Sabtu, 08 Agustus 2009

Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]

MEDIA INDONESIA, Jumat 29 Mei 2009, Halaman 6:

Oleh M Fadjroel Rachman
Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan [Pedoman Indonesia]
S BY-Boediono, JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo mendaftarkan diri sebagai pa sangan calon presiden/calon wakil pre siden di KPU pada Sabtu (16/5). Berar ti, tiga pasangan sepuh sudah resmi akan bertarung pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Jangan berharap akan muncul anak muda seusia Presiden AS Barrack Obama (47), Presiden Rusia Dmytri Medvedev (44), atau Perdana Menteri Thai land Abhisit Vejajiva (44) yang akan muncul se bagai pasangan capres/cawapres Indonesia.Ke kuasaan oligarki partai politik (parpol) menutup semua kemungkinan. Semua kemungkinan kemunculan alternatif presiden di luar parpol dan tiga pasangan sepuh itu dihambat parpol di DPR. Calon presiden al ter natif, juga wacana capres independen, pada inti nya adalah mengembalikan hak konstitusio nal warga negara untuk ikut dalam pemerintahan, serta sarana untuk kontinuitas dan regene rasi kepemimpinan nasional. Namun, apabila regulasi dibuat parpol untuk menghambatnya, kita bertanya-tanya apakah pendidikan demokrasi yang menghormati hak konstitusional pemilih (vo ters) berlandaskan pada visi, ideologi, dan pro gram rasional yang tangguh dapat dibangun dalam tahap transisi dan konsolidasi demokrasi? Pe nolakan pemilih terhadap parpol dan caleg se benarnya sudah tergambar dengan menangnya gol put pada Pemilu Legislatif 9 April 2009. Menurut KPU, ada 49,6 juta pemilih tak hadir dan 17,5 juta suara tak sah, ditambah perkiraan 20 juta pe milih tak ada dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bila kekacauan DPT diperhitungkan, sua ra golput diperkirakan mencapai 60 juta pemilih dari sekitar 171 juta pemilih dan kemungkinan akan mencapai 70-80 juta golput pada Pemilihan Pre siden 8 Juli 2009 nanti.

Daya tarik kuasa
Sekadar untuk berkuasa? Itulah yang nampak dari drama sabun pembentukan koalisi antar parpol. Karena itu, demikian mudahlah SBY dan JK berpisah padahal mereka sudah bekerja sama se bagai presiden dan wakil presiden, dengan se gala prestasi baik maupun buruk. Dalam kasus SBY-JK, perpisahan juga ditopang arogansi kemenangan Partai Demokrat yang sangat spektakuler pada pemilu legislatif di dalam sistem mul tipartai yang sangat ketat sekarang ini, sebuah rekor dunia tentu saja. Diperkirakan kenaikan 300% ini berasal dari ‘ucapan terima kasih’ 19,12 juta kepala keluarga (KK) yang memperoleh Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp14,17 triliun. ‘Ucapan’ tersebut juga berasal dari kelas me nengah dan profesional yang bersikap risk-averse (menolak risiko), yang secara psikologis akan memilih kondisi yang dikenalnya, yang da pat memberikan keuntungan walaupun kecil daripada mengambil risiko mencari keuntungan lebih besar dari kondisi yang tak dikenalnya. Hal itu merupakan sebagian keuntungan selain dukungan positif dari peremajaan struktur teritorial TNI dan polisi yang berada di garis depan penegakan hukum dan aturan serta langsung di bawah presiden, bukan Mendagri seperti umumnya praktik di negara lain, serta birokrasi yang ma sih bersifat feodalistik. Pemilu presiden kemung kinan akan berlangsung dua putaran dan ketiga pasangan sepuh akan mengerahkan semua kekuatan modal, jaringan, serta mesin partai untuk bertanding. Namun, siapa pun pemenangnya, rakyat tetaplah harus bersiap-siap bah wa mimpi republik ‘memajukan kesejahtera an umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’ tetaplah jauh dari kenyataan.

Nihilnya suara pemilih
Ternyata kasak-kusuk koalisi parpol menampilkan wajah bopeng konsolidasi demokrasi kita. Semuanya centang perenang saja, tak peduli lagi pada kesetiaan parpol terhadap visi dan ideologi yang mendasari pendirian parpol, kesetiaan pengurus dan kader, serta alasan akal sehat para pe milih untuk memilih caleg ataupun parpol mereka.Kelelahan dan kerja keras para pemilih untuk mencari informasi dan membandingkan visi, ideologi dan program parpol, serta caleg par pol dinihilkan dengan darah dingin, dalam ba hasa pasaran, “Memangnya gue pikirin akal se hat lo?” Dengan menihilkan suara pemilih dengan darah dingin itulah karakter partai yang berperilaku sebagai pialang politik, “Tak lebih dari dealers, tak ada leaders,” kata Rocky Gerung, ahli Filsafat UI.
Soal koalisi? Sekali lagi hiruk-pikuk berbagai koalisi secara kasat mata tanpa visi dan ideologi. Karena itu, koalisi tersebut adalah persatean bukan persatuan, dan membenarkan ucapan Bung Hat ta. Memang ada sejumlah kegaduhan dalam pembentukan koalisi, parpol menengah mencoba tawar-menawar, tapi parpol kecil cuma berpikir bagaimana dapat ikut dengan pasangan yang kemungkinan kemenangannya paling besar walaupun garis ideologi dan visinya berbeda. Misalnya, PKS dalam kasus koalisi SBY-Boediono mencoba menaikkan posisi tawar hingga detik terakhir pendeklarasian sehingga melengkapi 20 parpol pendukung SBY. Tak terbayangkan juga Partai Bintang Reformasi atau PBR (sebagian di dukung mantan anggota PRD) yang selalu me nyuarakan slogan antineoliberalisme rezim SBY-JK, dengan mudahnya merapat kepada pasangan SBY-Boediono.
Entah bagaimana caranya para caleg dan anggo ta PBR berkampanye lagi kepada para pemilihnya semula yang memilih mereka karena slogan antineoliberalisme pada Pemilu Legislatif 9 April 2009, berarti mereka akan berkampanye proneoliberalisme pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009. Demikian pula Mantan Ketua PRD Budiman Sudjatmiko, anggota Badan Pemenangan Pemi lu Presiden PDIPyang semua berkampanye propenegakan dan pengadilan HAM termasuk terhadap 13 aktivis yang hilang diculik sampai se karang (di antaranya Bimo Petrus anggota PRD) harus berkampanye berdampingan dengan Let jen (purn) Prabowo yang karier militernya di berhentikan karena kasus penculikan aktivis pa da 1998.

Masa depan parpol?
Akhirnya persoalan koalisi tak lain dari upaya menjadi presiden serta mendapat jatah menteri, ataupun keuntungan materi lainnya pada pemerintahan baru periode 2009-2014 nanti. Artinya, kepentingan paling langsung tokoh dan partai politik (parpol) selain (1) menjadi presiden, mendapat jatah menteri di kabinet baru, dan keuntungan materi. (2) Memenangi Pemilu Presiden 8 Juli 2009. (3) Mempertahankan kekuasaan pe me rintahan hingga 2014.

Walaupun ada prasya rat ideal untuk membuat koalisi menjelang Pe mi lu Presiden 8 Juli 2009 nanti, yaitu berbasiskan visi, ideologi, dan platform kerja bersama. Namun, prasyarat ideal itu tak perlu diperhitungkan lagi sekarang. Walaupun para pemilih dengan bersusah payah memilih parpol, program, serta caleg yang sesuai dengan akal sehat juga informasi yang mereka cari dan olah. Mamun, jerih payah pemilih itu dinihilkan elite parpol dan politisi Indonesia sekarang ini.
Dengan demikian perceraian dan penggabungan antar 38 parpol nasional yang berpusat pada tiga simpul koalisi (SBY, JK, dan Mega) adalah semata-mata untuk kekuasaan. Dalam istilah Bung Hatta penggabungan tan pa visi dan ideologi adalah persatean, bu kan persatuan. Apakah yang akan disam pai kan aktivis propene gakan HAM, seperti Budiman Sudjatmiko kepada pemilihnya nanti ka rena sudah lolos sebagai anggota DPR dari PDIP, dilema serupa akan dihadapi aktivis pro penegakan HAM lainnya, Rieke Diah Pitaloka yang juga lolos ke DPR dari PDIP, apakah mereka akan diam saja demi kursi DPR yang sudah ditangan?. Sikap dan perubahan para kader, pengurus, ang gota parpol, dan anggota DPR anggota koalisi sangat menarik untuk dicermati. Selain melihat sampai sejauh mana konsolidasi demokrasi terjadi tepat 11tahun perayaan re formasi, tergulingnya Soeharto dan Orba oleh mahasiswa dan rakyat pada 21 Mei 1998. Kita juga dapat mengamati bagaimana parpol memperdagangkan visi, ideologi, dan suara pemilih.
Jadi sifat ultrapragmatis parpol dalam mengejar kekuasaan semata bukan hanya me ngorbankan suara pemilih parpol tersebut, tetapi juga mengorbankan akal sehat para ka der parpol dan anggota legislatif mereka. Bahkan, yang terutama, masa depan parpol itu sendiri.

Tidak ada komentar: