata. Melalui hasil pertemuannya sebanyak 12 kali, mereka menolak sikap kelompok Azahari (disampaikan melalui Ipung) yang mulai melakukan jihad dengan aksi serangan bunuh diri di daerah muslim dan bukan di wilayah konflik.Para kader itu menganggap dirinya sebagai "mujahid freelance", mereka banyak mengikuti pendidikan militer di Filipina (bergabung dengan gerakan Moro) dengan tokoh kuncinya Umar Patek alias Daud, tapi juga berhubungan dengan Dulmatin untuk dapat memperoleh senjata. Pola perekrutan itu biasanya berdasar rekomendasi dari para anggota yang sudah dipercaya dan memiliki pengaruh di lingkungan mereka.Misalnya, dalam peledakan bom di Hotel JW Marriott 5 Agustus 2003, dua pelakunya yang berhasil ditangkap di Cirebon adalah Mazrisal dan Ismail. Sementara munculnya Asmar Latin Sani di lingkungan mereka diperkenalkan oleh Mohammad Rais.Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 di Raja`s Bar and Restaurant (Kuta) dan Nyoman Café (Jimbaran) melibatkan orang baru (Salik Firdaus, Misno, Aip Hidayat) yang diperkenalkan Abdulhadi kepada Noordin. Konon, Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang dijadikan basis perekrutan kelompok teroris.Dinyatakan Kapolda Jawa Tengah Irjen Chaerul Rasjid pada 25 Oktober 2005, setidaknya ada 19 orang rekrutan baru untuk pelaku bom bunuh diri. Tampaknya, hal seperti itu didorong oleh tumbuhnya bentuk jaringan baru yang dibangun para pengikut Noordin, tanpa ada nama kelompok yang tetap.Ada perkiraan, hal ini dimungkinkan oleh pengaruh dari Noordin yang memiliki talenta diplomasi, yang sering membuat orang jadi bengong dan terkagum-kagum kepadanya. Namun, meningkatnya agresivitas jaringan juga dipengaruhi oleh terbentuknya Tanzim Qoidatul Jihad sejak Maret 2005 di mana Noordin bertindak sebagai ketua kelompok gugus Kepulauan Melayu.*** Tentu saja, terjadi kesepakatan tentang pentingnya memberantas terorisme. Persoalannya, banyak kritik terhadap praktik tindakan pemberantasan oleh aparat. Misalnya, pascapenangkapan Abu Dujana dan Zarkasih (2005) yang "menyanyi merdu" membocorkan pelbagai aktivitas mereka, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Soeripto pun mempersoalkan soal Abu Dujana dengan nyanyiannya itu, apakah Abu sebagai orang yang disusupkan ke Jamaah Islamiyah atau memberi pengakuan karena tekanan dari pihak polisi dan kelompok tertentu?Hal itu telah mendorong Soeripto mendesak agar pihak kepolisian bertindak transparan supaya dapat meyakinkan bahwa ada terorisme di Indonesia yang mengancam, bukan sekadar terorisme jadi-jadian yang diciptakan. Adapun kritik lain banyak muncul pascapeledakan Bom Bali II yang pada intinya menilai kinerja aparat dalam pemberantasan aksi-aksi terorisme kurang optimal, yang menjadi salah satu penyebab mengapa aksi-aksi pengeboman terus berlanjut.Memang, penggerebekan Dr Azhari di Batu (Malang) telah memberikan sedikit aplaus terhadap kinerja aparat. Namun, banyak kalangan yang mempersoalkan independensi aparat, seolah-olah penangkapan para pelaku aksi teror sekadar merupakan pesanan pihak asing.John Helmi Mempi dalam salah satu acara televisi di Australia yang berisi laporan investigasi tentang aksi-aksi teror di Indonesia mencurigainya sebagai "proyek" aparat guna memperoleh bantuan dana dari AS dan Australia. Hal seperti itu memang tidak bisa ditepis manakala kita melihat keberhasilan-keberhasilan dalam mengungkap terorisme di Indonesia.Sering muncul kesan untuk sekadar "konsumsi publik" dan "politik". Sementara dalam pelbagai pengungkapan kasus seperti penggerebekan bom di Sukoharjo, terlihat benar-benar "sistematik", sedangkan pihak-pihak daerah sama sekali tidak mengetahui perihal itu.Pola-pola kerja yang tersentralisasi dan tanpa tercium lingkungan sekitarnya menunjukkan suatu bentuk kerja yang penuh "kedigdayaan", tapi bertentangan dengan nalar sehat tentang a thing done, an action, deed, event. Ini sangat berbeda dengan cara kerja intelijen militer yang umumnya justru menengarai perkembangan itu dari "bawah" melalui pola-pola yang berkembang melalui system of interactions.***Berdasar pengamatan, pemberantasan terorisme butuh kemampuan kontraterorisme, yakni kegiatan dan operasi penumpasan aksi terorisme yang sifatnya sementara, terbatas, berjangka pendek, dan bersifat kebijakan dengan titik berat penindakan terhadap terorisme dan aksi-aksi teror.Cara ini butuh kerja sama yang kuat antara kepolisian dengan pihak militer tingkat teritorial serta kekuatan sosial dalam masyarakat. Persoalannya, bagaimana agar pelaksanaan di lapangan tidak menimbulkan ekses terhadap anggota masyarakat, sebagaimana yang sering terjadi hingga sampai saat sekarang.Orang-orang yang ditangkap dan belum tentu bersalah sering sudah dituding dan disebarluaskan sebagai "teroris" seperti kasus Ahmady (Cilacap). Bahkan, sempat ada pernyataan dari pejabat resmi tentang tembak di tempat bagi siapa saja yang dianggap mencurigakan aparat.Di samping itu, dibutuhkan langkah-langkah yang jelas pada skala negara, tentang adanya jaminan keselamatan yang didasarkan pada suatu perencanaan politik sehingga mampu meminimalkan timbulnya aksi-aksi terorisme.Konsep keamanan (national security) seperti itu berkaitan dengan semacam persiapan negara dalam mengelakkan terjadinya perang, tindak kekerasan, dan terorisme yang secara luas dikaitkan banyak kepentingan vital, terutama munculnya masalah-masalah yang secara prinsip dapat menimbulkan ancaman-ancaman. Ini suatu grand strategy yang dirancang untuk mencegah segala sesuatu yang secara prinsip dianggap mengancam kepentingan nasional.Metodologi digunakan untuk pengembangan khusus perencanaan di bawah keadaan yang tidak menentu. Hal itu untuk meletakkan kembali pendekatan klasik pengenalan dan pengakuan atas "ancaman-ancaman", mendapatkan "syarat-syarat" untuk menanggulangi ancaman-ancaman itu, dan kemudian menarik strategi-strategi dalam menyesuaikan syarat-syarat yang diperlukan.Ini membutuhkan kebijakan yang bergerak dari fase different strategies ke suatu fase yang konvergen dengan menggabungkan strategi-strategi intelijen serta menolak dikotomi-dikotomi dan orthogonalities palsu.(*)MT ArifinPengamat Militer dan Intelijen(//mbs)

Tidak ada komentar: