Rabu, 19 Agustus 2009

Entikong Setelah 64 Tahun RI

Opini
Entikong Setelah 64 Tahun RI
Rabu, 19 Agustus 2009 - 09:43 wib TEXT SIZE : S
iapa pun tahu, Kalimantan Barat salah satu "gudang" kejahatan human trafficking atau perdagangan manusia. Konkretnya, kejahatan menyelundupkan perempuan-perempuan muda Indonesia ke Malaysia untuk dijadikan pelacur.
Hukum permintaan dan penawaran bekerja secara sempurna di sini. Di sisi penawaran, kemiskinan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat telah "memproduksi" ribuan perempuan yang siap bekerja apa saja, termasuk menjual tubuhnya kepada siapa saja yang bersedia membelinya. Di sisi lain banyak tempat hiburan di Malaysia, termasuk Kuala Lumpur, yang kekurangan pasokan perempuan penghibur.
Pelacuran memang penyakit sosial yang sudah ada semenjak manusia hidup di bumi ini. Oleh sebab itu, tidak ada satu negara pun yang mampu membabat habis kejahatan yang satu ini. Hanya saja, dalam soal pekerja seks komersial (PSK) Indonesia yang "diselundupkan" ke Malaysia, ada beberapa catatan yang memprihatinkan kita. Pertama, di antara PSK yang dijual ke Malaysia, cukup banyak yang berusia di bawah umur alias masih anak-anak.
Mereka ibarat komoditas yang sangat laku dijual. Padahal, untuk sekadar Anda ketahui, oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), perdagangan pelacuran anak-anak dilarang keras. Tindak kejahatan itu tergolong pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat. Kedua, perdagangan manusia yang marak di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar)-Sarawak sebetulnya memberikan wajah bopeng bangsa Indonesia di depan bangsa Malaysia.
Ketidakadilan memang amat kentara dalam masalah human trafficking. Yang menjadi malu atau dipermalukan hanyalah kaum perempuan, yang bisa dikatakan sebagai korban, sebaliknya kaum pria seolah bebas dari dosa. Mereka tidak dicaci-maki; bahkan dianggap "hal biasa". Maka, isu human trafficking di perbatasan Kalbar-Sarawak, menurut saya, terkait pula dengan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Orang Indonesia seperti dilecehkan oleh saudara serumpun dari Malaysia.
Ternyata, bukan hanya--maaf--ratusan ribu pembantu rumah tangga yang setiap tahun kita ekspor ke Malaysia, tapi juga ribuan pelacur. Ketiga, terkait dengan degradasi dignity bangsa kita di depan bangsa Malaysia adalah masalah keamanan di perbatasan Kalbar-Sarawak. Panjang perbatasan tersebut tercatat 877 km. Yang paling rawan adalah wilayah di Kecamatan Entikong dan Sekayam yang berbatasan dengan Malaysia sepanjang 130 km. Di perbatasan sepanjang 877 km itu tidak ada tembok atau pagar yang memperjelas perbatasan.
Yang ada hanya tonggak-tonggak yang setiap saat dengan mudah dapat dipindah-pindahkan oleh siapa saja. Akibatnya, di mana batas wilayah kedua negara kadang sulit ditentukan, sebab patokannya sudah hilang atau tidak jelas. Maka, penyelundupan-- bukan cuma penyelundupan manusia--sangat rawan di sepanjang perbatasan. Illegal logging, penyelundupan segala macam barang, terjadi setiap hari, bahkan setiap jam.
Dari segi keamanan dan ketahanan bangsa kita, hal ini jelas amat tidak menguntungkan. Siapa yang bisa berkalkulasi berapa banyak pelaku kriminal berat dan teroris yang seenaknya keluar masuk dari perbatasan yang "terbuka menganga" di sepanjang perbatasan kedua negara itu? Pos-pos TNI memang dibangun, begitu juga pos polisi. Namun, jumlahnya sangat terbatas. Jangan harap personel TNI dan Polri yang bertugas di sepanjang perbatasan itu dapat menjaga keamanan wilayah kita.
Masalah yang mereka hadapi sangat klasik, yaitu keterbatasan personel, logistik, dan anggaran. Seorang perwira menengah Polri bercerita bahwa jika ada joint meeting antara Polri dan polisi Malaysia, pihak kita baru bisa datang di lokasi pertemuan lebih dari 10 jam setelah kesepakatan dibuat; sementara polisi Malaysia sudah menunggu 6-7 jam sebelumnya. Kenapa demikian?
Karena polisi kita harus menempuh jalan-jalan sempit dengan medan jelek, sedangkan polisi Malaysia bisa ngebut dengan mobil patroli bagus-bagus di atas jalan-jalan yang mulus pula! Kerawanan lain yang dihadapi aparat keamanan Indonesia adalah banyaknya "jalan tikus" atau "jalan setapak" di sepanjang perbatasan kedua negara. Jalan setapak itu bisa diakses dari Tembawang ke Sabit (Malaysia), Pala Pakan ke Sadir, Mangkati ke Tepoi, Tangan ke Kujang Saung, Entikong ke berbagai lokasi di Malaysia dan masih banyak lagi.
Dibutuhkan ribuan personel aparat keamanan untuk menutup "jalan-jalan tikus" itu; setidaknya mengawasi ketat jalan-jalan tersebut yang memiliki medan sulit. Di lokasi-lokasi itulah setiap hari terjadi berbagai tindak kejahatan, khususnya perdagangan manusia. Entikong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kecamatan yang dihuni oleh 12.828 jiwa penduduk ini langsung berbatasan dengan Malaysia. Penduduknya mayoritas orang Dayak (10,662 jiwa), kemudian etnis Melayu (2.289 jiwa), Padang, dan Jawa.
Pemandangan kumuh alias miskin tampak jika kita telusuri desa-desanya. Sebuah pemandangan yang amat kontras jika dibandingkan dengan pemandangan di seberangnya. Begitu memasuki wilayah Malaysia, kita menyaksikan hutan-hutan yang hijau dan asri, high way yang bagus dan lebar, jalan-jalan yang bersih, rumah-rumah atau apartemen yang tertata rapi.
Di Entikong, jalan-jalan berbopeng, sebagian masih terdiri atas tanah, gubuk-gubuk reyot dan kotor, serta wajah-wajah penduduk apatis dan pasrah. Polsek Entikong yang begitu strategis--dari sudut ketahanan NKRI--cuma dijaga oleh 41 personel polisi. Kapolseknya, AKP Miko Indrayana, baru saja dipindahkan ke Akademi Kepolisian di Semarang. Dengan segala keterbatasannya, para anggota Polsek, menurut pengamatan saya, tetap bermoril tinggi dalam menjalankan tugasnya.
Begitu juga dengan AKBP Djoni yang sesekali berkunjung untuk memberikan semangat kepada anak buahnya. Tahun lalu terjadi tidak kurang dari 150 kasus perdagangan manusia. Mei sampai Juli saja lebih dari 20 kali upaya penyelundupan perempuan digagalkan. Berapa yang tidak berhasil dideteksi oleh pihak imigrasi atau Polri, tiada seorang pun yang tahu. Mereka menggunakan segala cara, kata AKBP Djoni M Siahaan, Kapolres Sanggau.
Kadang menyamar sebagai penumpang bus biasa, kadang bersembunyi di bagasi mobil pribadi. Namun, yang sering tampaknya diselundupkan lewat "jalan setapak" di malam yang gelap. Tentu, mereka tidak pernah diberi tahu untuk dijadikan pelacur, melainkan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, di sana mereka ternyata dipekerjakan di kafe atau tempat-tempat hiburan. Setelah itu, mereka dipaksa melayani kaum hidung belang.
Sekali sudah terperangkap di tangan makelar, jangan harap bisa melepaskan diri. Mereka harus bekerja seperti kuda. Dengan bayaran hanya sebesar Rp50.000-100.000 sekali "main"--sementara pihak penjual bisa memperoleh 100-200 ringgit. Perempuan-perempuan muda tidak berdaya itu harus melayani berapa pun lelaki yang datang? Entikong merupakan salah satu potret kebrengsekan pemerintah pusat.
Wilayah ini seperti tidak tersentuh oleh pembangunan meski Indonesia sudah 64 tahun merdeka. Menurut Kapolda Kalbar, Brigjen Pol Erwin TPL Tobing, tidak ada satu pun pejabat tinggi di Jakarta--termasuk aparat keamanan dan intelijen--yang tidak pernah berkunjung ke Entikong.
Mereka pasti sudah tahu hakikat permasalahan yang dihadapi Entikong. Anehnya, setelah kembali ke Jakarta, tidak ada tindakan konkret apa pun dibuat untuk membangun Entikong, khususnya memperkuat perbatasan kita dengan Sarawak. Para wakil rakyat dari Kalbar pun selama ini, rupanya, hanya tidur. Mengenaskan sekali!(*)
Tjipta Lesmana
Pakar Komunikasi, Wartawan Senior, Mantan Anggota Komisi Konstitusi

Tidak ada komentar: