Kamis, 06 Agustus 2009

Menanti Solusi MK

Opini


Menanti Solusi MK

Senin, 3 Agustus 2009 - 09:46 wib
text TEXT SIZE :
Share

Tsunami politik atas Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 mengenai penghitungan kursi tahap kedua DPR agaknya akan segera berlalu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat akan mematuhi putusan MA tersebut, yaitu melakukan revisi atas putusan tentang penetapan caleg terpilih tersebut dengan menyesuaikannya dengan putusan MK tanggal 11 Juni 2009 mengenai penghitungan tahap ketiga dan putusan tentang pengujian terhadap Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2009) yang diajukan oleh berbagai parpol dan caleg (PKS, Gerindra, Hanura, dan beberapa caleg dari PPP).

Penyelesaian masalah menjadi lebih mudah karena MA tampaknya sudah melempar handuk lebih dulu (atau lempar batu sembunyi tangan). Setelah sebelumnya menyatakan bahwa putusan MA harus dilaksanakan, kini garda terakhir benteng keadilan (atau ketidakadilan) itu menyiratkan bahwa tidak apa-apa putusan tidak dilaksanakan saat ini karena putusan tidak berlaku surut (nonretroaktif).

Padahal, bila dibaca secara sungguh-sungguh amarnya, putusan MA jelas berlaku surut karena memerintahkan untuk merevisi keputusan KPU tentang penetapan perolehan kursi parpol (Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/ KPU/Tahun 2009) sekaligus menunda pelaksanaannya. Amar putusan yang memerintahkan revisi keputusan KPU sekaligus menunda pelaksanaannya sebenarnya sudah keluar dari pakem pengujian peraturan perundang-undangan.

Pengujian keputusan adalah ranah pengadilan tata usaha negara (PTUN). Namun, dalam konteks ini, PTUN tidak berhak karena keputusan KPU terkait dengan hasil pemilu. Setelah KPU mengumumkan hasil pemilu, hanya MK yang berhak mengubahnya melalui mekanisme sengketa hasil pemilu. Demikianlah sistem kepemiluan yang sebenarnya hendak dibangun di Indonesia. Masalahnya, putusan adalah putusan. Kendatipun MA secara ekstrem menyatakan 2x2=5, putusan tersebut harus diterima.

Ada ungkapan dalam hukum bahwa putusan pengadilan harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan tingkat selanjutnya (res judicata pro veritate habetur). Terhadap suatu putusan pengadilan, ada dua sikap yang harus diambil: dilaksanakan atau upaya hukum lanjutan. Terhadap putusan MA, muncul kontroversi di kalangan ahli bahwa putusan tersebut tidak boleh dimintakan peninjauan kembali (PK) karena instrumen tersebut tidak diatur.

Bila patokannya hukum formal, pendapat ini tidak keliru, tetapi hukum sekarang sudah berkembang sedemikian rupa. Kasus Pilkada Depok dan Kasus Pilkada Sulsel adalah contoh bahwa keadilan dan akal sehat harus diberi tempat. Dalam kasus Pilkada Depok, MA menerima PK yang diajukan KPU Depok atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Sementara dalam kasus Pilkada Sulsel, MA malah membatalkan putusannya sendiri melalui mekanisme PK. Dalam konteks putusan MA saat ini, jalan PK pun seharusnya dimungkinkan.

"Pasar gelap" MA rupanya membuat pihak-pihak yang merasa dirugikan tidak tertarik untuk mengajukan PK. Terlebih, pihak yang paling berhak mengajukan PK, yaitu KPU, tidak kunjung bersikap dan tampaknya tidak tertarik untuk mengupayakan jalan hukum lain. Setelah berkonsultasi sana-sini, KPU memutuskan untuk menunggu saja putusan MK.

Menafsirkan, Jangan Membatalkan

MK karenanya diharapkan menjadi solusi atas kisruh atas putusan MA ini. Pengajuan kasus penghitungan tahap kedua ke MK tidak boleh dipahami sebagai langkah untuk membatalkan putusan MA, melainkan sebuah terobosan hukum yang cerdas dan memiliki justifikasi.

Putusan MA telah menyatakan bahwa peraturan KPU tentang penghitungan kursi tahap kedua bertentangan dengan Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu. Pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan MA meminta konfirmasi ke MK bagaimana tafsir konstitusional pasal tersebut. Tentu saja MK dapat mengabulkan atau menolak permohonan terhadap pengujian Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu.

Bila permohonan ditolak, demi hukum, KPU harus melaksanakan putusan MA segera karena dua lembaga hukum tertinggi (MK dan MA) telah membenarkan klaim pemohon atas putusan MA. Penundaan putusan MA dengan memanfaatkan celah waktu 90 hari sungguh sangat tidak bertanggung jawab. Bila permohonan dikabulkan, dengan sendirinya putusan MA tidak perlu dilaksanakan lagi karena penghitungan tahap kedua harus mengikuti putusan MK, tidak putusan MA dan tidak juga mengikuti beberapa pasal dalam peraturan KPU yang sudah dibatalkan MA.

Persoalannya, putusan seperti apa yang akan menjadi solusi. Kecuali PKS, semua pemohon memintakan pembatalan Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu. Bila hal ini dikabulkan, menurut saya, justru akan memunculkan kekisruhan baru. Penghitungan tahap kedua jadi tidak ada dan kursi langsung dihitung pada tahap ketiga di level provinsi. Putusan seperti ini jelas bukan solusi, hanya memunculkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan kekosongan hukum (legal vacum) menyangkut penghitungan tahap kedua.

Yang terbaik karenanya adalah meminta MK "meluruskan" penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu menurut tafsir yang konstitusional. Dalam yurisprudensi MK, permohonan jenis ini disebut dengan conditionally constitutional (konstitusional bersyarat). Pasal yang dimintakan pengujian tidak dibatalkan, tetapi harus ditafsirkan (dan dilaksanakan) menurut apa yang ditetapkan MK.

Tugas MK sebenarnya cukup ringan, yaitu hanya menafsirkan apa yang dimaksud dengan "suara" dalam Pasal 205 ayat (4) yang lengkapnya berbunyi, "Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh per seratus) dari BPP DPR." Sepanjang yang saya ketahui ketika menyimak pembahasan RUU Pemilu, maksud pembentuk undang-undang sebenarnya adalah "sisa suara", tetapi redaksi yang tertulis adalah "suara".

Inilah yang memunculkan persoalan bagi beberapa caleg yang bersikukuh bahwa suara yang sudah dikonversikan menjadi kursi tetap diikutkan dalam penghitungan tahap kedua. Bila pendapat ini diikuti dengan hanya mendasarkan pada pendekatan tekstual, jelas akan memunculkan ketidakadilan yang mengancam keadilan pemilu. Adalah sangat tidak rasional dalam praktik pemilu di mana pun bila suara yang sudah dikonversikan ke kursi tetap dihitung untuk sisa kursi atau paling tidak masih menjadi patokan untuk penghitungan tahap kedua.

Kendati demikian, mengartikan "suara" secara langsung menjadi "sisa suara" akan menciderai teks pasal tersebut. Yang terbaik adalah memberi tafsir atas kata "suara" tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan suara terdiri dari dua kategori: (1) suara parpol yang telah dikurangi dengan suara yang telah dikonversi menjadi kursi pada penghitungan tahap pertama, (2) suara parpol yang tidak mendapatkan kursi pada penghitungan tahap pertama.

Bila tafsir tersebut yang diputuskan MK, masalah selesai. Putusan MK akan menjadi solusi. Keadaan akan kembali seperti semula sebelum adanya putusan MA. KPU memiliki legitimasi hukum yang kuat untuk segera menetapkan perolehan kursi parpol tahap kedua seperti yang pernah mereka lakukan. Apakah kali ini MK akan menjadi solusi? Kita tunggu putusan atas kasus tersebut yang sidangnya mulai digelar hari ini.(*)

Refly Harun
Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu Cetro

Tidak ada komentar: